View Full Version
Kamis, 20 Oct 2016

Bercermin pada Anak yang Menolak Hapalan Quran-nya Dilombakan

Usianya 10 tahun. Proses menghapal Quran-nya sudah separuh lebih jadi sekitar 15 juz. Menghapalnya juga sembari paham maknanya. Jadi dia bisa melafalkan plus tahu arti ayat tersebut. Sekilas ia seperti kebanyakan anak seusianya yang ramai-ramai belajar dan menghapal Al Quran. Tapi penjelasan orang tuanya membuat pandangan terhadapnya menjadi berubah.

“Ia tidak suka difoto, direkam atau bahkan diikutkan lomba bila sudah mengenai hapalan Quran-nya,” kata orang tuanya saat saya protes karena foto anak laki-laki tersebut dikirimkan ke saya dalam kondisi buram. Jadi, orang tua yang merupakan teman baik saya itu harus mengambil foto tersebut secara diam-diam.

Di saat negeri ini mulai semarak dengan lomba baca dan hapalan Quran, saya merasa menemukan oase sejuk pada sosok laki-laki 10 tahun ini. Tetap saya syukuri mulai tumbuh dan banyaknya orang tua dan anak-anak yang peduli untuk menghapal Al Quran. Lomba-lomba pun diselenggarakan untuk memotivasi para calon hafidz dan hafidzah cilik ini. Tak ada yang salah tentang ini semua. Tetapi tak salah pula saat saya mengagumi sosok yang berbeda dari yang ada.

...Di usia yang masih sangat belia, ia telah memahami kaidah amal. Tak ingin tampil di depan khalayak untuk mempertontonkan hapalannya, ia sudah cukup termotivasi dengan apa-apa yang telah Allah janjikan...

Sosok ini menumbuhkan asa bahwa masih ada generasi yang berusaha mengikhlaskan diri dan amalnya hanya untuk Allah. Di usia yang masih sangat belia, ia telah memahami kaidah amal. Tak ingin tampil di depan khalayak untuk mempertontonkan hapalannya, ia sudah cukup termotivasi dengan apa-apa yang telah Allah janjikan. Dan kekaguman yang buncah pada sosok ini, tak menafikkan kekaguman pada sosok di baliknya. Siapa lagi kalau bukan sosok ibu yang telah mendidik anak sedemikian istimewanya.

Ibu yang memilih mendidik kelima buah hatinya di tangannya sendiri. Ibu yang tidak hanya menyuruh anaknya menjadi penjaga Al Quran tapi dia sendiri juga memulai dengan dirinya sendiri. Kualitas itu telah ada pada dirinya. Seorang hafidzah Quran yang mewariskan semangat itu pada para buah hatinya. Jadilah anak-anaknya tumbuh menjadi sosok yang mencintai ilmu dan Al Quran.

Tidak hanya Al Quran yang merupakan bacaan wajib di rumah, anak-anaknya pun tumbuh menjadi anak yang sangat cinta buku dan membaca. Hadiah berupa coklat, masih kalah menarik dengan tumpukan  buku-buku yang dibawa oleh sang ayah yang dipanggil abi itu. Anak-anak yang tumbuh mencintai ilmu, semoga menjadi calon ulama-ulama sebenarnya, pewaris para Nabi. Ulama yang akan menjadi penerang bagi umat yang mulai kehilangan arah, dan bukan ulama yang semakin menyesatkan para jamaah. Naudzubillah.

Pada keluarga ini saya pribadi bercermin dan ikut bangga. Betapa pernikahan yang dibangun atas dasar ketaatan dan demi dakwah Islam, akan berefek pada tumbuhnya generasi yang istimewa. Pada sosok teman ini saya juga ikut berdoa, semoga akan banyak muslimah di luar sana yang memunyai keluarga sepertinya. Menjadi batu-bata pembangun peradaban Islam yang nantinya akan kembali jaya saat institusi keluarga berkualitas semakin banyak jumlahnya. Insya Allah. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version