View Full Version
Selasa, 15 Jan 2019

Prostitusi, Afi Nihaya, dan Hak Asasi

 

Oleh:

Astia Putri, SE

Member Komunitas “Pena Langit”

 

TIDAK salah memang ketika mendengar ungkapan “Satu kata bisa mengubah dunia”. Terlebih dalam hiruk pikuk dunia maya yang satu cuitan saja mampu mengguncang sejagat sosial media, terlebih jika diakui sebagai influencer mendunia. Mengenai perkara ini, harus disadari pentingnya merangkai “kata” yang mampu mengguncang dunia dengan ide kebenaran secara fitrah yang seharusnya dibawa, bukan sesuai nafsu belaka.

Pembahasan takkan seputar kegoncangan awal tahun yang diwarnai oleh kasus prostitusi online yang melibatkan artis ibukota. Telinga masyarakat tentu sudah akrab dengan kasus-kasus semacam ini. Hanya saja beda pelaku (atau korban?) mungkin beda juga sensasi beritanya. Coba saya tanya, atas kasus ini yang membuat penasaran apakah prostitusinya atau justru pribadi artisnya?

Salah satu kelemahan masyarakat kita memang dalam hal senang mengikuti perihal pribadi korban dan pelaku ketimbang akar masalah penyebab laku. Maka wajar ketika ada analisis yang agak berbeda atau mungkin bisa dikatakan menyeleneh, menjadi menarik, termasuk dari seorang adik manis bernama Afi Nihaya.

“Saya justru penasaran bagaimana VA membangun value/nilai dirinya, sehingga orang mau membayar tinggi di atas harga pasar reguler. ..........Padahal, seorang istri saja diberi uang 10 juta sudah merangkap jadi koko, tukang bersih-bersih, babysitter, dll. Lalu yang murahan itu siapa?”

Terlepas mengenai motif dibalik pernyataan ini, nyatanya pernyataan inilah yang justru menimbulkan kegaduhan. Duhai adinda…. Sejauh ini, kondisi terparah masyarakat yang dihadapi adalah rendahnya empati dan upaya memperbaiki. Oke, adinda ini nyatanya salah satu dari anak bangsa yang peduli, namun sudahkah lurus pemikiran yang seperti ini?

Harus disadari masalah value atas diri sangat tergantung pada sudut pandang yang diambil. Perbedaan jelas hadir, pun yang terjadi dalam pernyataan Afi yang kontroversial dan dianggap masyarakat sebagai pernyataan yang meremehkan peran seorang isteri. Sudut pandang materialisme yang berasaskan sekulerisme inilah yang seyogyanya kontras dengan fitrah manusia sejati.

Mengenai value diri yang diungkap Afi berhubungan dengan angka. Siapa yang mampu menakar nilai ini adalah kembali pada sang pemilik diri, yakni manusia itu sendiri. Inilah tukas seorang pengagung kebebasan, khususnya hak asasi. Setiap orang akhirnya diberikan kesempatan dan kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur hidupnya, pun dalam hal memanfaatkan dan meng”harga”i tubuh.

Tentu saja, tak semudah itu adikku.. Mengutip tulisan DoniRiw dalam akun instragramnya, hak asasi adalah hak mendasar seorang manusia, dan hak paling mendasar sendiri adalah hak hidup. Sedangkan perkara menghidupkan dirinya saja ia tak memiliki kuasa. Hak untuk menahan usia dan kematian, apalagi. Maka, seharusnya sang diri menyadari adanya pencipta dan pengatur hingga ianya memanfaatkan tubuh sesuai dengan aturanNya, yang akhirnya tubuh menjadi tak ternilai harganya.

Berlaku pula dalam membahas pembanding harga PSK dengan seorang istri. Sudut pandang materialisme jelas sangat menganggap rendah seorang istri yang setiap harinya menghabiskan waktu melayani urusan rumah tangga dengan diberi sedikit rupa rupiah. Namun, berbeda ketika standar adalah ketaatan kepada Sang Pencipta, segala lelah dan katanya murah menjadi sangat berharga ketimbang rupiah.

Islam sendiri memandang perempuan sebagai sosok yang mulia dan perhiasan dunia yang surga berada di telapak kakinya. Wanita adalah jembatan amal jariyah (investasi) lelaki. Mengapa? Karena wanita adalah pencetak generasi melalui susah payahnya mengandung, melahirkan, menyusui hingga membesarkan, plus dengan perannya sebagai isteri sholihah adalah pencetak generasi emas yang sholih-sholihah dan menjadi pemberat amal Ibu dan Ayahnya di akhirat kelak. 

Pernyataan selanjutnya yang dibunyikan adik Afi adalah karakter masyarakat Indonesia. Afi menyesalkan masyarakat yang dengan mudahnya menyalahkan perempuan dalam kasus prostitusi. Hal ini akibat dari tidak adanya kesetaraan gender. Sebenarnya kesetaraan gender seperti apa yang ingin diagungkan?

Jika mengamati secara clear, justru dalam kasus prostitusi online, bukan masalah kesetaraan gender yang menjadi problema, namun keadilan di mata hukum, baik untuk lelaki maupun wanita. Sang wanita justru masih bisa menghirup udara segar karena masih ditetapkan sebagai saksi korban. Berbeda halnya dengan mucikari yang ditangkap dan dihukum. Namun, pengguna jasa masih bisa melenggang santai dari hukum, selama tidak ada aduan dari pasangan sah atas kasus perselingkuhan.

Maka untuk menginginkan kesetaraan atas kasus ini sungguh sangat sulit, standarnya apa? Jika pun mengagungkan wanita, dan ketika para lelaki berteriak menuntut kesetaraan yang dimata mereka tidak menunjukkan kesetaraan, bagaimana? Lagi-lagi, kembali pada fitrah diri yang lemah, perihal terbaik, siapa yang lebih tau selain Sang Pencipta?

Inilah Islam yang memiliki perangkat sempurna pengaturan kehidupan manusia. Hubungan antar manusia dalam berbagai aspek kehidupan diatur sesuai aturan Sang Pencipta. Adalah peran negara dalam menerapkan hukum Islam atas seluruh aspek. termasuk dalam permasalahan prostitusi. Solusi tuntas Islam melibatkan sinergi dari sistem pendidikan yang menanamkan akidah dan ketaatan, sistem sosial yang mengatur pergaulan (larangan ikhtilat dan khalwat) dan media (larangan pornografi), sistem ekonomi yang menjamin kesejahteraan masyarakat (memudahkan pernikahan dan kebolehan poligami), hingga sistem persanksian jilid dan rajam sebagai pintu terakhir yang tidak hanya menebus dosa namun memberikan efek jera. Tidakkah ini luar biasa??

Akan sepakat luar biasa, jika kita memahami hakikat diri dari proses berfikir atas kuasa Ilahi. Sayangnya, arus liberalisme yang ditransformasi cantik berbalut hak asasi tengah menidurkan kaum muslimin dari proses berfikir untuk mengimani ALLAH. Maka adik, yuk ngaji, biar ga asal bunyi.*


latestnews

View Full Version