View Full Version
Sabtu, 30 Sep 2017

Mampukah Sekolah Ramah Anak Lindungi Generasi?

 
Oleh: Nur Arsyila*

 

"SEKOLAH RAMAH ANAK", begitulah nama program pemerintah untuk mengatasi berbagai problem kekerasan dan tindakan tidak menyenangkan yang menimpa anak di sekolah. Andai semua sekolah yang ‘ramah anak’ ada sejak dulu, mungkin tidak ada lagi siswa-siswa yang bertumbangan di sekolah. Ya, seperti yang kita tahu bahwa pada Agustus lalu, seorang siswa kelas 2 SDN Longkewang, Sukabumi, Jawa Barat meninggal dunia akibat dianiaya teman sekalasnya. Abdurohim (kakak korban) mengatakan, berdasarkan keterangan dari teman-teman SR, adiknya dipukul oleh temannya hingga terjatuh. Tak hanya dipukul, telinga SR disumbat menggunakan keripik dan disiram dengan minuman ringan (http://regional.kompas.com).

Tak hanya satu kasus, tindakan kekerasan yang terjadi di sekolah telah menjadi headline berbagai surat kabar, baik cetak maupun online sejak tahun-tahun sebelumnya. “Bocah SD Berantem dengan Teman Karena Saling Ejek”, “Lumpuh 2 Bulan, Bocah SD yang Dianiaya Temannya Meninggal Dunia”, “Empat Bocah yang Keroyok Siswi SD Hingga Tewas Diperiksa Polisi”, “Tewas Berkelahi dengan Teman, Polres Jaksel Tunggu Hasil Visum R”, dan masih banyak lagi berita semisalnya.  Bahkan, berdasarkan Data Internasional Center for Research on Women (ICRW) pada 2015 sebanyak 84% siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah. Tahun yang sama United Nations Internasional Children’s Emergency Fund (UNICEF), juga merilis 50% anakmengaku pernah mengalami perundungan atau bullying di sekolah.

Mengapa dan Bagaimana?

Mengapa kasus kekerasan terus berulang? Sistem sekuler yang tidak ramah anak. Itulah akar masalahnya. Semua bidang kehidupan kita dijauhkan dari agama dan penerapan aturanNya. Maka wajar jika banyak orang, guru, orang tua, bahkan pelajar dan anak SD yang tidak takut melakukan tindakan kekerasan. Output pendidikan saat ini tidak mampu mencetak generasi beriman dan bertaqwa yang takut pada sang Pencipta. Para anak akan sering menghadapi kekerasan di mana pun berada.

Lalu, jika capaian ‘ramah anak’ hanya diberlakukan di sekolah saja, sedangkan lingkungan masyarakat tidak ramah anak, keluarga tidak ramah anak, media tidak ramah anak, bahkan negara tidak ramah anak, bagaimana anak-anak kita bisa terjamin dari tindakan kekerasan dan ketidaknyamanan yang mereka hadapi saat ini? Mereka mungkin akan aman saat di sekolah, tapi terancam jika keluar dari sekolah.

Maka yang harus diwujudkan adalah sistem ramah anak, sebuah sistem yang mampu menjamin para anak dari berbagai ancaman dan bahaya, bukan hanya bahaya fisik semata, tapi juga bahaya pemikiran, gaya hidup, dan bahaya masa depannya. Sebuah sistem yang berasal dari Dzat yang Maha Tahu, termasuk tentang anak. Yakni sistem Islam.

Sistem Islam tak hanya bicara tentang pemerintahan  sebuah negara berdasarkan Islam, tapi tentang berbagai bidang kehidupan yang didasarkan pada aturan Islam. Mulai dari keluarga, masyarakat, sekolah (pendidikan), dan negara. Keluarga yang menanamkan pondasi dasar berupa aqidah kepada anak. Menjalankan peran dan fungsi keluarga secara optimal dengan tuntunan Islam.

Sistem sekolah yang menanamkan keimanan dan pengetahuan Islam serta ahli dalam ilmu pengetahuan-teknologi dengan landasan ketaqwaan.  Masyarakat yang memberikan kontrol sosial dengan standar nilai-nilai benar yang bersumber pada Dzat yang Maha Benar yaitu Allah SWT dan memberi suasana kondusif untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Serta negara yang membuat regulasi yang memberi perlindungan kepada kepribadian anak dan generasi. Tayangan yang mendidik, menjaga pergaulan dengan menerapkan aturan pergaulan Islam, menerapkan kurikulum yang berorientasi kepada penanaman aqidah dan menerapkan sistem-sistem lain berkaitan dengan penjagaan generasi berdasarkan aturan yang lahir dari Allah pencipta manusia. *Penulis adalah guru di salah satu SMK swasta di Jember, Jawa Timur serta pengurus Forum Kajian Muslimah Inspiratif (ForKaMI)

 

 


latestnews

View Full Version