View Full Version
Rabu, 30 Apr 2014

Kasus JIS, Fenomena Bobroknya Sekularisme Pendidkan di Indonesia

JAKARTA (voa-islam.com) - Maraknya berita kekerasan seksual terhadap murid-murid yang  terjadi di Jakarta Internasional School (JIS), banyak disesali oleh berbagai pihak. JIS meruapakan suatu lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman serta nyaman dan melindungi anak didiknya dalam proses belajar, akan tetapi pelecehan terjadi pada murid TK yang justru dilakukan oleh pihak cleaning service.

Walaupun berstandar internasional dengan Sistem Prosedure Operasional pengamanan yang ketat, faktanya malah para pelaku pedofilia bebas berkeliaran di JIS dan melakukan kegiatan pelecehan tersebut berkali-kali. Bahkan kasus buronan FBI William James Vahey menjadi staf pengajar di JIS selama 10 tahun, membutktikan bahwa pemberlakuan sistem rekrutmen yang dimiliki oleh pihak asing adalah sebuah sistem yang lemah, berbagai kompentensi tidak membuktikan seseorang tersebut mampu dan layak menjadi seorang pengajar yang baik.

Kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS) diduga telah terjadi bertahun-tahun. Menurut hasil investigasi tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam pertemuan para orang tua murid, ada orang tua yang mengaku anaknya pernah mengalami kejadian yang serupa yang ditemukan pada Maret 2014. JIS ternyata memiliki record yang panjang tentang kasus pelecehan seksual, tetapi adanya budaya barat yang diterapkan pada sekolah ini menjadi begitu janggal tentang masalah komunikasi pihak sekolah dan orang tua. Beberapa kejadian seksual diselesaikan lewat e-mail dan orang tua lebih memilih diam padahal ketika mereka memilih JIS sebagai sekolah untuk anak-anak mereka dengan harga yang fantastik, mereka mengharapkan JIS lebih mampu memberikan pendidikan serta tanggung jawab yang lebih sesuai dengan apa yang ia promosikan terhadap para orang tua murid.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk mengaudit sistem pendidikan di JIS. Dalam kurikulim pendidikan sekolah JIS sendiri tidak mengajarkan ilmu agama serta sejarah. Beberapa orang tua murid menggambarkan lingkungan sekolah dimana para murid memakai pakaian yang minim serta ciuman merupakan hal biasa dan dipertontokan di publik umum di lingkungan sekolah. Hal ini menjadi pemicu bagi para pekerja yang berada di JIS yang akhirnya menyalurkannya pada anak-anak TK yang mampu mereka bujuk dan menekan murid TK untuk diam dan tidak berkata pada siapa pun.

Hal ini mendorong Fellma Panjaitan untuk mengajak partisipasi orang tua serta orang-orang yang merasa kecewa dengan adanya berbagai kasus kejahatan seksual untuk mengisi petisi untuk dapat merevisi UU No. 23 tahun 2002 tentang pelecehan seksual, petisi ini sudah mendapatkan 25.530 suara. UU itu hanya memberi hukuman maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun bagi pelaku pencabulan. Sementara korban terus mempunyai trauma berat. Trauma yang amat berat dirasakan oleh korban akan menjadi bayangan kelam yang harus ia jalani seumur hidupnya, dan banyak kasus terjadi bahwa para pedofilia sendiri merupakan bagian yang dulunya menjadi korban dari tindakan kejahatan seksual, oleh karena itu trauma harus dilakukan secara serius, bukan hanya menjauhkan ia dengan lingkungan tempat ia sekolah dulu tetapi juga mental dan psikis yang harus dipulihkan secara terus menerus.

Pelecehan seksual yang terjadi adalah secuil masalah yang banyak terjadi di JIS, sekolah yang bertaraf internasional menjadi sekolah yang menanamkan budaya barat serta gaya hidup yang bayak bertentangan dengan agama serta bangsa. Lemahnya produk demokrasi untuk dapat melindungi masyarakatnya terlihat dari kasus JIS, bagaimana pihak JIS menutup rapat pada media tentang kejadian ini. Bahkan JIS memberikan sebuah pesan kepada pihak security untuk mematuhi peraturan, agar tidak membiarkan wartawan dan media masuk ke dalam sekolah. Pihak JIS pun seperti menutup-nutupi berbagai informasi seperti renovasi kamar mandi sekolah yang menjadi bukti pelecehan seksual untuk dapat menghilangkan bukti, serta pihak JIS yang menutup informasi para pengajar.

Kemendikbud menyatakan bahwa JIS tidak mempunyai izin resmi, berbagai polemik semakin mengkokohkan bahwa demokrasi semakin gagal dalam memberikan pelayanan dan melindungi masyarakat. Standar internasional merupakan standar yang lahir dari budaya barat yang bertentangan dengan fitrah manusia. Nilai nilai demokrasi, liberal serta sekuler semakin manjadi wabah yang menggerus fitrah manusia, yang menyebabkan kesengsaraan pada manusianya sendiri.

Berbagai permasalahan umat yang terjadi diselesaikan dengan asumsi logika yaitu semakin tinggi hukuman maka potensi pelanggaran semakin kecil, namun pada kenyataannya asumsi logika tersebut menjadi sesat dan malah semakin banyak tindak kejahatan yang terjadi dan tidak memberikan efek jera. Oleh karena itu publik harus membangun kesadaran agar menghindar dari maksiat dan rasa takut untuk melakukan kejahatan dengan meningkatkan iman dan taqwa. Sedangkan pemerintah seharusnya lebih tegas, jangan bertindak ketika ada kasus saja, terlihat bahwa pemerintah baru mengevaluasi sekolah JIS ketika kasus ini mencuat dan tegas memberantas pornografi. Sekian banyaknya kasus kejahatan seksual seharusnya menjadi pukulan bagi pemerintah untuk merubah tatanan hukum, karena pada kenyataannya semua menjadi penyelesaian yang lambat, kejahatan seksual akan selalu bertambah banyak, dan pemerintah masih sibuk mengevaluasi undang-undang. Lalu, apakah hukum saat ini sesuai dengan fitrah manusia, sedangkan pembuat hukum terbaik adalah Allah SWT. [PurWD/voa-islam.com]

* Penulis: Yulia Citrawati (Pemerhati Pendidikan tinggal di Bogor)


latestnews

View Full Version