View Full Version
Rabu, 30 May 2018

Ketika Ibu Militan Ikut dalam Perang Pemikiran

Oleh: Tari Ummu Hamzah

(Anggota Komunitas Menulis di Revowriter)

Jika kita teringat kata ibu, apa yang terlintas dibenak anda? Kalau saya pribadi, yang terlintas dibenak saya adalah, sebuah peran yang mengatur rumah tangga. Mendidik anak-anak. Menyiapkan kebutuhan logistik. Dan lain sebagainya. Tapi di Era digital peran ibu akan bertambah, apa itu? Sebagai penulis. Terutama bagi ibu-ibu pengemban dakwah.

Apa yang menyebabkan ibu-ibu yang memiliki idealisme Islam menjadi tergerak untuk menulis? Bagi anda yang dahulu suka berlangganan koran, maka akan kita dapati bahwa, penulis hanya bagi  yang terbiasa dengan profesinya sebagai menulis. Itu pun juga terbatas pada orang yang memiliki gelar dan aktivis. Tapi saat ini semua orang bisa jadi penulis. Termasuk ibu-ibu.

Dahulu kita menunggu berita di koran, maka saat ini berita tak lagi ditunggu, tapi beritalah yang menghampiri kita. Bisa via sosial media. Atau pesan yang disebarkan via chat. Era digital telah menciptakan cara baru dalam menyajikan berita. Arus informasi pun sudah tak terbendung.

Pasti kita pun juga merasakan perubahan arus ini. Bahkan menyebabkan banyak opini silih berganti. Perang pemikiran pun tak terhindari. Bahkan perang tanda pagar juga terjadi. Hal-hal yang dianggap viral ditengah masyarakat, berubah menjadi opini.

Sebagai ibu pengemban dakwah, tentunya tidak akan tinggal diam. Setiap hari memantau berita dan opini yang berganti. Apalagi jika berita dan opini  yang berkembang di masyarakat tidak sesuai Islam.

Maka ibu-ibu pengemban dakwah akan tergerak untuk angkat senjata lewat tulisan. Meski melawan hanya lewat tulisan tapi di era digital ini akan dirasa  efektif untuk melawan Opini yang salah. Melawan pembodohan masal. Membongkar kebobrokan aturan.

Jika tidak ditumpas, maka kejahatan akan meraja Lela. Opini salah jika tidak dilawan dengan opini yang sahih sesuai Islam, maka pembodohan masal terjadi. Ini sudah tentu kita semua tidak ingin dibodohi dan dibohongi.

Hal inilah yang membuat ibu-ibu pengemban dakwah turun ke Medan laga. Ikut andil dalam pertarungan pemikiran di sosial media. Mencoba meluruskan. Meski melawan arus. Harus tetap elegan dalam menyampaikan fakta dan analisa. Tidak boleh memfitnah, menyinggung SARA, membuly fisik, pencemaran nama baik, dan lain Sebagainya. Jadi harus pintar dalam mengolah kata. Inilah seni dalam menyampaikan kebenaran.

Meski pada prakteknya tidak semulus yang diharapkan, akan tetapi ibu-ibu harus semangat menulis. Meskipun tanggungjawab diluar aktivitas menulis banyak, tapi ibu-ibu militan harus tetep aktif. Harus tetap semangat belajar. Mengalahkan rasa jenuh dengan cara-cara yang unik, misalnya melihat cucian menumpuk bisa menjadi inspirasi judul tulisan.  Misal "Menumpuknya hutang negara".

Rumah berantakan menjadi judul tulisan "Amburadulnya akhlak remaja zaman Now". Melihat anak-anak rebutan mainan "Perang pemikiran di sosial media".  Seperti itulah ibu penulis. Jika tidak menemukan inspirasi maka harus dicari. Tidak diam menanti-nanti. Sambil duduk gigit jari.

Menjadi seorang ibu adalah kebahagiaan. Sedangkan Menjadi ibu militan itu adalah pilihan. Segala kewajiban harus dilaksanakan. Meski dakwah butuh banyak pengorbanan, tapi tetap harus diemban.

Karena itu wujud ketaatan. Kehadiran anak pun tidak menjadi halangan. Bahkan harus dikondisikan. Meskipun sumbangsihnya terhadap dakwah hanya lewat tulisan, tapi tetap ikut andil dalam melawan kebobrokan. Wallahu a'lam bishowab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version