View Full Version
Senin, 17 Sep 2018

Didik Anak Hidup Sederhana meskipun Harta Berlimpah

Seorang teman berkisah, salah satu muridnya ngajak dia ngopi. Bukan ke warung pojok gang, tapi ke Kuala Lumpur. Beli tiket, ngopi-ngopi syantik, sejam kemudian pulang ke Surabaya. Belum lagi setelan atau outfit yang dia kenakan. Mulai dari topi, kacamata, baju, jaket, celana, hingga tas pinggang dan sepatu total lebih dari 50 juta.

Bukan karena ikut-ikutan trend yang sedang viral tentang anak muda yang harga bajunya setara dengan 5 bulan gajian UMR. Tapi memang faktanya, ada anak muda yang hidupnya bergelimang kemewahan sedemikian rupa. Miris. Lebih miris lagi saat tahu bahwa si anak muda sekolahnya di sekolah berlabel Islam. Label yang dalam pikiran kita akan mengajarkan apa yang Islam ajarkan.

Hidup sederhana, Tidak boros dan menghamburkan harta, karena sungguh setiap rupiah harta akan ada pertanggungjawabannya. Ini bukan membicarakan tentang crazy rich Asian yang memang crazy. Biarlah mereka begitu. Tapi ini adalah pemuda aset generasi yang seyogyanya bisa menjadi tongkat estafet untuk membangun negeri.

Sekolah berlabel Islam memang bukan jaminan murid dan lulusannya jadi islami. Karena sejatinya pendidikan dasar bermula dari rumah, di tangan orang tua sendiri. Memberi uang saku anak berlebih di saat kebutuhannya masih sekadar main dan jajan, maka ke situlah larinya uang tersebut.

Tugas orang tua zaman sekarang memang tidak mudah, terutama saat diberi kelapangan rezeki oleh Allah. Ada kalanya orang tua tak ingin si anak merasakan penderitaan kemiskinan yang pernah mereka alami. Jadilah, dengan kelebihan harta yang ada si anak mendapat siraman duniawi melebihi kapasitas. Ditambah dengan gaya hidup, level pertemanan dan massivnya promo bersifat konsumerisme.

Maka benarlah apa yang pernah dikatakan seorang teman. Membesarkan anak hanya berdasar kapasitas diri sungguh akan amburadul. Ortu mendidik sudah benar, di tikungan anak diajak sesat. Ortu mengajari hal-hal kebaikan, di seberang sana keburukan jadi teladan. Karena itu sungguh, menyandarkan diri pada doa dan memohon Allah menjaga putra-putri kita, menjadi satu keharusan yang tak lagi bisa ditunda.

Bila anak ada yang mulai bertingkah, selain berusaha mengajak yang bersangkutan ngobrol dari hati ke hati, instrospeksi diri selalu dilakukan lebih dulu. Oh mungkin dzikir meminta perlindungan Allah kurang. Oh, bisa jadi sedekah hari ini kurang ikhlas. Atau beberapa hari waktu banyak disibukkan oleh dunia sehingga salat kurang khusyuk sehingga kedekatan dengan Allah terasa kurang.

Dari situlah, orang tua mendapat kekuatan lagi untuk bisa mendidik anak dengan segala dinamikanya. Kelebihan harta bukan alasan untuk memanjakan anak. Berlimpahnya rezeki bukan alasan untuk boleh menghamburkan uang untuk hal sia-sia. Karena di sinilah tantangan untuk mendidik anak hidup sederhana saat ada peluang untuk hidup foya-foya. Karena zuhud itu bukanlah orang miskin yang hidup sederhana. Tapi zuhud adalah berkemampuan untuk hidup lebih tapi memilih mencukupkan diri dengan apa yang ada secara sederhana.

Semoga kita menjadi orang-orang yang selalu mawas diri dan tidak berlebihan. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: ilmfeed


latestnews

View Full Version