View Full Version
Rabu, 25 Oct 2017

Santriwati Cium Tangan Politisi: Duh Ukhti, Dimanakah Izzahmu?

Miris, saat melihat muslimah melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dia lakukan.

Prihatin, saat menyaksikan saudara sendiri menghinakan diri di depan satu kepentingan.

Sedih, saat menyadari bahwa mereka adalah bagian dari umat ini.

Yaa...foto-foto santri muslimah sedang mencium tangan seorang politisi bukan barang baru lagi. Sebelumnya, politisi non muslim (banyak yang sensi dengan istilah kafir) datang menyambangi pondok pesantren. Dia bergaya bak seorang ustadz dengan sampiran kain di pundaknya. Santriwan dan santriwati berebutan menyalami dan mencium tangannya. Duh!

Akhir-akhir ini kejadian serupa terjadi lagi. Tersangka kasus korupsi yang meme-nya memenuhi media sosial, mengulang kesuksesan pendahulunya dalam mencari dukungan di lingkungan ponpes. Ia yang katanya sakit parah, tiba-tiba saja sembuh total saat dinyatakan bebas sebagai tersangka kasus korupsi E-KTP.

Begitulah, di era politik pencitraan negeri ini, orang kafir dan koruptor bisa dicitrakan sedemikian rupa. Dia bisa keluar masuk pesantren bahkan masjid dengan leluasa. Bukan itu saja, dia juga bisa memberikan tausiyah kepada sang tuan rumah. Setelahnya, para santriwan dan santriwati saling berebut salaman dan tak lupa cium tangan sebagai tanda takzim kepada yang bersangkutan.

Sikap para santriwan dan santriwati ini tentu saja tidak muncul begitu saja. Mereka mencontoh para pimpinan ponpes yang terdiri dari para ustadz dan kyai yang juga tunduk pada si tamu yang datang membawa kepentingan. Tidak dengan tangan kosong, segepok duit disumpalkan agar tak ada suara kritis dan protes menyikapi kedatangan mereka mendulang dukungan. Para santri yang cenderung lugu dan polos meng-amini saja sikap para guru yang saat ini susah sekali menjadi sosok untuk digugu dan ditiru.

...Wahai ukhti, selama ini kau jaga kulitmu bersentuhan dengan lawan jenismu. Masa harus kau rendahkah bukan hanya kulit tapi harga dirimu saat bertemu dengan politisi yang membawa segepok duit?...

Menghormati tamu memang ajaran Islam. Tapi tamu seperti apa dulu yang harus dihormati? Lagipula rasa hormat tidak selalu harus ditunjukkan dengan lebay rebutan tangan sang politisi untuk dicium setakzim itu.

Wahai ukhti, selama ini kau jaga kulitmu bersentuhan dengan lawan jenismu. Masa harus kau rendahkah bukan hanya kulit tapi harga dirimu saat bertemu dengan politisi yang membawa segepok duit? Ingat, gepokan duit itu bukan gratis. Ada udang di balik bakwan (ini mah enak buat dimakan) eh...di  balik batu yang itu harus kau tukar dengan prinsip dan ajaran Islam yang kau pahami selama ini. Masih bingung dimana salahnya?

Itulah kenapa, kecerdasan politik seorang muslimah mutlak diperlukan. Bukan untuk mendaftar jadi anggota DPR di Senayan sana, tapi semata agar tak menjadi bulan-bulanan politisi oportunis untuk mendulang dukungan suara dari kaum perempuan muslim.

Setidaknya, kesadaran politik akan menjaga izzahmu sebagai muslimah agar tak mudah tergadai oleh senyum palsu para politisi yang membawa gepokan uang ke ponpesmu. Paling tidak, kamu memunyai sikap di saat teman-temanmu atau bahkan ustadz dan kyaimu menggadaikan idealisme mereka demi deretan angka atas nama donasi. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version