View Full Version
Rabu, 17 Jan 2018

Peran Politik Perempuan

Oleh: Salsabila Maghfoor

(Aktivis Mahasiswa, Anggota ‘Back To Muslim Identity Community’)

Kita semua tentu tahu, bagaimana istimewanya hari ibu yang jatuh setiap taggal 22 Desember kemarin. Dimana-mana orang berlomba memberikan persembahan terbaik untuk ibu mereka. Namun bukan berarti, persembahan dan perlakuan istimewa untuk Ibu hanya diberikan pada satu hari itu saja.

Pada awal sejarahnya sebagaimana yang dilansir oleh Mochammad Iqbal Maulud dalam pikiranrakyat.com (22/12/16), hari ibu di Indonesia konon dirayakan pada ulang tahun hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, pada 22-25 Desember 1928. Kongres ini diselengarakan di gedung Dalem Jayadipuran, yang saat ini merupakan kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Pada saat itu, kongres tersebut dihadiri kurang lebih 30 organisasi wanita dari 12 kota berbeda di Jawa dan Sumatra. Dari sinilah kemudian lahir Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Agenda utama Kongres Perempuan Indonesia yang pertama saat itu adalah persatuan perempuan nusantara, peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, peranan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perbaikan gizi, dan lain sebagainya. Kongres Perempuan Indonesia II digelar kambali pada Juli 1935 dengan agenda utama pembentukan BPBH (Badan Pemberantas Buta Huruf) dan menentang perlakuan tidak wajar atas buruh wanita di Lasem, Rembang. Peringatan Hari Ibu sendiri baru ditetapkan secara resmi pada Kongres Perempuan Indonesia III pada 22 Desember 1938 oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden no.316 Tahun 1959.

Dapat kita lihat, bagaimana luar biasanya peran politik perempuan saat itu. Kita bisa melihat juga dalam sejarahnya, bagaimana gigihnya pahlawan perempuan tempo doeloe dalam memainkan peran politiknya untuk mengusir penjajah. Sebut saja Cut Nyak Dien, dengan kepiawaian siasat politiknya akhirnya mampu membuat pihak Belanda kewalahan untuk menangkapnya kala itu. Keteguhan dan keberaniannya telah mampu menewaskan begitu banyak prajurit sekutu. Gambaran sosok perempuan pejuang teladan ada pada beliau. Idealismenya tinggi, tidak mampu diremehkan dengan iming-iming apapun.

Pepatah lama mengatakan, opini perempuan itu sesungguhnya memiliki kekuatan 10 kalinya suara laki-laki. Hal ini tentu harus dipandang sebagai sebuah peluang besar bagi kaum perempuan untuk tergerak menyuarakan opininya atas problematika yang telah menjadi kegalauan bersama, sekaligus merumuskan bahkan menggerakkan arah penyelesaiannya.

Belum lama ini, adanya peristiwa penolakan permohonan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) oleh MK terkait uji materi pasal-pasal perzinahan, perkosaan dan cabul sesama jenis, telah membuka mata kita bahwa kaum perempuan masih dan terus bergerak untuk menyuarakan aspirasinya disertai dengan kesadaran politis atas problematika yang ada. AILA sendiri merupakan Aliansi yang membawahi beberapa komunitas yang memang didominansi oleh Ibu-ibu dan kaum perempuan, dimana salah satu alasan lahirnya AILA adalah kegelisahan akan adanya problem moral anak dan keluarga. Sebagaimana dipaparkan oleh ketua AILA, Rita Soebagio, menurutnya problem yang ada hari ini lahir dari disfungsi keluarga. Ayah yang tidak berperan, ibu yang tidak berperan, akhirnya anak yang menjadi korban.

Bila berbicara tentang politik, perlu digaris bawahi makna politik yang sebenarnya dalam Islam adalah riayah syuunil Ummah atau mengurusi urusan Ummat. Aktivitas ini sesungguhnya merupakan aktivitas yang sangat mulia. Bila kita menelaah Sirah Nabawiyah, aktivitas yang paling diperhatikan oleh Rasulullah SAW kala itu adalah soal kepengurusan Ummat. Beliau membagi waktunya untuk mengurus dirinya, keluarganya dan juga Ummat. Namun urusan dirinya juga ternyata dipersembahkan untuk Ummat, artinya beliau tidak lantas sibuk dengan persoalan pribadinya selain apa yang menjadi persoalan Ummat. Bahkan di akhir hayatnya, yang beliau sebutkan adalah Ummati, Ummati dan Ummati. Bukan Sayyidah Aisyah yang ada disampingya, apatah lagi Fathimah putri yang dicintainya.

Kita menyadari betul bagaimana pengaturan Islam dalam aspek hubungan seorang hamba dengan Rabbnya (Hablun minallah) lewat ibadah dan seperangkat aktivitas ruhiyah yang ada, serta hubungan seorang hamba dengan dirinya (Hablun min nafs) soal pengaturan akhlak, manajemen diri, nafsiyah dan lain sebagainya. Namun yang belum banyak diberikan porsi secara penuh adalah soal Islam sebagai politik terkait dengan hubungan seorang hamba dengan hamba yang lain (Hablun min an-naas).

Islam sebagai politik merupakan fenomena yang hari ini nampaknya sedang dijauhkan oleh musuh-musuh Islam agar jangan sampai Islam menjadi kekuatan politik yang akhirnya mendominasi kehidupan dan akhirnya mengancam dominansi mereka yang hari ini kita kenal dengan istilah penjajahan gaya baru (Neo-Colonialism) lewat berbagai lini. Maka diciptakanlah stigmatisasi negatif terhadap Islam, bahwa penyerunya adalah intoleran, radikalis, ekstrimis, berpemikiran konservatif, dan segelintir cap negatif lainnya.

Padahal sejatinya tidak demikian. Porsi Islam sebagai politik adalah untuk menjadi garda terdepan dalam kepengurusan persoalan Ummat dan ini tentu berbeda dengan politik praktis yang hari ini berkembang di tengah-tengah masyarakat, dimana politik adalah sarana untuk mencapai kekuasaan dan pada akhirnya digunakan untuk melanggengkan kepentingan.

Seperti layaknya mata uang, porsi Islam sebagai ajaran spiritual dan politik tentu saja tidak bisa dipisahkan. Kita mesti mengambil pelajaran bagaimana dahulu peradaban Islam akhirnya pernah memimpin peradaban dan melahirkan generasi panutan, salah satunya adalah karena mereka tidak melupakan perannya dalam kancah perpolitikan yang ada.

 

Lantas apa hubungannya dengan kaum perempuan?

Tentu saja ini menjadi PR besar bagi kaum hawa. Ditengah arus opini negatif tentang Islam politik, lengkap dengan monsterisasi dan stigmatisasinya, kaum perempuan harus mengambil peranan di garda terdepan menangkal segala narasi jahat itu.

Perempuan tidak hanya berperan sebagai Ibu yang mengurus rumah tangga, namun juga kaum Ibu yang melek akan fakta kekinian di masyarakat disertai dengan kesadaran penuh sebagai pencetak generasi unggul di  masa yang akan datang. Maka hari Ibu ini yang bila ditilik sejarahnya -lahir dari suatu gerakan politik perempuan, lewat Kongres Perempuan- mestinya juga bisa menjadi momentum yang lebih menyadarkan peranan kaum Ibu dan para perempuan muda zaman now agar terus bergerak dan terpanggil untuk terus mengikuti konstelasi perpolitikan yang ada serta kemudian mampu mengaruskan opini yang benar, melawan segala narasi jahat yang meracuni pemikiran generasi kedepan. Para Ibu dan perempuan yang tidak tinggal Diam ketika melihat kemunkaran dengan nyata dipertontonkan didepannya, yang mempunyai militansi yang kuat terhadap pembentengan generasi.

Dalam Islam, kita tahu tokoh hebat sekaliber Salahuddin Al-Ayyubi yang mampu membebaskan tanah Palestina dari pendudukan Yahudi. Ia tentu tidak lahir dari orangtua yang tidak memiliki visi dan tidak mengikuti konstelasi perpolitikan yang ada. Bahkan dalam banyak cerita yang masyhur di kalangan sejarawan Arab, disebutkan satu kisah pernikahan Najmuddin Ayub dan ibu Shalahuddin Al-Ayyubi yang didasarkan pada kesamaan visi politis yang jelas, mereka menginginkan memiliki keturunan yang mampu menaklukkan Baitul Maqdis

Kegigihan dan kejelasan visi politik harus dimiliki oleh seorang perempuan hari ini. Perempuan bukan hanya sibuk dalam urusan sumur, dapur, dan kasur, melainkan secara luas mampu menjadi penyetir masa depan yang ada lewat perannya, mampu mewarnai lingkungan dengan corak pemikirannya. [syahid/voa-islam.com]

 


latestnews

View Full Version