View Full Version
Ahad, 17 Feb 2019

Tubuhku Milikku, Paham Rusak yang Diselipkan pada RUU P-KS?

Oleh: Siti Rahmah

Lahirnya RUU P-KS adalah bentuk kegagalan berpikir. Masyarakat digiring untuk memiliki konsep pemikiran seperti yang diinginkan oleh kaum feminis yaitu memiliki otoritas penuh akan kehidupannya. Termasuk menjadikan tubuhnya adalah miliknya secara mutlak. Sehingga sebagai pemilik dia merasa bebas menentukan apapun yang diinginkan.  

Ide sesat ini terus menerus dikampanyekan, dengan harapan bisa menjadi opini umum yang kemudian diterima dan diakui keberadaannya. Tentu tidak mudah untuk memupuk pemikiran irasional ditengah kehidupan masyarakat religi terutama di Indonesia yang mayoritas muslim. Butuh upaya keras yang berkesinambungan untuk mewujudkan ide tersebut.

Segala upaya pun ditempuh, mulai dari mengkampanyekan, menyerang hukum-hukum  dan norma agama yang sensitif. Mereka menggugat hukum Islam yang terkait waris, kepemimpinan dalam keluarga, hukum poligami dan aturan berpakaian. Begitupun dengan hukum Islam yang menjelaskan tentang  masalah kedudukan dan pembagian peran dalam kehidupan. Seakan menjadi isu seksi untuk terus dikuliti dan dikebiri.

Selain itu, keragu-raguan terhadap aturan agama pun  terus diperjuangkan oleh kaum feminis. Langkah berikutnya yang lebih strategis yang kemudian mereka lakukan adalah menyerang dan membenturkan aturan agama Islam dengan membuat undang-undang. Tentu saja langkah ini mereka anggap sebagai langkah paling ampuh. Karena UU mampu mengikat seseorang dengan legal. Bila aturan yang sudah diamandemen dalam UU ini bersebarangan dengan  aturan agama yang diyakini maka UU inilah yang akan dimenangkan.

Inilah yang melatarbelakangi lahirnya berbagai UU yang sekilas seolah menguntungkan pihak perempuan yang mereka posisikan sebagai pihak lemah yang terzalimi. Sebagaimana akhir-akhir ini gencar opini RUU P-KS yang mereka klaim sebagai bentuk perlindungan untuk kaum wanita. Padahal sejatinya kaum feminis yang berkolaborasi dengan penguasa hendak mewujudkan kebebasan dalam pengaturan tubuh dan perilaku seksual terutama untuk perempuan.

Draft RUU ini mereka sebut sebagai "persetujuan" atau 'titik point' terpenting. Konsep ini tidak memandang perilaku seksual yang dilakukan sebagai halal atau haram dan baik atau buruk. Tapi terletak pada kerelaan, suka atau tidak suka. Jika perilaku seksual tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka maka tidak ada seorang pun yang berhak menggugatnya. Tidak norma agama, tidak juga negara pun dengan orangtuanya. Jangankan menggugat dan mengontrol, melakukan pengaturan pun tidak diperkenankan. Seorang perempuan bebas memilih pakaian seperti apa pun yang dia inginkan dan berperilaku seks dengan siapa pun, dimana pun sesuai kehendaknya.

Bisa disimpulkan RUU ini jika disahkan maka akan berpotensi melegalkan perzinahan. Karena perzinahan tidak dianggap kekerasan jika dilakukan  atas dasar suka sama suka. Begitupun RUU ini berpotensi menyuburkan perilaku LGBT, melegalkan perilaku prostitusi dan aborsi jika hal itu dilakukan atas kesadaran sendiri. Bahaya berikutnya adalah RUU ini berpontensi mengkriminalisasi hubungan seksual yang halal apabila dianggap sebagai pemaksaan.

Sekelumit masalah baru yang tentu sangat dahsyat jika RUU ini dilegalkan. Kerusakan masyarakat tidak dapat dielakkan jika ide khayalan ini sampai diberlakukan. Padahal bagi seorang muslim harusnya memahami bahwa manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan dengan tujuan untuk beribadah. Sebagaimana firman-nya;

"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat: 56).

Sebagai pencipta tentunya Allah yang memiliki  otoritas untuk mengatur hidup manusia. Karena Allah yang paling mengetahui hakikat kebutuhan manusia. Sehingga ketika manusia berjalan sesuai dengan pengaturannya maka kemaslahatan dan keberlangsungan kehidupan akan tercapai. Berbeda jika aturan ini dicampakkan, kemudian manusia merasa paling berhak atas hidup dan tubuhnya. Dia merasa paling berhak membuat aturan untuk hidupnya. Dan sesungguhnya hal itu hanya akan menimbulkan kerusakan sosial.

Poin penting dari semua itu adalah bahwa seorang muslim wajib hukumnya terikat kepada hukum Allah. Ketaatan yang bukan semata-mata karena maslahat tapi keyakinan diri sebagai hamba yang mengabdi hanya kepada Rabb, yang mencipta dan paling berhak mengatur dirinya. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version