View Full Version
Senin, 15 Aug 2016

Masalahnya Terletak Pada Sistem Kapitalisme yang Anda Terapkan, Pak Presiden...

Oleh: Ainun Dawaun Nufus MHTI Kediri (Pengamat Sosial dan Pendidikan)

Dalam momentum Puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-23 di Kupang, NTT, Presiden Jokowi meminta kekerasan kepada anak dihentikan.

"Keluarga sebagai pihak terdepan bagi anak harus memastikan bahwa fungsi perlindungan benar-benar terwujud, kekerasan terhadap anak harus disetop dan tidak bisa kita biarkan lagi," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan 1.200 orang yang hadir dalam Puncak Acara Peringatan Harganas ke-23 di Alun-Alun Provinsi NTT, Kupang, Sabtu (30/7). "Empat konsep besar dalam Harganas yakni keluarga berkumpul, keluarga berinteraksi, keluarga berdaya, dan keluarga berbagi," ujarnya.

Pernyataan Menteri Sosial di tahun 2015 bahwa masih terdapat 4,1 juta anak Indonesia mengalami kekerasan adalah bukti tak terbantahkan. Indonesia masih dalam darurat kerusakan generasi. Buruknya sistem pendidikan, lemahnya kontrol negara terhadap media yang merusak generasi (karena mengajarkan perilaku kekerasan), juga ketiadaan sanksi yang adil atas semua pelanggaran yang terjadi dalam sistem ini cukup menjadi bukti bahwa generasi pada jaman ini terancam punah dari gelar generasi yang luhur.  Kekerasan yang semakin menggejala telah membuktikan semua itu.

Banyaknya kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap anak bukanlah hal baru. Sayangnya dalam melaksanakan tugas sekaligus tanggung jawabnya untuk melindungi anak, Pemerintah terkesan abai dan hanya bertindak setelah ada masalah. Negara yang menerapkan sistem pemerintahan sekuler kapitalis memperburuk keadaan. Program-program perlindungan terhadap anak tidak didesain secara komprehensif dengan satuan program yang terintegrasi yang memastikan kenyamanan dan perlindungan terhadap anak.

Kebijakan telekomunikasi dan informasi, misalnya tidak memberikan perlindungan terhadap akses informasi yang dapat memicu terjadinya kekerasan terhadap anak. Tayangan media informasi dan arus komunikasi begitu liberal dan terkesan membiarkan seluruh arus informasi dan tayangan media beredar secara bebas, tanpa ada pedoman umum untuk menyaringnya sesuai dengan tatanan dan nilai-nilai.

Pranata sosial sebagai sarana penjaga, pelindung sekaligus ruang tumbuh kembang anak malahan memberikan pengaruh dan dampak negatif kepada anak. Lingkungan keluarga sebagai basis sekaligus benteng terakhir penjaga dan pelindung anak, telah rusak oleh berbagai penyebab. Tidak ada lagi kehangatan dalam keluarga, rumah tidak dipandang lagi sebagai tempat bernaung dan tempat berlindung. Interaksi yang terjadi terasa kering, tanpa nilai bahkan cenderung sekedar tempat tidur saja layaknya kos-kosan.

Pranata pendidikan di sekolah telah didesain dengan kurikulum yang kering dari unsur agama. Pemisahan ilmu dengan agama terlihat jelas dari jumlah alokasi dan porsi jam belajar. Jam belajar untuk mata ajar ilmu pengetahuan dan teknologi mendominasi, sementara nilai-nilai agama hanya dijadikan pelengkap saja.

Akan halnya negara, terlihat jelas telah menerapkan kapitalisme neoliberalisme dalam mengatur urusan publik, termasuk dalam hal memberikan perlindungan dan penjagaan pada tumbuh kembang dan pendidikan anak. Negara telah abai menerapkan perlindungan kepada warga negaranya khususnya kepada anak. Anak dibiarkan bertarung berhadapan dengan kehidupan sekuler yang liberal. Pergaulan bebas, narkoba, krisis akhlak, dekadensi moral, kenakalan remaja, tawuran, yang berujung pada eksploitasi maupun kekerasan pada anak menjadi sesuatu yang lazim.

Meski berbagai program digulirkan,dibentuk berbagai perangkat dan lembaga untuk melindungi anak, mengeluarkan undang-undang, peraturan, serta berbagai kebijakan teknis untuk melindungi anak, faktanya keseluruhan kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan tidak menyelesaikan persoalan anak. Perlindungan dan penjagaan masa tumbuh kembang, termasuk pemberian jaminan pendidikan kepada anak masih terabaikan.

Bila bangsa ini terus  mengadopsi model peradaban Barat dengan nilai-nilai liberal dan materialistik serta sistem ekonomi kapitalistik maka harga mahal yang harus ditanggung adalah merebaknya  krisis sosial, keruntuhan institusi keluarga, meluasnya kriminalitas, serta mewabahnya kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Melihat tren penanganan kasus kejahatan ini, tampaknya masih sulit bagi kaum wanita dan anak-anak mendapatkan rasa aman. Demokrasi dan sistem hukumnya tidak menunjukkan keberpihakan kepada kelompok masyarakat lemah seperti perempuan dan anak-anak. Meningkatnya jumlah kejahatan ini adalah bukti meyakinkan kegagalan demokrasi dan liberalisme memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Selain itu liberalisme telah menciptakan masyarakat bak hidup di dunia binatang. Siapa yang kuat akan menindas yang lemah. Bahkan lebih buruk lagi dari dunia hewan karena kerap pelaku kejahatan seksual adalah orang terdekat, kerabat bahkan orangtua sendiri kepada anak-anaknya.

Oleh karena itu, penghentian tindak kekerasan terhadap anak dan menyelamatkan masyarakat dari tindak kejahatan seksual hanya dapat diwujudkan dengan membuang sistem dan ideologi demokrasi liberal sekuler dan menggantinya dengan penerapan Syariat Islam secara komprehensif di bawah naungan sistem Khilafah. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version