View Full Version
Jum'at, 22 Dec 2017

Ibu, Usah Ada Airmata di Pipimu

Oleh: Shafayasmin Salsabila 

'Menangislah.. Bila harus menangis'

Apakah itu adalah kalimat penghibur yang pantas untuk saya sampaikan dihari ibu? Ya hari ibu.

Mengapa harus ada air mata tertumpah di hari ibu. Bukankah seharusnya hari ibu menjadi momen bahagia?

Sebelumnya kita kenali terlebih dahulu, sistem kehidupan kita saat ini yakni sekuler - kapitalis. Sistem yang dibangun diatas aturan manusia yang lemah dan terbatas. Sistem serba mahal yang mengkayakan sebagian kecil orang, dan memiskinkan sebagian besar lainnya. Sistem yang dikatakan memenjarakan Tuhan di masjid, sebab umat takut dan tunduk pada aturan agama hanya di masjid saja. Di luar masjid, Tuhan tidak ada.

Sistem yang seperti ini yang kini menjadi kawat berduri yang meliliti tubuh para ibu saat ini. Hingga para ibu terluka dan menangis menahan perihnya.

Tetesan air mata ibu menetes pertama kali tersebab sempitnya jalan rejeki. Dapur gak ngebul itu bikin jantung berdebar, mengalahi debar jantung Romeo saat bertemu Juliet.

Bumi yang luas terasa menyempit. Benarlah Firman Allah Ta'ala :

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaha : 124)

Sedang suami sebagai qawwam, menjadi korban PHK, dan sekarang berstatus pengangguran. Lapangan pekerjaan yang minim, dan kalaupun ada biasanya harus ada uang di muka alias sogokan, yang tentu itu diharamkan. Ingin berwiraswasta, tidak ada modal. Sedangkan fakta berbicata, wanita jauh lebih mudah mendapatkan pekerjaan.

Apa yang terjadi? Akhirnya bertukar peran. Ibu lah yang keluar untuk bekerja demi dapur biar ngebul, dan suami yang menjaga anak-anak dan membenahi rumah. Sampai di salah satu televisi swasta ada satu sinetron berjudul 'Dunia Terbalik', rupanya diangkat dari fakta kekinian. Miris, pastinya!

Berdasarkan kaidah kausalitas, ada aksi pasti ada reaksi. Bertukarnya peran ayah dan ibu, memiliki dampak kedepannya. Sepiawai-piawainya lelaki, fitrahnya bukan di rumah, ayah tidak memiliki kesabaran serta ketelatenan yang sama dengan wanita. Begitupun sebaliknya, sekuat-kuatnya seorang wanita, tidak akan mampu mengalahkan ketahanan lelaki dari sisi kemampuan fisik. Coba lakukan tes, berapa banyak karung berisi beras yang mampu diangkat oleh seorang wanita?

Kuatnya seorang wanita ada pada porsinya. Misal kekuatan azzam nya, kekuatan semangat serta pengorbanannya untuk keluarga dan anak-anak. Bisa jadi dalam hal ini lelaki mudah menyerah, namun jangan ditanya ya the power of emak-emak, apa saja bakal dilakukan kalau sudah demi anak dan keluarga.

Derivat dari bertukar nya peran ini, bisa sampai kepada munculnya generasi broken home. Anak-anak remaja kurang kasih sayang, dan minim perhatian. Generasi yang lemah iman dan mudah sekali depresi. Generasi layang-layang putus, mengikuti arah angin berhembus, kemana saja, apa kata angin (read: syahwat). Banyak anak-anak remaja yang bingung dengan tujuan hidupnya, remaja madesu (masa depan suram), remaja kesepian. Jika sudah begitu mereka akan mencari pelarian.

Untung kalau pelariannya ikut rohis atau pembinaan. Tapi kebanyakan mereka memilih ke arah fun, hiburan-hiburan. Seakan ingin melupakan kegundahan dan ingin pengakuan. Jadilah mereka ikut-ikutan gabung ke gank motor, atau minimal merokok, maksimalnya sampai minum-minuman, drugs hingga seks bebas. Saking bebasnya, yang sejenispun jadi kesukaan. Mereka mencari kesenangan sebagai ganti dari ketiadaan sentuhan lembut serta dekapan hangat dari seorang ibu.

Maka wajar seorang ibu meneteskan air mata saat ia sadar anaknya menjelma menjadi sosok yang dingin terhadapnya, kacau nilai-nilai pelajarannya, sering bolos, tidak mau menurut, susah diatur, dan jauh dari aura keshalihan. Padahal takkala para ibu berdoa, yang dipinta adalah anak yang shaleh/a. Ibu mana yang tidak ingin didoakan oleh anak yang shaleh/a? Karena dalam hadits, doa anak sholeh adalah satu dari tiga amunisi saat tubuh merebah dalam tanah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).

Tetesan air mata berikutnya adalah saat anggota keluarga ada yang sakit parah dan butuh pengobatan dengan biaya yang tidak sedikit. Itu sungguh sangat mencabik-cabik hatinya. Ibarat kata seandainya jantung ibu boleh dijual, ia akan rela asal anak nya bisa mendapatkan pengobatan yang layak.

Seperti kasus terhangat September lalu tentang nasib tragis yang dialami bayi mungil Tiara Debora, putri Henny Silalahi, warga Jakarta Barat yang ditolak Rumah Sakit karena peserta BPJS (JawaPos.com 9/9). Kasus serupa banyak sekali terjadi. Debora hanya satu dari sekian yang terekspose dan viral. Menyedihkan, air mata ibu menetes lebih deras.

Hari ibu menjadi makin kelabu, saat ia harus menyaksikan anak nya putus sekolah, menerima kenyataan mimpi anak-anaknya dihancurkan, siapa yang salah? Lagi-lagi sistem kapitalis telah menginfeksi pendidikan di negeri ini. Pendidikan ikut mahal, jika ingin masuk ke sekolah yang bagus dan bergengsi, harus siapkan uang yang tebal. Bahkan sekalipun sudah menyekolahkan anak di sekolah yang biasa-biasa saja, tetap ada saja iuran/sumbangan yang diminta untuk dibayarkan.

Seragam pun bayar, buku dan alat-alat menulispun bayar, uang transportasi pulang pergi sekolah jika dikalikan dalam satu bulan hampir sama dengan nominal pembayaran listrik dan ledeng. Akhirnya beberapa ibu berpikir ulang dan merelakan anaknya untuk tidak lagi bersekolah. Simpel alasannya, tidak ada biaya.

Lalu apa yang sebenarnya ingin kita rayakan di hari ibu ini? Apakah luka dan air mata itu mampu kita hapus dengan sebuah kado manis? Untuk sesaat memang bisa, namun besok? Mimpi buruk kembali hadir, para ibu makin ketar ketir.

Kenapa kita tidak mencoba sedikit saja untuk berfikir. Para ibu sedang berharap dan menanti secercah asa baginya, hampir kering air mata yang tumpah, namun mereka masih memiliki keyakinan bahwa akan datang suatu hari saat beban-beban berat itu diangkat dari pundaknya, hari saat para ibu dimuliakan dan diselamatkan.

Tidakkah kita berfikir, jika selama ini sistem sekuler-kapitalislah akar masalah sesunggunya, sistem rusak ini lah yang menjadi duri-duri disepanjang jalan yang dilalui para ibu. Sistem buatan manusia inilah yang sejatinya membuat hidup para ibu termasuk kita semua, menjadi terasa sempit dan menyesakan jiwa. Maka apa yang harus kita lakukan?

Selayaknya untuk kita menyelamatkan para ibu di hari ibu ini dengan menggencarkan seruan kepada seluruh umat agar kembali mengambil sistem yang berasal dari Sang Pencipta. Sistem islam yang berisi aturan kehidupan kamilan syamilan.

Bukankah Allah telah tegaskan dalam QS. Al Anbiya : 21 bahwa Allah mengutus Rasulullah saw adalah sebagai rahmat bagi semeta alam. Terwujud nya rahmat berafiliasi dengan tegak nya aturan Allah di muka bumi ini.

Maka jika benar kita ingin membahagiakan para ibu, mari kita bersama-sama menyerukan perubahan pada tataran sistem. Karena inilah satu-satunya cara membebaskan kawat berduri yang membelenggu tubuh kaum ibu. Agar tak ada lagi air mata baik di hari ibu juga pada 364 hari lainnya.

Sudah sangat rindu, mengukir kembali senyum itu di wajahmu, Ibu. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version