View Full Version
Jum'at, 17 Oct 2014

Sultan Muhammad Al-Fatih: Sang Penakluk Konstantinopel

Sahabat Voa Islam,

Setelah menunggu selama delapan abad, Sultan Muhammad bin Murad, yang memerintah Turki dari 1451 sampai 1481, akhirnya dapat menaklukkan kota Konstantinopel, ibu kota imperium Byzantium, alias Yunani Timur. Penaklukan itu terjadi pada tahun 1455, tiga tahun setelah Sultan Muhammad menggantikan ayahnya.  

Kota ini memang telah lama diagendakan oleh para petinggi dinasti Utsmani untuk direbut namun selalu gagal.

Sukses yang diraih oleh Sultan Muhammad, yang relatif masih muda, benar-benar merupakan kejayaan bagi dinasti Turki Utsmani khususnya dan Islam pada umumnya. Maka pantas jika ia diberi gelar Al-Fatih, “Sang Penakluk”.

Ketika naik takhta pada tahun 1451, umur Muhammad bin Murad belum genap 22 tahun. Namun ia telah terobsesi untuk menaklukkan Konstantinopel. Semangat juang, dedikasi, dan pengabdiannya tak tertandingi. Setelah memegang pucuk pimpinan pemerintahan, ia juga menunjukkan jiwa kepemimpinan yang luar biasa, sehingga menjadikan Turki sebagai negeri yang sangat disegani oleh kawan maupun lawan.

Mengenai penaklukan itu, seorang guru besar Sejarah Kebudayaan dan Peradaban Universitas Islam As Saud, Riyadh, Arab Saudi, Dr. Sayid Ridwan Ali, menuliskan dalam buku berjudul Sultan Muhammad Fatih Bathal al-Fathu al Islami.

Pada 29 Mei 1453, Muhammad bin Murad melancarkan serbuan akhir, menjebol benteng musuh lewat pintu gerbang Rabul Madfa atau San Roman dan pintu Adrena.

Pihak musuh, yang dipimpin oleh  Justunianus, menyerang pasukan Turki yang mulai naik pagar benteng dengan menggunakan tangga.

Pasukan muslim ini berjumlah 30 orang, di bawah pimpinan Hasan Thobal, dan 17 di antaranya tewas.

Semangat tempur Hasan Thobal itu lantas menggugah semangat juang teman-temannya di belakang sehingga tentara Turki secara bergelombang dapat memasuki benteng dan terjadilah pertempuran hebat sebelum akhirnya benteng itu bisa direbut. Maka jatuhlah Konstantinopel ke tangan Turki.

Para sejarawan mengisahkan, ketika memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad sengaja memilih berjalan kaki. Ia bersujud kepada Allah atas karunia-Nya itu.

Karena sudah tidak ada jema’atnya lagi, hari itu juga Gereja Aya Sofia berubah menjadi masjid jami’, dan bergemalah AllahuAkbar ketika mereka melaksanakan shalat Jum’at untuk pertama kalinya. Meski demikian, Muhammad bin Murad, sebagai panglima Turki, melarang anak buahnya merampas harta benda penduduk.

Justinianus sendiri dengan luka-luka yang dideritanya melarikan diri ke pelabuhan dan menyeberang ke Pulau Launus, diikuti oleh anak buahnya.

Setelah itu, panji-panji Turki Utsmani berkibar di seantero Konstantinopel, seiring dengan berjalannya pertempuran di seluruh penjuru kota itu.

Dengan kemenangan itu, wilayah Turki bisa disatukan antara utara dan selatan, antara Asia dan Eropa. Dan kota Konstantinopel dijadikan ibu kota, dengan nama “Dar al-Sa’adah”. Dan sejak itu, pemerintahan Utsmani dapat mengembangkan gerakannya lebih leluasa hingga ke pantai Laut Hitam, di utara ke Rusia, Hongaria, Yunani, Albania, pantai timur Laut Adriatik, dan bagian timur Laut Tengah. Kelak, pada masa pemerintahan Mustafa Kemal At-Taruk, kota itu diganti namanya menjadi Istambul, dan menjadi pangkalan militer untuk wilayah timur negeri Turki.

Muhammad Al-Qanuni

Para sejarawan Mesir menggambarkan Muhammad bin Murad sebagai raja yang agung dan berhasil menguasai dinasti Utsmaniyah seluruhnya. Banyak prestasi yang ditorehnya selama memerintah 30 tahun itu. Selain memiliki ilmu pengetahuan yang luas, ia juga dikenal sangat adil.

Itu semua tak lain adalah hasil didikan ayahandanya, Murad bin Muhammad, yang mendidiknya dengan ilmu kemiliteran dan politik sejak kecil. Juga para gurunya, yang terdiri dari para ulama besar, sarjana ilmu agama, sastra,  olahraga, dan ilmu falak. Seperti Ibnu Tamjid,  Maulana Syamsuddin Al-Karoumi, Maula Zaerok,  Kwajah Zadah, Sinan Pasya.

Ia sangat mencintai ilmu pengetahuan, gemar bersahabat dengan para ilmuwan, ulama, dan adibba (budayawan), di dalam dan luar negeri. Ia membangun lembaga tinggi ilmu pengetahuan di Konstantinopel yang terkenal dengan nama “Madaris as Sahn Ats Tsamani”.

Ia menguasai berbagai bahasa asing, seperti Yunani, Latin, Persia, Arab. Ia memerintahkan agar beberapa buku yang ditemukan di perpustakaan Byzantium, seperti naskah asli geografi karya Ptolomeus, buku biografi orang-orang Romawi terkenal karya Plutarch, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Turki.

Ia membangun Universitas Akro Poolo di Athena setelah Yunani ditaklukkannya.

Demikian gandrungnya kepada syair, Muhammad bin Murad juga mengoleksi syair dari Turki dan Persia dan membentuk dewan penerbit yang membawahkan 30 penyair yang ternama. Ia memang dikenal sebagai pemuja keindahan seni dan begitu besar memberikan dorongan kepada para seniman dalam dan luar negeri.

Kepada penyair sufi populer dari Iran dan India, Abdurrahman Jami dan Khowajah Jahan, dan kepada ulama nahwu asal Mesir, Syaikh Muhyidin Al-Kafiji, ia pernah mengirim hadiah yang sangat berharga sebagai simpatinya. Ia juga mengagumi penulis Italia Gentile Bellini dan artis Bartholomeo dari Venesia.

Ia bahkan mengizinkan Christobolus, seorang ahli sejarah Yunani, menulis biografinya secara obyektif. Kebaikan, kelebihan, termasuk keburukan serta kekurangan yang ada pada dirinya.

Perhatiannya terhadap hasil kesenian begitu begitu besar. Ketika meresmikan perubahan  gereja Aya Sofia menjadi masjid jami’, ia tidak menghapus atau merusak gambar atau lukisan yang tertera di dalamnya, namun hanya menutupnya, agar bisa dibuka kembali. Setelah itu didirikanlah menara yang menjulang tinggi serta mihrab di dalamnya dengan fondasi yang kuat.

Di awal pemerintahannya, Muhammad bin Murad membenahi sistem administrasi negara, tata kota, dan perundang-undangan, sehingga ia mendapat gelar kehormatan Muhammad Al-Qanuni. Ia juga dikenal sebagai peletak dasar kebudayaan Turki Utsmani yang Islami.

Gelar kehormatan juga mengalir kepadanya dari Eropa. Mereka menggelarinya sebagai Grand Seigneur atau Asy-Syaraful A’dzam,  “Tuan Besar yang Agung”.

Di balik semua itu, ia adalah seorang penguasa yang sangat tegas. Sejumlah menteri, karena melakukan kesalahan yang begitu fatal, ia hukum mati. Khalil Pasha, misalnya, dihukum mati karena kedapatan sebagai mata-mata musuh.

Sultan Muhammad Al-Fatih wafat pada  tanggal 4 Rabi’ul Awwal 886 H atau 3 Mei 1481 dan dimakamkan di Makbarah di dalam kompleks masjid yang dibangunnya, Masjid Al-Jami’ Al-Fatih. (may/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version