View Full Version
Ahad, 07 Sep 2014

Kisah Mualaf (1): Perjalanan Muslimah Kanada dalam Berislam

Sahabat Voa-Islam yang mengharap ridho Allah SWT...

Namaku Elizabeth, usiaku 25 tahun dari Ontario Kanada. Inilah kisah perjalananku dalam berislam.

Sebelum menjadi muslimah, aku adalah sosok perempuan yang sangat mudah bersosialiasasi, ramah, suka tersenyum, dan selalu terlihat ceria. Aku mudah akrab dengan siapa saja, orang-orang pun begitu. Mereka mudah akrab denganku. Dulu, aku selalu menjadi pusat perhatian di manapun aku berada. Aku sangat menikmatinya.

Satu hal yang menarik adalah, saat ini pun ketika aku sudah menjadi muslimah, orang masih suka memperhatikan aku, tapi dalam kondisi yang berbeda. Orang-orang heran dengan penampilan baruku sebagai muslimah. Pada saat yang sama, keheranan mereka bercampur penasaran. Hingga detik ini pun, pandangan orang-orang itu tidak berubah. Mereka bisa sangat kejam. Bahkan orang yang dulu kukenal dengan baik bisa menjadi sosok yang sangat kejam juga. Sedih sekali mengetahui mereka yang dulu begitu dekat denganku, sekarang melihatku dengan pandangan yang sama sekali berbeda. Itu semua hanya karena baju yang kukenakan.

Pertama kali aku mengenal Islam yaitu ketika usiaku 13 tahun. Ada satu hal yang begitu menarik perhatianku dan membuatku tergetar. Sejak saat itu aku terus mencari tahu tentang Islam. Ketika guru di sekolah memberi tugas dan kita bebas untuk memilih topik maka satu hal yang pasti kuangkat untuk dibahas adalah Islam. Aku mulai menyadari bahwa terlepas dari salah persepsi yang banyak dipercayai orang tentang Islam, aku yakin ada penjelasan logis untuk semua hal itu. Dan benar saja, akhirnya aku dihadapkan pada penjelasan yang begitu sempurna atas semua salah persepsi dan pertanyaan-pertanyaan hidup yang selama ini menghantuiku. Aku pun tak bisa berpaling. Kubayangkan keluargaku, masa kecilku, seluruh perjalanan hidupku, kira-kira seperti apa jadinya bila Islam ini sudah kupeluk sejak dulu. Aku mulai membandingkan diriku dengan orang-orang Islam yang begitu salih.

“Bisakah aku seperti mereka?” aku bertanya pada diri sendiri. Rasa-rasanya itu menjadi hal yang sangat mustahil untuk diraih. Setelah bertahun-tahun mempelajari Islam, aku pun siap untuk tantangan berikutnya. Setelah semua ini kujalani, apa salahnya mencoba satu hal baru ini? Yang kuinginkan cuma ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup.

Aku akan bercerita sedikit tentang keluargaku dan bagaimana peran mereka yang tidak begitu banyak dalam mendidik aku. Semoga setelahnya kalian memunyai gambaran lebih baik tentangku dan mengapa aku memilih Islam. Aku berasal dari keluarga ‘broken home’, tak ada keharmonisan dalam keluarga, tak ada aturan, tak ada kasih sayang. Aku dan saudaraku perempuan bisa berbuat sesuka hati dan segila apapun tanpa ada yang peduli. Aku bisa pergi dari rumah berminggu-minggu dan membolos dari sekolah. Dan ketika aku pulang, tak ada satu pun yang bertanya aku darimana dan apa yang kulakukan selama menghilang dari rumah. Aku bisa melakukan apapun yang kumau tanpa sekali pun pernah dihukum oleh orang tuaku. Ini semua tidak membuatku senang. Aku tumbuh menjadi remaja yang tak tahu arah dan terluka secara psikologis.

Ayahku pemabuk dan ibuku pengguna narkoba. Astaghfirullah. Aku dan saudaraku awalnya terbiasa dengan kondisi ini. Kami tak banyak bertanya tentang apa yang terjadi dengan orang tua kami. Rasa sakit di jiwa kami muncul secara pelan tapi pasti, bahkan tanpa kami sadari. Aku sering berbicara pada diri sendiri bahwa kehidupan ini sungguh memuakkan. Apalagi ketika teringat malam-malam saat ayahku membentak-bentak dan bersikap kasar. Ibuku hanya bisa menangis. Aku pun teringat lubang-lubang di tembok dan luka memar di wajah ibu. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan itu semua? Tiga adik perempuan terjebak di tengah prahara rumah tangga yang entah kapan berakhir. Kami sering ikut berteriak pada ayah agar berhenti menyakiti ibu. Sebagai anak, kami harus menanggung trauma itu. Aku mulau menyadari apa yang salah dengan keluarga ini. Ketidaktaatan pada Tuhan. Aku membayangkan, apa jadinya aku dan keluargaku apabila seandainya kami memeluk agama yang berbeda dengan yang kami peluk saat itu. Pertanyaan ini selalu ada dalam benakku.

Satu pagi ketika ayah masih tidur, ibu mengajak aku, kakak dan adik-adikku pergi dengan membawa satu tas saja. Kami keluar rumah rumah dengan tergesa-gesa sehingga aku masih ingat berlari di jalanan dengan kaki telanjang. Sedih rasanya meninggalkan ayah sendirian. Kami tinggal sementara di tempat perlindungan perempuan. Tak lama kemudian, ayah dijebloskan ke penjara. Hidup menjadi begitu sulit bagi kami. Tempat tinggal kami pun berpindah-pindah dari satu penampungan ke penampungan yang lain sebelum akhirnya kami menetap di satu kawasan dengan penghasilan orang-orangnya sangat minim. Banyak orang-orang yang bernasib sama dengan kami di sini. Anak-anak terlantar karena orang tua kami pun tenggelam dalam permasalahan hidup yang demikian berat.

Orang-orang hidup dengan bergelimang dosa bukan masalah di sini. Hal-hal haram adalah sesuatu yang legal, Kanada termasuk salah satu negara yang membolehkan keharaman ini. Andai saja kehidupan kami dekat dengan Tuhan, mungkin kondisi kehidupan di Kanada tidak akan separah ini. Selama masa puber, aku dan saudara-saudaraku menempuh jalan yang salah. Rindu akan figur seorang ayah, kami mencari cinta itu di tempat yang salah. Langkah yang salah ini mengakibatkan rasa bersalah dalam diri dan itu hanya membuat batin ini makin terluka. Tak jarang aku menangis di malam-malam sepi ketika rasa terluka itu tak tertahan lagi. Biasanya setelah menangis, aku pun merasa lega. Kejadian ini berlangsung selama beberapa tahun. Rasanya kehidupan kami tak jauh dari nasib orang tua kami kelak.

Tidak bisakah kami memutus rantai ini dan hidup dengan pola yang sama sekali berbeda? Tapi bagaimana aku mau hidup yang berbeda ketika satu-satunya pola hidup yang kutahu ya seperti ini? Setelah bertahun-tahun menjalani hidup dalam kemaksiatan, rasanya susah sekali untuk keluar dari kehidupan yang begitu akrab sejak aku lahir. Aku benar-benar bingung dan sedih tapi rasa sedih ini muncul karena panggilan hati yang begitu dalam untuk berserah diri kepada Allah. Aku pun mulai menyadari bahwa bahwa hanya Tuhan yang bisa membantuku keluar dari kemelut ini. TanpaNya, aku betul-betul merasa hampa. Tapi pertanyaannya, bagaimana cara memulai untuk mengenal Dia? Bahkan aku tak tahu harus darimana memulainya.

Satu malam aku menangis di hadapanNya. “Ya Allah, Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang, aku telah salah langkah dalam hidup ini dan hanya Engkau yang bisa menolongku. Tolonglah aku Ya Allah, kumohon dengan amat sangat. Singkirkan rasa sakit ini dari kehidupanku, dan tunjukkan padaku apa yang harus kulakukan.” Sejak saat itu, aku pun mulai mengambil langkah pasti untuk memulai lembaran baru. Dan inilah awal perjalananku yang begitu indah dalam berislam.

Aku masuk Islam tanggal 28 Januari 2012. Demi Allah, ini adalah keputusan terbaik yang pernah kubuat seumur hidup. Mengingat lingkunganku yang sedemikian, keputusan ini mudah untuk kuambil. Aku tak ingin hidup seperti sebelumnya lagi, hidup yang tanpa makna karena tak ada ketaatan pada Allah. Aku begitu lega, bahagia, tenang dan merasa nyaman yang sangat ketika pertama kalinya aku bersyahadat. Bahkan kata-kata pun tak ada yang bisa mewakilinya rasa ini dengan tepat. Saat aku melafalkan ‘La illaha il Allah Muhammad Rasul Allah’, tiba-tiba tubuhku bergetar. Tangis haru dan bahagia pun pecah tanpa mampu kutahan lagi. Akhirnya kutemukan apa yang kucari selama ini. Rasanya seperti menjadi pribadi yang baru dan penuh harapan. Untuk pertama kalinya seumur hidup, aku merasakan yang namanya harapan. Kutinggalkan masa lalu di belakang. “Segalanya akan menjadi lebih baik mulai sekarang”, aku berkata pada diri sendiri. Ya...aku mempunyai kesempatan untuk memulai hidup yang lebih baik.

Aku mulai berteman dengan para muslimah di komunitas ini. Bersambung...

Sumber: thedeenshow.com

[Diterjemahkan oleh riafariana/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version