View Full Version
Rabu, 09 Jul 2014

Ketika Laki-laki dan Negara Tak Berfungsi

Sahabat Voa Islam,

Hari ini, saya ngobrol dengan seorang nenek penjual nasi pecel. Usianya 83 tahun dan sudah sakit-sakitan. Ia memunyai satu anak laki-laki yang tinggal serumah dengannya bersama dengan istri dan dua anaknya. Anak laki-laki ini bekerja sebagai tukang becak tapi jarang beroperasi becaknya. Dia lebih memilih duduk atau tiduran di becaknya sambil menikmati semilir angin. Intinya, anak laki-laki ini malas bekerja keras demi menafkahi anak dan istrinya.

Si istri atau menantu nenek penjual nasi pecel ini tidak mau membantu mertuanya berjualan. Ia lebih memilih nonton TV dengan santai di rumah. Anak pertamanya yang perempuan pun harus drop out dari SMK karena hamil duluan. Setelah dinikahkan dan melahirkan, ia, bayi serta suaminya yang pengangguran tinggal di rumah tersebut dan menjadi beban si nenek tersebut. Bayangkan, setua itu dia harus memberi makan 7 mulut di rumahnya.

Di kesempatan yang lain, nenek berusia 87 tahun penjual kerupuk seharga seribuan curhat pada saya. Ia keliling dari kampung ke kampung menjajakan dagangannya demi laba seratus rupiah per bungkus kerupuk. Anaknya sembilan dan sudah menikah semua. Tak ada satu pun yang mau menanggung biaya hidup ibunya. Nenek ini sebetulnya memunyai uang pensiun dari suaminya yang mantan angkatan. Tapi karena ada salah satu anaknya yang hidupnya sangat miskin sehingga ia tidak tega dan memberikan uang tersebut untuk keluarga anaknya. Jadilah untuk makan dan biaya kostnya, ia berjualan kerupuk tersebut.

Dua ilustrasi di atas, bisa jadi membuat hati kita iba dan miris. Sosok yang seharusnya sudah beristirahat di masa tua, masih saja membanting tulang bukan demi dirinya tapi anak dan cucu juga. Salah satu teman, mengatakan bahwa fenomena demikian tidak membuatnya iba tapi marah. Kemana nurani anak dan cucunya? Kemana pemahaman dan bakti si muda pada yang tua? Apalagi bila ada sosok laki-laki di sana, betapa teganya ia membiarkan ibunya mencari receh demi memberi makan keluarga.

Sobat muslimah, kejadian di atas terjadi bukan tanpa sebab. Bentuk anak adalah hasil didikan orang tua. Betapa banyak orang tua di luar sana yang beralasan demi sayangnya pada si anak, tidak memberikan pendidikan yang seharusnya pada buah hati. Ibu dan ayah sibuk membersihkan rumah, memasak, berkebun, mencuci baju, sementara anak dibiarkan sibuk dengan HP dan nonton TV. Mereka tidak dididik untuk memunyai rasa welas asih terhadap orang tua. Dalam benaknya: biar orang tua saja yang susah, anak biar menikmati masa muda. Persepsi salah seperti inilah yang merupakan cikal bakal fenomena dua nenek dalam kisah di atas.

Pola didik yang salah, diperparah dengan nihilnya pemahaman agama membuat masa tua orang tua seperti ini makin merana. Sampai tua, bahkan sampai mati ia akan terus berperan sebagai pihak yang bekerja dan ‘membahagiakan’ anak. Begitu pun dengan si anak, hingga ia dewasa, beranjak tua bahkan mati pun, hidupnya hanya berisi malas-malasan dan enggan bekerja keras. Inilah yang dinamakan hasil didikan, menuai apa yang telah ditanam sebelumnya.

Bila ia laki-laki, jiwa ‘qowwam’ atau pemimpinnya tak nampak. Ia tak tersentuh dengan kondisi orang tua yang renta. Ia sampai hati memakan jatah dari keringat ibunya yang terbungkuk-bungkuk bekerja supaya keluarga bisa makan. Ia melanjutkan apa yang telah menjadi didikan ibunya di masa kecil dulu. Dan ketika akhirnya menjadi orang tua, ia pun tak tahu apa tugas dan kewajibannya sebagai ayah. Tak heran bila anak perempuannya akhirnya juga hamil di luar nikah.

Minimnya pemahaman keislaman membuat ia mengambil langkah umum yang diambil kebanyakan orang. Dinikahkah, habis perkara. Ia tak tahu bahwa menikahkan perempuan yang sudah hamil itu batal atau tidak sah hingga ia melahirkan. Ketidaktahuan ini dibawa terus tanpa ada pembaruan akad nikah. Jadilah seumur hidup anak perempuannya melakukan hubungan haram hingga membuahkan anak demi anak lagi dan lagi.

Suami yang asal comot karena sudah terlanjur hamil semakin memperburuk keadaan ini. Penyakit masyarakat tipe ini semakin membudaya seiring dengan semakin bebasnya pergaulan anak muda yang miskin ilmu agama. Kembali, orang tua yang seharusnya sudah bisa menikmati masa tua dengan bahagia harus terus diliputi masalah demi masalah tanpa kenal ujung.

Lihatlah, PR umat ini demikian besar. Ketika individu dan masyarakat kualitasnya demikian, maka pilar negara seharusnya memunyai jalan keluar. Dan ketika negara pun sebelas dua belas alias sama saja kualitasnya tanpa tahu harus bagaimana dengan fenomena kisah di atas, maka inilah saatnya kita mulai sadar diri. Ada yang salah dalam sistem ini.

Islam, sebagai the way of life punya semua jalan keluar atas penyakit umat. Islam ini tak bisa ditegakkan per individu. Ia harus hadir dalam sebuah sistem untuk memberi penyadaran dan tatanan bagi individu, masyarakat dan negara. Posisi laki-laki didudukkan di tempat semestinya. Ia harus menjadi pemimpin dalam keluarga, pencari nafkah utama. Tak ada tempat bagi laki-laki pemalas.

Proses penyadaran dan pendidikan di tengah masyarakat yang ‘sakit’ ini tak bisa dianggap sepele. Harus ada kekuatan sebuah negara untuk memberlakukan gerakan penyadaran ini. Dan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang negara kecuali benar-benar negara yang mendasarkan dirinya pada ketakwaan terhadap Sang Pencipta. Marilah kita bercermin, bagaimanakah wajah negara ini? Wallahu alam. [riafariana/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version