View Full Version
Jum'at, 05 Dec 2014

Perempuan Kantoran Lebih Mudah Depresi daripada Laki-laki

Perempuan kantoran atau yang bekerja di luar rumah lebih mudah mengalami depresi ketika ada tuntutan dari pekerjaannya. Begitu sebaliknya, pada laki-laki gejala depresi ini angkanya malah menurun. Hal ini dinyatakan oleh Tetyana Pudrovska, sosiolog dari Universitas Texas.

“Tuntutan pekerjaan ini meliputi kewenangan untuk menerima pegawai, memecatnya, atau menaikkan gaji. Perempuan pada posisi ini mengalami gejala depresi yang meningkat dibandingkan teman-teman perempuan lainnya yang pegawai biasa. Hal ini berlaku sebaliknya, laki-laki yang berada di posisi ini mengalami penurunan gejala depresi dibandingkan laki-laki yang tidak memunyai kekuasaan apapun,” jelas Pudrovska yang memimpin penelitian ini.

“Mereka ini adalah perempuan dengan pendidikan tinggi, gaji tinggi, jenis pekerjaan pun bergengsi, dan menduduki posisi tinggi pula di kantornya. Tapi sayangnya, kesehatan mental mereka memburuk yang diikuti dengan depresi dibandingkan teman perempuan yang memunyai status lebih rendah daripada mereka,” Pudrovska melengkapi penjelasannya.

Lalu, apa penyebab dari depresi pada perempuan bekerja terutama yang memunyai kewenangan tinggi ini?

Setelah dilakukan penelitian, penyebab kondisi ini adalah pandangan negatif masyarakat terhadap perempuan sendiri. Ada penolakan dari bawahan, teman kantor, bahkan atasan. Perempuan yang memunyai kewenangan atau kekuasaan seperti ini dianggap tidak mampu bersikap tegas dan kurang memunyai jiwa kepemimpinan. Tapi bila mereka bersikap tegas dan disiplin, mereka dianggap tidak feminin dan tidak mewakili karakter perempuan. Di posisi ini, perempuan mengalami dilema. Serba salah terhadap posisinya atas tuntutan masyarakat terhadap sosok perempuan sendiri.

...Perempuan terjebak dilema pada apa yang menurutnya keberhasilan: posisi tinggi pada karier namun rapuh di kejiwaan sehingga meningkatkan angka depresi....

Jangan salah, penelitian ini dilakukan pada laki-laki dan perempuan lulusan SMA di Wisconsin, Amerika. Negara yang dianggap sebagai pelopor gerakan feminisme yaitu memperjuangkan hak perempuan agar setara dengan laki-laki. Dan sekian puluh tahun gerakan itu berjalan, bukannya memperbaiki kondisi perempuan, tapi sebaliknya. Perempuan yang meramaikan bursa kerja di luar rumah, campur-baur dengan laki-laki, tidak makin mengangkat derajat perempuan ke posisi yang lebih baik. Perempuan terjebak dilema pada apa yang menurutnya keberhasilan: posisi tinggi pada karier namun rapuh di kejiwaan sehingga meningkatkan angka depresi. Inikah yang diinginkan perempuan?

Bersyukurlah kita sebagai muslimah yang mau diatur oleh hukum syariat. Betapa Mahatahu Allah yang memberikan perempuan kesempatan bekerja tapi hukumnya mubah. Mubah adalah boleh diambil dan boleh tidak, tergantung kondisi yang bersangkutan. Apakah dengan dia bekerja akan menambah manfaat pada dirinya dan umat atau sebaliknya. Satu hal lagi, izin atau ridho suami (bagi yang bersuami) mutlak diperlukan. Karena tanggung jawab mencari nafkah ada di pundak laki-laki, bukan perempuan.

...Apa yang diperjuangkan oleh para feminis, Islam sudah memunyai jawabannya....

Betapa indahnya, perempuan diletakkan sesuai dengan fitrahnya. Kondisi jiwanya yang lembut diletakkan dalam perlindungan laki-laki yang akan memenuhi nafkah dirinya. Ia tidak perlu pusing tentang hal ini. Fokusnya adalah bagaimana ia bisa nyaman berada di rumah untuk mendidik generasi hebat bagi masa depan. Tingkat stress dan depresi pada perempuan bisa ditekan.

Apa yang diperjuangkan oleh para feminis, Islam sudah memunyai jawabannya. Hak yang mereka minta baik dari segi sosial, politik, pendidikan, pekerjaan dan lain sebagainya, Islam telah memberikan dan menerapkannya sejak berabad yang lalu. Karena sungguh, perjuangan apapun bentuknya bila tidak memakai jalur yang diberikan oleh pencipta manusia sendiri yaitu Allah SWT., maka hasilnya adalah kerusakan. Wallahu alam. (riafariana)

Image: tabloidnova.com


latestnews

View Full Version