View Full Version
Jum'at, 20 Jul 2018

Bunda, Jangan Jadikan Ananda Penghalang Kewajiban

Oleh: Wati Umi Diwanti

Seorang ibu adalah idola pertama bagi setiap anak. Dalam kondisi apapun anak ingin selalu bersama bundanya. Jangankan pergi ke luar rumah, pergi ke toilet saja kadang diikuti. Mungkin kadang kita merasa risih, tapi sadarkah bunda, itu menunjukkan ananda sangat sayang pada kita. Mereka adalah pendamping setia yang tak pernah lelah meski kita ajak keliling dunia. Paling-paling dia ketiduran di jalan dan meminta beberapa jajanan. Betul kan Bund?

Bunda pun pasti bisa merasakan, anak-anak itu feeling-nya kuat. Mereka bisa mendeteksi dengan sangat baik tanda-tanda Bundanya akan pergi. Meski sudah bertaktik agar tidak diketahui, tiba-tiba makhluk mungil itu bertanya, "Bunda mau pergi kemana? Ikut ya Bund. Jangan tinggalin Nanda ya." Dengan mata berbinar penuh harapan Bunda mengajaknya serta. Begitulah polah anak-anak saya, setiap saat saya akan pergi. Pasti para Bunda juga merasakannya.

Akhir-akhir ini, setiap saya berbagi ilmu pada ibu-ibu lain di majelis. Ada saja yang jadi sebab si Adik merengek. Tak jelas apa yang diinginkannya. Tiba-tiba saja dia menangis. "Umi ga boleh ngaji", rengeknya. Saya lebih sering memilih melanjutkan pengajian. Begitu majelis selesai tangisnya pun selesai. Seketika! Ya, otomatis seperti tombol on-off. Begitu uminya bersuara lagi. Diapun kembali 'bersenandung'.

Biasanya wwal-awal, ibu-ibu peserta pengajian merasa rikuh. Kurang nyaman dan merasa kasian sama si Adik. Sampai-sampai diantara mereka ada yang bilang, "sudah dulu saja ustadzah, biar kita datang lagi nanti".

Tapi saya sebagai Bundanya sudah paham, bahwa kejadian seperti ini sudah biasa. Kalau setiap dia nangis saya berhenti, bisa jadi saya tak akan bisa ngaji atau belajar ngaji terus. Yang saya lakukan biasanya adalah memohon maaf pada peserta pengajian. "Mohon maaf ya ibu-ibu, ada iklannya. Semoga kita bisa tetap konsentrasi." Sambil nyengir melirik ke si kecil lalu menatap wajah ibu-ibu. Hingga sebagian besar mereka mengerti, dan kembali menyimak seolah tak ada apa-apa. Hanya saja saya perlu menambah volume suara. Jamaah pun perlu lebih menegakkan telinga.

Kebetulan si Adik ini punya kebiasaan kalau saat nangis langsung disapa dia akan tbah meronta. Maka biasanya akan saya biarkan dulu. Sampai pada titik tertentu. Saat dia mulai bosan atau lelah dengan tangisnya, barulah dia terima tawaran sayang dari saya. Saat itulah sayapeluk hangat tubuh mungilnya. Meski kadang tidak langsung diam seketika.Setidaknya sudah lebih tenang.

Tiap anak punya kebiasaan masing-masing. Kita sebagai bundanya tentu bisa dan harus bisa mengenalinya.Yakinlah itu semua bukan karena mereka membenci amal sholih kita. Melainkan hanya bagian dari proses perkembangannya mengenal dan merespon dunia. Kitalah yang harus tepat mengarahkannya.

Sering kita saksikan anak-anak yang seolah tak suka atau tak betah dengan majelis-majelis kebaikan. Mereka seolah tak terima uminya mencari atau berbagi ilmu. Sebenarnya tidaklah begitu. Allah ciptakan fitrah manusia menyukai kebaikan. Jika tidak, bisa jadi ada perlakuan kita yang salah pada mulanya. Saatnya kita melakukan perenungan dan perbaikan.

***

Setelah ibu-ibu pengajian pulang. Saya tanyakan ke Si Kakak (7 tahun)yang suka iseng ke adiknya. Juga ke si Adik (3 tahun) yang tiba-tiba 'sensitif' jika berada di forum pengajian."Kok tadi nangis terus? Apa Umi tutup aja pengajiannya?"

"Jangaaan Miii", jawab mereka serempak. "Trus gimana dong? Adik nangis terus kalau Umi lagi ngisi pengajian. Kakak juga, sukanya isengin Adik terus."

"Iya deh mi, Adik nggak nangis lagi nanti", sahut si Adik. "Iya mi, Kakak nggak isengin Adik lagi." Timpal Kakak. Mereka berdua merengek menolak pengajian ditutup. Terbukti, bahwa apapun polah mereka sebenarnya bukan karena tak suka. Bahkan ternyata mereka juga takut kehilangan momen-momen kebaikan itu.

Apakah setelahnya mereka beneran berubah? Siapa bilang? Kadang esok nangisnya malah tambah lantang. Ya, masih berulang meski sudah sering kami bicarakan. Terus, kita harus bagaimana?

Ya tidak bagaimana-bagaimana. Lanjutkan saja. Sambil terus disampaikan ke mereka. Kenapa selain mengurus mereka kita juga harus melakukan berbagai aktivitas lain tersebut. Itu semua demi mengumpulkan pahala. "Umi lagi ngumpulin tiket kita ke Syurga. Agar kita semua bisa terus bersama selamanya. Mau kan sayang? Bantu Umi ya, pintar-pintar ya sayang." Jangan bosan mengulang kalimat-kalimat semacam itu pada ananda. Insya Allah mereka mencerna.

Jadi, apapun posisi kita, sedang mencari atau membagi ilmu. Bermohonlah pada Allah agar bisa terus bersabar dan istiqomah. Jangan sampai buah hati jadi alasan kita meninggalkan kewajiban.

Suatu hari akan tiba masanya. Mereka tak lagi sekedar pendamping setia yang kadang membuat kita tertatih dan meleleh saat melakukan amal sholih. Suatu hari merekalah penerus perjuangan kita. Insya Allah kala itu Allah akan bayar susah payah kita dengan bahagia. Kebahagiaan yang abadi selamanya. Insya Allah! (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version