View Full Version
Rabu, 04 Apr 2018

Musiumkan Konde Kartini!

                                  Oleh: Asri Supatmiati
                                           *Jurnalis


Aku Jawa. Indonesia. Islam. Waktu lahir diazani. Tahu konde, pastinya. Plus kemben atau kebaya. Waktu kecil berkali-kali mengenakannya. Moment Kartinian, atau pas menari dari pentas ke pentas. Aslinya, aku tak paham filosofi konde dan kebaya. Tak pernah juga ditanamkan, baik oleh guru maupun orangtua. Jadi aku tak pernah cinta mati padanya. Setengah mati pun tidak.
.
.
Di mataku, konde dan kebaya hanya tradisi Jawa. Kostum di moment-moment tertentu saja. Seperti pernikahan, karnaval atau hajatan lainnya. Kalau tak terpaksa, ogah juga mengenakannya. Repot. 
.
.
Dalam keseharian, kulihat ibu tak berkonde. Kalau menggelung rambut sendiri, iya. Berkebaya, kadang-kadang. Waktu itu, dakwah Islam belum membahana di kampung halaman. Jadi tak pernah tahu, apakah hal itu melanggar syariat atau tidak.
.
.
Seiring usia, dakwah mendatangiku. Menyampaikan pesan tentang pakaian muslimah. Satu persatu teman-temanku mulai hijrah. Aku pun merindukan saat titik balik itu tiba. Kutinggalkan panggung 17 Agustusan. Kuabaikan pentas-pentas hajatan. Kutanggalkan konde dan kebaya. Seiring berubahnya pemahaman. Dari tak tahu, menjadi tahu. Dari diam, mencari tahu. 
.
.
Begitulah yang dilakukan Kartini di masa lalu. Yang semula tak mengenal Islam, lalu meminta agar Kiai Darat menerjemahkan Alquran. Dari semula mengagumi budaya Barat, berubah mengritiknya sebagai “tak layak disebut peradaban”. Dari semula menentang poligami, hingga dia sendiri menjadi istri keempat seorang bupati.
.
.
Konon, kumpulan surat Habis Gelap Terbitlah Terang karyanya, dikutip dari ayat suci 'minadzulumati ilannur.' Sayang, usianya tak panjang. Belum sempat berhijrah kafah, ajal keburu memanggilnya. Sungguh, andai Kartini khatam mengaji, boleh jadi dia akan memusiumkan konde dan kebayanya. Berganti gamis dan kerudung penutup kepala.
.
.
Jadi, ibu-ibu berkonde dan berkebaya, karena belum mengenal Islam kafah. Belum marak pengajian-pengajian seperti sekarang. Sementara, pada saat bersamaan, budaya Barat masuk menggusur budaya Nusantara. Era keemasan konde dan kebaya pun meredup. Gaun, rok mini, tank top, dan celana jeans datang menggantikan kemben dan kebaya. 
.
.
Pakaian ala Barat itu, tentu saja tidak sejalan dengan budaya bangsa kita. Tapi, toh tidak pernah dipermasalahkan. Tidak pernah dibanding-bandingkan. Tak ada yang mendebatkan, apakah rok mini lebih mulia daripada kebaya? Tak ada yang mendemo ketika jarit tergantikan budaya impor jeans ketat. Perempuan Indonesia begitu saja mengenakannya. Juga, karena belum mengenal Islam.
.
.
Namun, tampaknya, era busana buka-bukaan ala wanita Eropa inipun telah uzur masanya. Sebentar lagi lengser masa keemasannya. Perempuan akhirnya sadar, tak nyaman memperlihatkan auratnya. Risih. Busana Barat juga tak membebaskan wanita dalam makna sebenarnya. Bikin repot, malah. Tiap moment, tiap acara, harus ganti busana. 
.
.
Maka, rok mini, tank top dan celana jeanspun perlahan mulai ditinggalkan karena tak memuaskan fitrah manusia. Bergantilah dengan busana menutup aurat. Ini bukan semata-mata budaya baru buatan manusia. Tapi karena telah sampainya dakwah Islam pada kaum wanita. Dakwah yang menghunjamkan keimanan. 
.
.
Ibu-ibu milenial zaman now, sudah sampai ke gerbang istana Islam. Istana yang dibangun dengan syariat-Nya. Meninggalkan keraton kesukuan yang didirikan di atas budaya buatan manusia di masa silam. Pun, meninggalkan budaya Barat yang diimpor jauh dari fitrah manusia.
.
.
Kalau sudah begitu, maukah ibu-ibu kembali ke zaman konde dan kebaya? Saya yakin jawabnya tidak. Jangankan yang berhijab, yang belum berhijabpun enggan berkonde dan berkebaya. Maka, kalau ada yang masih mensucikan konde dan kebaya, semata karena belum tersentuh mabda Islam. Belum paham Islam sebagai sebuah ideologi. Agama yang tak hanya mengatur masalah salat, puasa, zakat dan haji, juga tata cara berpakaian. 
.
.
Keyakinan pada mabda inilah yang menancap kokoh di dada kaum hawa. Mereka begitu militan mempertahankan identitas kemuslimahannya. Telah banyak kita dengar, pejuang-pejuang hijab yang kehilangan pekerjaan, dikucilkan keluarga, ditinggal pasangan hidupnya, hingga mati karenanya.
.
.
Sementara pecinta konde; jangankan memperjuangkan sampai mati, militan mengenakannya pun tidak. Tak ada ceritanya ibu-ibu betah berkonde dan berkebaya dalam keseharian dengan dalih menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Menjemur, ke warung, ke tetangga, nganter anak sekolah; mana mau berkonde dan berkebaya. Tetapi yang berhijab, banyak.
.
.
Pasalnya, konde dan kebaya itu memang tak fleksibel. Belum pernah lihat postingan di Instagram, para traveller berkonde dan berkebaya. Perenang berkonde dan berkebaya. Bikers berkonde dan berkebaya. Tapi kalau hijaber, banyak. 
.
.
Sebab, kalau berkonde dan berkebaya berjemur di pinggir pantai; nyebur di kolam renang; atau menghadiri pengajian; pasti dibilang salah kostum. Ini bukan bermaksud membully para pecinta konde dan kebaya. Cuma mengingatkan. Bahwa, sungguh tidak apple to apple membandingkan busana buatan manusia dengan busana syar'i buatan Sang Pencipta. 
.
.
Hijab adalah pakaian takwa. Cocok dikenakan di segala suasana. Musim panas dan musim hujan, tiada beda. Mau di gunung atau di pantai, cocok-cocok saja. Mau pengajian atau kondangan, hijabnya itu juga. Mengenakannya penuh perjuangan. Kalau ada yang mengusik, mereka rela mempertahankan mati-matian. 
.
.
Maka, janganlah berpikiran jumud. Adalah kemunduran jika kita harus menengok ke belakang. Tak perlu mengangkat kembali budaya usang. Tataplah ke depan. Bandul perubahan sedang mengayun ke kanan. Ke arah Islam. Tak lagi bisa ditarik ke belakang. Maka, mari kita belajar Islam. Jangan sampai terlambat. Sebelum azan tak lagi terdengar berkumandang.(*) 


latestnews

View Full Version