View Full Version
Selasa, 30 May 2017

Catatan Bunda: Antara Afi, Awkarin dan Kita

Oleh: Cahya Naurizza*

Afi dan Awkarin adalah dua remaja yang sempat menghebohkan dunia maya akhir-akhir ini. Saat kehebohan itu terjadi usia keduanya tidak terpaut jauh. Awkarin berusia 19 tahun dan Afi berusia 18 tahun. Keduanya menuai kontroversi yang sama namun dengan beberapa perbedaan yang signifikan.

Awkarin, menggegerkan dunia maya dengan gaya hidupnya yang hedonis dan bebas. Melalui fotonya di instagram atau vlognya, Awkarin senang sekali berfoto dengan berpakaian minim, berpose seronok, memamerkan tato, merokok, meminum minuman keras juga mengumbar kemesraan dengan kekasihnya dalam foto-foto intim.

Mirisnya, hal itu menginspirasi remaja dalam hal fashion dan prilaku. Dalam hal kehidupan cintanya dengan Aga, Awkarin membuat para remaja histeris dengan slogan relationship goal. Komentar-komentar kekaguman seringkali terlontar saat ia memposting foto atau vlog kemesraan dan keintimannya dengan Gaga. Awkarin juga terkenal kerap melontarkan kata-kata yang kasar. Namun, hal ini tak mengurangi nilai seorang Awkarin di mata pengagumnya.

Sementara Afi, secara fisik, berkebalikan dari Awkarin. Ia sosok remaja manis berjilbab, santun dan juga cerdas. Afi banyak dikagumi melalui tulisan-tulisannya yang cerdas. Caranya mengolah kata dan menuangkan buah pikirannya mengagumkan banyak orang. Bahkan cara berpikir, cara pandangnya juga kebijaksanaannya dinilai jauh melampaui usianya.

Warisan, adalah salah satu tulisannya yang kemudian sangat viral dan menuai pro kontra. Dalam tulisan tersebut, titik kritisnya Afi menganggap bahwa segala yang ada pada dirinya (dan kita) adalah warisan, termasuk agama. Pro kontra kemudian bermunculan, pun berbagai tulisan yang kontra tulisan Afi. Lalu muncul pula tulisan yang menyanggah tulisan yang kontra Afi.

Yang Muda, Yang Haus Popularitas

Afi dan Awkarin, keduanya meraih popularitas meski dengan cara yang bertolak belakang. Sebagai orang dewasa atau orang tua, kita bisa melihat betapa fenomena keduanya adalah penting, memprihatinkan, juga membahayakan.

Sosok Awkarin, sudah tentu menuai pro dan kontra, tetapi tentu saja, orang dewasa bisa dipastikan lebih banyak yang kontra karena Awkarin dan tingkah polahnya banyak menabrak nilai moral, agama, sopan santun dan budaya timur. Bahkan KPAI sendiri sampai melayangkan protes pada Awkarin dan kedua orang tuanya. Berbahayanya dampak polah Awkarin disepakati oleh nilai keumuman masyarakat. Apalagi menilik folowernya yang kebanyakan adalah anak kecil dan remaja yang dalam berbagai komentarnya menganggap segala hal tentang Awkarin sebagai sesuatu yang keren. Tentu saja, hal ini sangat rentan untuk ditiru.

Sementara yang menarik dari kontroversi soal tulisan Afi adalah, jika dalam kasus Awkarin sebagian besar orang tua atau orang dewasa sepakat bahwa polah Awkarin tidak layak, tidak sopan, keterlaluan dan membahayakan, dalam kasus Afi, orang dewasa justru terbagi menjadi dua. Pertama, kubu yang pro dengan tulisan Afi dan menilainya sebagai tulisan toleransi dan kebhinekaan yang indah juga memaknai agama dalam persepsi yang lebih luas. Kedua adalah kubu yang kontra dan menilai tulisan Afi sebagai tulisan yang melewati batas karena mengangkat hal yang penting namun sebagai seorang muslim, pandangan Afi tidak berpijak pada akar agama yang diyakininya. Bahkan cara pandangnya dianggap cenderung liberal.

Peran kedua kubu orang dewasa yang pro dan kontra inilah yang membuat tulisan ini semkin viral dengan komen ribuan dan share belasan ribu kali. Kedua kasus ini menarik kita cermati. Remaja identik dengan segala stigma sebagai sosok yang mencari jati diri, pemberontak, penyuka tantangan, selalu ingin mencoba, dll.

Tak heran dengan stigma ini, kita, orang dewasa/orang tua kerap membatasi remaja dan kerap memperlakukan mereka layaknya anak kecil. Bukan itu saja, kita mendorong mereka mengalami kebingungan bukan saja dengan infantization (pembocahan) di lain waktu, namun pada kesempatan lain kita meminta mereka bertanggungjawab karena mereka sudah besar/beranjak dewasa:

"Sudah, kamu masih kecil jangan macam-macam..."

"Kamu tuh sudah besar, ga boleh gitu ... Mikir dong... Bertanggungjawab dong..."

Kalimat semisal ini bukan hal yang asing kita lontarkan pada remaja, bukan? Jadi, sebenarnya aku ini masih kecil atau sudah besar sih? Begitu tentu pikiran para remaja kita. Hal ini menyebabkan mereka seolah krisis identitas, kebingungan akan identitas yang kerap disematkan membuat remaja gagap untuk memposisikan diri, sebagai orang dewasa, atau sebagai anak-anak?

Dikutip dari buku Pendidikan Berbasis Fitrah yang ditulis oleh Pak Harry Santosa, sebenarnya, istilah remaja tak dikenal oleh budaya dan agama dunia sampai abad 19. Sejarah manusia telah mencatat remaja sebagai orang dewasa meskipun mereka adalah orang muda. Sebagai contoh, dalam tradisi Yudaisme, Bar Mitzvah selama berabad-abad menandai usia 13 tahun sebagai usia ketika seorang anak laki-laki menjadi seorang pria dewasa dengan tanggung jawab penuh.

Islam juga demikian, anak-anak yang sudah baligh usia 12-14 tahun, maka dianggap sudah dewasa dan wajib memikul tanggungjawab syariah termasuk nafkah dan jihad. (Hal 307) Menurut psikolog Robert Epstein dalam bukunya "The Case Against Adolescence: Rediscovering the Adult in Every Teen", Istilah remaja berkembang setelah terjadinya revolusi industri dan seluruh budaya bekerjasama dalam sebuah kelas sosial "artifisial/buatan" bernama remaja yang memperpanjang masa kanak-kanak, terutama melalui sistem sekolah dan pembatasan pekerja. Remaja telah benar-benar terisolasi dari orang-orang muda dewasa, dan menciptakan budaya teman sebaya.

Kita membatasi mereka di sekolah dan menjaga mereka bekerja secara bermakna, dan jika mereka melakukan sesuatu yang salah, kita menempatkan mereka dalam sebuah stigma "anak-anak". Hal ini membuat remaja marah dan tertekan, bahkan hal ini membuat mereka mengakibatkan permasalahan keluarga yang berujung perceraian. Padahal, menurut Epstein, remaja sebenarnya jauh lebih kompeten daripada yang kita asumsikan selama ini. Justru sebagian besar masalah mereka adalah berasal dari pembatasan peran sosial mereka. Nah, inilah yang terjadi ketika kita ternganga dengan kasus Awkarin dan Afi.

Kita telah terbiasa menganggap remaja adalah anak-anak tanggung yang mereka belum bisa berbuat apa-apa. Tak heran jika banyak yang tak percaya membaca beberapa tulisan Afi dan menganggapnya bukan seperti tulisan remaja 18 tahun karena cara pandangnya dianggap jauh melampaui usianya.

"Tak semua remaja kerjaanya nongkrong, tawuran dan narkoba..." Begitulah reaksi Afi dalam salah satu komentarnya terkait tanggapan yang meragukan tulisannya.

Tersirat Afi merasa kesal dengan stigma penyamarataan remaja yang tersemat kepada dirinya. Melalui tulisan-tulisannya, Afi seolah mengumumkan pada dunia, "Hellow... Ini aku remaja, dan aku bukan seperti remaja kebanyakan."

Begitu juga dengan Awkarin, kita dibuat terheran-heran bagaimana seorang remaja bisa begitu cuek dan berani melakukan banyak hal ekstrim seperti itu, apalagi mengingat latar belakangnya yang dulu berjilbab dan pernah menjadi siswa teladan penyabet predikat nilai UN tertinggi sekabupaten. Kemudian, kemampuan Awkarin yang mampu memperoleh pendapatan belasan bahkan puluhan juta hanya dari endorse produk-produk remaja di IGnya, atau kemampuan Afi menggegerkan jagat maya dengan tulisannya hingga terjadi "perang" antar dua kubu yang "berkepentingan". Hal ini membenarkan pendapat Epstein bahwa remaja memang jauh lebih kompeten dari yang kita asumsikan selama ini.

Yang Muda, Yang Berontak

Jika kita mau mencari, misal dengan mengetikkan kata 'remaja berprestasi di Indonesia/dunia' di mesin pencari, banyak sekali bisa kita dapatkan sosok remaja pemuda/i yang berprestasi di Indonesia (atau bahkan dunia) mereka unjuk gigi dalam berbagai kompetisi internasional dan menyabet gelar juara. Belum lagi mereka yang secara nyata telah berkonstribusi terhadap lingkungannya dan peradaban dunia seperti penemuan Facebook dan WhatsApp. Namun remaja berprestasi, minim publikasi. Remaja bermasalah justru sering terekspos.

Melihat bagaimana tingkah polah para remaja yang mencengangkan ini, sebaiknya kita, orang dewasa/ortu belajar kembali tentang apa, siapa dan bagaimana remaja. Sebagaimana digambarkan oleh Robert Epstein dan juga oleh Carol Dweck, seorang psikolog dari Stanford University dan dikutip oleh Pak Harry Santosa dalam buku Pendidikan Berbasis Fitrah, bahwa ciri-ciri remaja adalah:

1. Suka pengakuan sosial dan kompeten. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa menurut Epstein remaja sebenarnya jauh lebih kompeten dari apa yang kita asumsikan. Dan sebagian masalah mereka berasal dari pembatasan penempatan sosial pada diri mereka. Masalah: infantization (pembocahan), kebanyakan narsis, tidak punya bakat keren. Solusi: Jadilah partner bisnis, partner sosial, libatkan mereka lebih banyak dalam aktibitas sosial dll. Suka pengakuan sosial, kita bisa lihat ini dalam kasus Afi dan Awkarin.

Jika Awkarin melakukannya dengan cara yang ekstrim dan mendobrak tata nilai, bahkan sampai merombak total penampilan dirinya, Afi melakukannya dengan cara elegan dan bermartabat, melalui tulisan. Namun, karakter ingin mendapat pengakuan sosial juga tercermin dari bagaimana Afi senang dan merespon komentar-komentar yang mendukung atau sepemikiran dengan tulisannya, tapi mengabaikan bahkan memblokir komentar atau tulisan yang bersebrangan atau mengkritisi tulisannya. Tindakan ini, pada akhirnya, menjebak Afi untuk mengingkari isi tulisannya sendiri, bahwa tak boleh mengakui kebenaran versi masing-masing. Dengan menolak dan memblokir komentar kontra dirinya, Afi telah mengakui kebenaran versinya sendiri.

2. Remaja sangat suka tantangan. Mengenai karakter ini, Carol mengatakan bahwa "Hadiah terpenting dari orang tua pada anaknya adalah tantangan" Namun seringkali problemnya adalah, orang tua sering mengambil alih, kita menjadi parent takeover, hingga membuat anak kehilangan moment untuk memberdayakan dirinya. Solusinya adalah kita harus memberi tantangan pada merekan dan menjadi raja tega.

3. Suka mengatur dirinya sendiri. Remaja sangat suka mengatur dirinya sendiri, memilih apa yang cocok dan nyaman dengan dirinya. Namun kita seringkali masih mengasumsikan mereka dan memperlakukan mereka sebagai anak-anak. Sebaiknya, kita jangan mengintervensi terlalu jauh, beri mereka ruang untuk berpikir dan bergerak, jadilah partner mereka. Menjadi partner juga berarti memperlakukan mereka layaknya orang dewasa. Seringlah berdiskusi dengan mereka. Dalam sejarah, kita bisa melihat bagaimana Nabi Ibrahim meminta pendapat dan berdiskusi dengan puteranya Ismail terkait wahyu mengenai perintah penyembelihan. Atau kita bisa lihat bagaimana Rosulullah SAW kerap meminta pendapat orang muda seperti Ali ra dalam setiap rapat yang beliau pimpin.

4. Suka lawan jenis. Ini ciri karakter remaja yang paling terlihat seiring perubahan hormon pada dirinya. Dalam masa ini pendidikan fitrah seksualitas sangat penting, bahkan perlu diulang prosesnya sekiranya remaja tak mampu mengenali diri dan fitrahnya. Jika tidak maka akan banyak kasus penyimpangan seksual ataupun seks bebas. Kasus Awkarin yang mengumbar gaya pacarannya secara vulgar juga merupakan sebuah 'penyimpangan' moral yang amat memprihatinkan. Apalagi hal itu disukai, dikagumi dan bukan tidak mungkin dicontoh oleh generasi muda yang juga sedang mempunyai kecenderungan sama, menyukai lawan jenis. Solusinya, terutama bagi muslim adalah dengam menikah atau mengendalikan syahwatnya dengan cara berpuasa juga mengetahui adab terhadap lawan jenis.

5. Suka kebenaran. Pada dasarnya remaja suka kebenaran, keadilan dan keterbukaan. Pada masa inilah remaja banyak ingin tahu, penuh rasa penasaran dan tergoda untuk mencoba-coba. Jika banyak remaja kemudian terjerumus hal-hal yang tidak baik, hal ini disebabkan tak adanya figure yang dapat diteladani atau ia salah menafsirkan kebenaran. Kasus Awkarin yang semula adalah sosok remaja cerdas dan berjilbab kemudian bertransformasi menjadi sosok yang berani semau gue dan cenderung, maaf, binal, kemungkinan karena ketiadaan figure atau ia salah menafsirkan kebenaran atau jalan "hijrahnya".

Dalam kasus Afi, bagaimana diri dan pemikiran yang sedang berkembang menghasilkan sebuah tulisan yang mengangkat tema yang sangat berat dan sensitif, kemudian diamini dan didukung oleh orang-orang dengan paham dan pemikiran tertentu, tetapi kemudian direspon berbeda oleh orang-orang yang menganggap bahwa sebagai seorang muslim, apalagi berani mengangkat tema agama, tidak selayaknya Afi berpendapat demikian, semestinya Afi berpijak pada rujukan pertama dan utama yaitu Alquran dan sunnah sehingga tidak salah tafsir atau asal tafsir meski dengan dalih bahwa ia melihat dalam perspektif agama secara luas.

Berpikir Solusi untuk Generasi

Solusi untuk permasalahan remaja yang serba ingin tahu ini adalah dengan memberikan pendamping akhlak dan teladan untuknya. Sehingga remaja tetap bisa 'on the track'. Mau tidak mau, kasus Awkarin dan Afi menyentakkan kita sebagai orang dewasa/orang tua. Dalam kasus Awkarin, orang tua ternganga-nganga melihat bagaimana segala tingkah polah ekstrim Awkarin disukai dan dikagumi oleh banyak folowernya yang kebanyakan remaja.

Hal ini juga menyentakkan orang tua yang gagap dalam menggunakan gadget sekaligus menyadarkan mereka, betapa dunia dengan gadget adalah dunia liar tanpa sekat yang mudah sekali diakses, dinikmati dan ditiru oleh anak-anak mereka. Hingga kemampuan menguasai gadget adalah sebuah keniscayaan agar mereka tidak tertinggal oleh anak-anak mereka dan lebih bisa mengontrol dan mengawasi mereka. Dan, hal yang mencengangkan, betapa segala keekstriman Awkarin yang sudah jelas gamblang banyak menabrak banyak tata nilai itu seolah tak terlihat dan dipahami oleh sebagian besar remaja folower dan pengagumnya. Ia dianggap keren, icon idola remaja dan trendsetter. Ini kemudian menjadi PR bersama bagaimana agar para remaja ini dirangkul dan dipahamkan kembali akan nilai-nilai norma agama yang berlaku di masyarakat.

Pada kasus Afi, meskipun terasa belum/ tak ada dampak yang secara fisik terasa frontal dibandingkan dengan kemungkinan efek yang disebabkan Awkarin, sejatinya tetaplah ada yang hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena tulisan adalah senjata yang lebih tajam dari pedang. Buah pikiran ketika sudah dituangkan ke dalam sebuah tulisan, bersifat abadi. Terus dibaca, terus dishare, mempengaruhi cara pandang dan prilaku bahkan bisa membalikan keyakinan seseorang.

Sebuah komentar seorang netizen yang menyatakan bahwa temannya yang mualaf menjadi meragukan pilihannya setelah membaca tulisan Afi, tapi kemudian menjadi kembali yakin setelah membaca tulisan Gilang. Ini adalah salah satu contoh betapa sebuah tulisan bisa berdampak sangat besar dan luar biasa. Berbagai faham atau buah pikiran yang ada dan digagas para tokoh di dunia tetap hidup karena tertuang abadi dalam tulisan.

Ayah dan Bunda, Dampingilah Buah Hatimu

Belajar dari kasus Afi, kita sebagai orang tua hendaknya memperhatikan apa saja bacaan anak-anak kita. Membaca buku adalah hal yang baik, namun hal itu jangan melenakan kita karena kita sudah cukup bangga memiliki anak yang baik-baik saja, hobby membaca dibandingkan anak-anak lain yang hobi 'ngelayap' atau dugem. Perhatikanlah apa yang dibaca anak kita, karena kita adalah apa yang kita baca, you are what you read.

Ada baiknya orang tua telah lebih dulu membaca atau setidaknya mengetahui sedikit informasi tentang konten buku yang sedang dibaca anak kita. Buka ruang diskusi dengan mereka mengenai pemikiran dan penyerapan mereka terhadap konten buku tersebut. Perhatikan juga tulisan yang mereka buat atau artikel apa yang mereka baca. Perhatikan pemikiran mereka dan cara mereka merespon sesuatu, luruskan jika ada yang keliru dengan membuka dialog dari hati ke hati.

Hal yang sangat perlu diperhatikan bagi kita sebagai orang tua muslim adalah pentingnya penanaman dan pengokohan aqidah kepada anak-anak kita. Tekankan agar Alquran dan sunnah adalah rujukan yang pertama dan utama kita sebagai muslim. Jadikan keduanya sebagai pondasi sekaligus benteng yang kokoh dari segala serbuan pemikiran dan paham lain. Hingga ia bisa menyaring dan menimbang dengan 'saringan' dan 'timbangan' yang benar.

Dalam sejarah islam, kita mengenal tokoh-tokoh muda yang sudah berperan mengukir sejarah dalam usia beliau, sebut saja Usamah Bin Zaid yang menjadi panglima perang pada usia 18 tahun. Mushab bin Umair yang menjadi duta islam. Muhammad Alfatih penakluk konstatinopel, Imam Syafii yang menjadi mufti di Mekah pada usia 15 tahun. Sejatinya, memang ketika seseorang sudah melewati masa baligh (pubertas) maka ia sudah menjadi dewasa, maka perlakukanlah mereka selayaknya orang dewasa.

Para pemuda Islam zaman dahulu dapat memberikan peran terbaiknya karena mereka sudah melewati masa aqil baligh secara bersamaan. Ini yang menarik. Tibanya masa aqil baligh (dewasa mental dan fisik) secara bersamaan. Baligh adalah kondisi tercapainya kondisi kedewasaan biologis dengan kematangan alat reproduksi (usia 14-16 th). Aqil adalah kondisi tercapainya kedewasaan psikologis, sosial, finansial serta kemampuan memikul tanggungjawab syariah. (FBE 302) Idealnya aqil tiba bersamaan dengan baligh. Hal ini sayangnya tidak terjadi pada masa sekarang.

Banyak pemuda sudah baligh tapi belum aqil atau sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya makanan, lingkungan serta cara kita memperlakukan mereka. Maka, solusinya tak lain adalah bagaimana kita mempersiapkan mereka menjadi generasi aqil baligh. Ketika anak dibangun (aqil) maka akan lahir kesadaran. Kesadaran akan melahirkan cinta dan akhirnya cinta akan melahirkan tanggungjawab. Dan akal tak identik dengan nalar atau intelektualitas karena akal adalah ikatan (arab: 'uqul) antara otak dan hati.

Maka kelak, kita harapkan tak hanya lahir anak-anak yang cerdas secara intelektual namun juga cerdas akalnya hingga ia mampu bertanggungjawab sepenuhnya atas segala yang dilakukannya. Bukan saja bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri atau lingkungan tapi juga bertanggungjawab kepada Allah Sang Pencipta. Wallahu'alam bisshowwab.  (riafariana/voa-islam.com)

*Penulis adalah seorang ibu rumah tangga peduli generasi


latestnews

View Full Version