View Full Version
Kamis, 27 Apr 2017

Meluruskan Kembali Arah Perjuangan Kartini

Oleh: Ririn Umi Hanif
 
Setiap tanggal 21 april, bangsa Indonesia memperingati hari kartini. Kartini dianggap sebagai tokoh utama yang menggagas persamaan hak bagi kaum wanita. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
 
Buku ini dianggap sebagai ide yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju Kartini.
 
Kalau kita cermati isi surat - surat kartini, kita akan mendapati bahwa surat itu hanyalah ungkapan kegelisahan Kartini. Karena saat itu Kartini melihat, banyak wanita pribumi yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Namun, belumlah Kartini sempat berbuat sesuatu sebagai manifestasi kegelisahannya, Kartini harus kembali menghadap sang pencipta. Lalu, darimana kita tahu bahwa Kartini pejuang emansipasi?
 
Kalau benar Kartini menginginkan persamaan hak antara kaum laki-laki dan wanita, sejauh apakah persamaan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa kita dapatkan dalam surat -surat Kartini. Sehingga kita bisa memahami, ide emansipasi wanita tanpa batas yang saat ini dijajakan kepada kita, adalah tafsir tokoh - tokoh gender yang berusaha menyamakan pemikiran Kartini dengan pemikiran mereka..
 
Lepas dari benar salahnya tafsir penggagas gender akan ide Kartini, sebenarnya menjadikan Kartini tokoh utama pergerakan wanita di Indonesia juga perlu dikaji ulang. Selain Karena perjuangan Kartini masih sebatas wacana, masih ada tokoh wanita yang sebenarnya berpikiran dan berkiprah lebih dibandingkan Kartini. Sebut saja Rohana Kudus (1884-1972). Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini. Sehingga Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
 
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. "Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan", begitu kata Rohana Kudus.
 
Dalam pandngan islam, kedudukan laki-laki dan wanita sama di mata syari'at. Yang membedakan hanyalah ketaqwaannya. Namun karena secara anatomi biologis mereka berbeda, ada hukum - hukum khusus bagi laki - laki dan ada hukum - hukum khusus bagi wanita. Semua itu ditujukan untuk saling melengkapi dan melestarikan jenis manusia. Dan jika kita mau bijak melihat, arah emansipasi yang sedang gencar dikampanyekan, tidak lebih dari upaya melibatkan kaum wanita di sektor ekonomi. Bahkan ada bau - bau eksploitasi. Dan atas nama kesejahteraan, emansipasi tanpa batas seakan menjadi sebuah keniscayaan.
 
Islam sebagai sebuah aturan yang sempurna, telah memiliki mekanisme penjaminan kesejahteraan. Semua itu tertuang dalam sistem politik ekonomi islam. Dalam politik ekonomi Islam, upaya meraih kesejahteraan bukan hanya dibebankan kepada individu dan keluarga,  melainkan juga menjadi tanggung jawab negara. 
 
Individu (suami/ayah) berkewajiban dalam mencukupi kebutuhan dirinya juga keluarganya. Dalam pandangan Islam,  yang pertama bertanggung jawab memenuhi nafkah keluarga adalah suami/ayah. Dengan begitu, para wanita akan memfokuskan perhatiannya pada peran strategisnya sebagai istri dan pencetak generasi berkualitas serta orang yang berperan dalam pencerdasan umat. 
 
Jika seseorang tidak memiliki suami/ayah atau ada suami tetapi mereka tergolong miskin,  sehingga tidak mampu menafkahi orang-orang yang berada dalam tanggung jawabnya, kewajiban penafkahan tersebut beralih kepada ahli warisnya. Jika tidak ada kerabat atau masyarakat muslim yang dapat menanggungnya,  maka nafkah seseorang, termasuk perempuan dan anak-anak, menjadi tanggungan Baitul Mal (negara). Dalam rangka negara dapat melaksanakan hal-hal yang diwajibkan oleh syariat, syara' telah memberikan kekuasaan kepada negara untuk memungut harta kekayaan tertentu sebagai pungutan tetap,  seperti jizyah dan kharaj dan harta zakat.
 
Demikianlah, kita perlu untuk meluruskan kembali arah perjuangan Kartini, dengan memberikan pemahaman yang benar akan hakekat emansipasi. Juga gambaran yang jelas akan solusi islam yang menghantarkan wanita pada kemuliaannya. Sejarah telah mencatat, islam telah berjaya lebih dari 13 abad. Maka bukanlah hal yang berlebihan kalau kita menginginkan untuk mengulang kembali kejayaan itu.
 
Segala macam perbedaan hendaknya kiya sikapi secara bijaksana, demi kesatuan umat dan kemuliaannya. Bukankah begitu juga sejarah telah mencatatnya? Sungguh kalimat "Laa illa ha illallah" telah menjadi pengikat kita. Mari kita junjung dan kibarkan panji Rasulullah saw, al-liwa dan ar-Raya, bendera bertuliskan ikatan aqidah pemersatu umat ini, dimanapun umat berada. Karena hakekat al liwa dan ar-raya adalah panji umat islam. Bukan panji kelompok tertentu apalagi bendera teroris. Wallahu a'lam bi ash showab. [syahid/voa-islam.com]

latestnews

View Full Version