View Full Version
Rabu, 28 Mar 2018

Dimanakah Adabmu Nak?

Oleh: Verawati

Kembali dunia pendidikan tercoreng dengan peristiwa pemukulan siswa terhadap guru yang berujung kematian di sekolah SMAN 1 Torjun Sampang Madura. Peristiwa tersebut terjadi saat guru honorer seni rupa mengajarkan melukis.

Namun ada siswa yang berinisial HI  mengganggu teman-temannya. Sang guru tersebut mengingatkan dengan mencoret pipinya dengan cat air. Bukannya malah diam dan sadar atas kesalahnnya, siswa tersebut malah memukul gurunya berkali-kali. Pukulan tersebut mengenai pelipis dan mematikan batang otaknya dan akhirnya meninggal.

Ini bukan kali pertama murid menganiaya guru. Tahun lalu di  seorang guru senior di Makassar mengalami kebutaan setelah dianiaya siswa dan bapaknya. Ayah dan anak ini kompak menghajar sang guru karena tak terima teguran yang diberikan pada sang anak. Padahal bapaknyapun pernah diajar guru tersebut.

Sungguh miris melihat fakta tersebut. Sejatinya murid adalah anak yang didik oleh guru untuk menjadi orang yang tahu dan benar. Taat dan patuh terhadap guru adalah salah satu keberhasilan dalam memahami ilmu. Sebaliknya sikap kasar dan tidak sopan kepada guru adalah sikap atau moral yang buruk.

Mengapa ini bisa terjadi? Pertama tidak terintegrasinya agama dalam pendidikan. Sudah lama di Negara ini terjadi dikotomi pendidikan. Lihat saja ada pendidikan berbasis agama di bawah naungan departemen agama seperti pesantren dan madrasah.  Juga pendidikan umum di bawah departemen pendidikan dan kebudayaan  seperti sekolah dasar (SD) dan seterusnya.

Memang masih ada pelajaran agama, tapi porsinya sangat kecil bila dibandingkan dengan pelajaran umum lainnya. Padahal agama atau aqidah adalah pondasi. Ibarat rumah bila pondasinya kokoh maka bangunan yang tegak di atasnya pun kuat. Sebaiknya bila pondasinya rapuh maka bangunannyapun akan mudah roboh.

Kedua hilangnya adab atau sopan santun. Imam Syafi’i pernah ditanya seseorang, “Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab? ”Beliau menjawab “Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran (telinga). Demikianlan perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.” Beliau ditanya lagi, “Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab, “Aku akan senantiasa mencarinya laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.” (K.H. Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim).

Jelas pendidikan saat ini yang berbasis sekuler kapitalisme tidak akan melahirkan generasi pemimpin yang membangun peradaban. Justru sebaliknya, membuat generasi “micin“ yang doyannya instan. Tak punya adab atau sopan santun.

Sedangkan pendidikan dalam Islam mampu menciptakan generasi yang bisa memimpin peradaban. Tak diragukan lagi kisahnya Muhammad al-Fatih, diusianya 18 tahun mampu menjadi seorang kholifah ( kepala Negara) dan mampu menaklukan Konstantinopel.

Sehingga  jalan satu-satunya untuk mengembalikan posisi pelajar  pada kedudukannya yang mulia adalah dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam seluruh tatanan kehidupan termasuk dunia pendidikan. Wallahu ‘alam bishoab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version