View Full Version
Senin, 10 Jul 2017

Hari Patah Hati Nasional (Lagi)?

Oleh: Dewi K. Mujahidah, S.ABI

(Alumni Prodi Administrasi Bisnis Fisip dan Pengurus Keputrian Rumeli Hisari DKM Ulul Abshor Unpas)

Jangan lakukan dan tidak perlu kau katakan, itu berlebihan, menurutku. Toh, pernikahan adalah sebuah keputusan tepat bagi insan yang sedang dimadu asmara. Ketimbang hidup dalam bayang-bayang dosa karena sebuah hubungan tanpa kehalalan, jalan akad adalah solusi yang harus disegerakan, jika mampu. Pun tidak, shaum bisa menjadi tameng lain yang akan lebih memuliakan.

Lalu, salah besar jika harus patah hati. Siapa dia? Siapa kamu? Coba renungkan kembali, apakah keputusan untuk merasa patah hati sudah tepat? Jika ya, kenapa tidak lakukan hal yang sama untuk saudara-saudara kita di Palestina dan belahan bumi lainnya yang porak poranda oleh rezim yang sangat dzalim.

--Hey, ini kan becanda, ikut ramein aja, ah kamu kudet!

Ah, iya. Aku pun awalnya berpikir itu hanya becandaan saja. Namun, coba pikirkan sekali lagi, apa faedahnya? Hubungan seorang fans dan bintang idolanya, tentu hanya sebatas suka. Pun, suka yang dimaksud, jika kita merujuk pada konsep Islam, hanya gibthah saja yang diperbolehkan. Mohon, jangan salah persepsi. Lagi, tidak ada kata 'becanda' untuk urusan hati. Jangan salahkan siapapun jika merasa dipermainkan, toh pada nyatanya kita sendiri yang mengizinkan untuk itu.

--Ah, kamu jangan munafik, sesama fans pastilah kamu merasakan hal yang sama, kan?

Sebentar, hal yang sama untuk perasaan yang mana? Jika untuk perasaan 'bahagia', tentu. Sangat bahagia. Siapa yang tidak senang jika ada saudaranya sesama muslim menyempurnakan separuh diin (agamanya) dengan jalan pernikahan? Sebagai sesama muslim, kita punya tugas untuk saling mendo'akan.

--Sudahlah, kamu memang bukan teman yang asyik, terlalu fanatik!

Hmm, lagi-lagi sebagai pembenaran atas diri mereka menggunakan sebuah kosakata 'fanatik'. Ya, tak mengapa. Jika faham maknanya, tentu kata tersebut tidak akan diucapkan. Namun, sekali lagi tugas kita adalah saling mengingatkan. Jika dianggap keliru, apa harus dibiarkan?

Teringat sebuah kejadian di Masjid Raya Bandung, kala itu remaja putri (bisa dikatakan mereka itu 'ahlul hijrah'). Pakaian yang digunakan sudah bisa dikatakan 'syar'i' hanya saja, lagi-lagi berawal dari kata 'becanda'. Saat seorang 'reciter' bule datang dan mengisi acara, jamaah putri dengan 'tidak' malu beteriak memanggil namanya dan saling berebutan untuk berjabat tangan.

Apalagi jika bukan karena soal salah konsep dalam memahami 'hijrah'?

Islam begitu memuliakan wanita dan sayangnya kita sendiri yang malah melakukan tindakan menghinakan.

Mari, masih ada waktu untuk memperbaiki. Jangan marah, aku pun sama, sebelum ada yang mengingatkan, pernah menjadi sosok wanita yang sangat antusias jika mendengar nama 'Duta S07', langsung baper saat mendengar berita jadian 'Lee Seung Gi', sempat ikutan marah saat tahu bahwa 'Michael Jackson' sedang dalam kondisi depresi, daan lain sebagainya. Namun, hidayah Allah dan atas kasih sayang-Nya, beberapa kajian serta sahabat mengingatkan bahwa ada yang harus diperbaiki dalam konsep 'hijrah' dan hal memahami perasaan 'suka'

Semoga, tulisan sederhana ini sedikit menyadarkan, tenang, berubah menjadi baik itu baik, jangan berubah dan mengikuti tren yang salah, jika hidupmu hanya untuk bisa disebut sebagai 'teman yang asyik' sampai rela melakukan jalan yang salah, jangan salahkan jika nanti Allah punya cara yang lebih 'asyik' untuk membuatmu tersadar

Tidak ada yang lebih baik diantara yang menyampaikan atau mendengarkan, karena yang lebih baik di mata Allah adalah yang mengamalkan. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version