View Full Version
Rabu, 29 Jun 2016

Ramadan Hendak Pergi, Bahagia atau Sedihkah Rasa di Hati?

Salah seorang ibu muda berbagi di laman sosial media. Dia menulis tentang sikap dan reaksi putra putrinya termasuk sang ayah saat lebaran tiba. Tidak seperti keluarga lain yang riang gembira menyambut datangnya bulan baru bernama Syawal, mereka justru sebaliknya. Datangnya Syawal atau lebaran menandai perginya Ramadan. Mereke menyikapi perginya bulan mulia dengan perasaan sedih yang tidak dibuat-buat.

Sepulang dari salat Eid, wajah anak-anak dan ayahnya terlihat lesu. Mereka seolah baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Tak ada keceriaan khas lebaran yang penuh dengan makanan, uang dari unjung sana-sini, atau bahkan tayangan TV yang berisi iklan sirup dan roti kalengnya. Mereka beraktivitas seperti biasa tetapi dengan suasana yang seolah masih ‘berkabung’ karena perginya sang bulan mulia.

Masya Allah. Saya membacanya merinding. Berapa banyak di antara kita yang merasa demikian saat Ramadan pergi? Yang ada malah menanti-nanti lebaran dan berhitung tiap hari seolah ingin sesegera mungkin lepas dari bulan puasa. Astaghfirullah.

...Berapa banyak juga dari kita disibukkan dengan menyiapkan kue-kue untuk lebaran, belanja ini dan itu dan lebih sibuk berada di mall daripada i’tikaf di masjid? Datangnya lebaran di bulan Syawal seolah lebih dirindu daripada bulan mulia itu sendiri...

Berapa banyak juga dari kita disibukkan dengan menyiapkan kue-kue untuk lebaran, belanja ini dan itu dan lebih sibuk berada di mall daripada i’tikaf di masjid? Datangnya lebaran di bulan Syawal seolah lebih dirindu daripada bulan mulia itu sendiri. Padahal, Syawal adalah bulan ‘biasa’ sebagaimana bulan lainnya. Di sana tak ada malam seribu bulan. Syawal juga tak memunyai hitungan pahala sebanak Ramadan yang bahkan tidurnya pun dinilai sebagai ibadah. Lebaran tak memunyai lipatganda pahala saat kita berbuat baik.

Ya...lebaran memang hari raya umat Islam. Hanya yang berpuasa dan serius ibadah di Ramadan yang layak berhari raya. Orang Jawa bilang ‘sing poso nemu riyoyo’ yang artinya ‘yang berpuasa yang berhak berhari raya’. Tapi nyatanya? Mereka yang siang harinya makan dan minum tanpa uzur syar’i pun ikut berhari raya. Mereka berhari raya dengan bersenang-senang karena Ramadan telah berlalu. Ramadan membuatnya sesak napas karena banyak aturan ini dan itu sehingga mereka susah bermaksiat. Lebaran adalah momen perayaan karena lega akhirnya satu bulan penuh kekangan berakhir juga.

Di antara dua realita di atas, di barisan manakah kita berada? Apakah sedih karena bulan mulia telah berakhir, atau sebaliknya bahagia karena bebas merdeka sehingga bisa maksiat seperti sedia kala? Diri kita sendirilah yang tahu dan bisa menjawabnya. Satu hal yang pasti, Ramadan masih tersisa beberapa hari lagi. Semoga di sisa hari ini, Allah menguatkan hati dan iman kita untuk tunduk pada ketaatan dan sibuk beribadah seolah ini adalah Ramadan terakhir kita. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version