View Full Version
Kamis, 28 Feb 2019

Aborsi Aman, Mesti Dilegalkan?

 

Oleh:

Mila Ummu Tsabita, Pegiat Komunitas Muslimah Lit-Taghyir  

 

PEMERINTAH siapkan layanan aborsi aman sesuai aturan.  Itu tajuk yang tertulis di laman suarasurabaya.net (19/2). Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kirana Pritasari membenarkan bahwa pemerintah tengah mempersiapkan layanan aborsi aman, yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.  “Kami sedang menyiapkan peraturan yang lebih operasional.  Untuk beberapa rumah sakit , terutama rumah sakit pendidikan.  Sudah ada tim untuk melakukan aborsi aman yang terpadu, termasuk layanan konseling oleh psikolog dan psikiater,” jelasnya.

Peraturan yang mana yang beliau maksud?  Kalau merujuk UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, sebenarnya melarang praktik aborsi.  Dikecualikan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia kehamilan dini dan hamil akibat perkosaan yang menyebabkan trauma bagi korban.

Dalam PP nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi, juga mengatur batas usia kehamilan yang diperbolehkan melakukan aborsi.  Dalam pasal 31 menyatakan  bahwa aborsi boleh dilakukan apabila kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Aborsi sendiri adalah tindakan penghentian kehamilan dengan cara tertentu sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya. Yaitu pada usia janin kurang dari 20 minggu dan berat badan janin kurang dari 500 gram. Terkait aborsi karena indikasi  medis atau membahayakan nyawa ibu maka tidak ada yang mempersoalkan.   Namun ketika aborsi dibolehkn untuk kasus perkosaan, ini yang menimbulkan polemik.  Karena masalah seperti ini memang sensitif, pro-kontra terjadi.  Yang dikhawatirkan pada awalnya hanya untuk kasus perkosaan, selanjutnya siapa yang bisa menebak yang akan terjadi? Benar juga ya.  Soalnya di Indonesia, sudah biasa peraturan dilanggar.  Begini cara pandang kelompok pro-life.

Tapi bagi pihak pro-choice pendukung hak aborsi,  tubuh perempuan adalah otoritasnya dan janin adalah bagian dari tubuh mereka.  Jadi, adalah hak perempuan untuk memilih melanjutkan atau menggugurkan janinnya. (kumparan.com, 17/9/2018).  Inilah yang ingin diperjuangkan mereka juga di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS), yang masih mandeg di DPR RI. Karena menurut Koalisi Perempuan “Inisiatif RUU penghapusan kekerasan seksual di DPR ini sebetulnya harapan baru bagi korban (kekerasan seksual)”. (bbc.com, 30/1)     

Di Indonesia, kasus aborsi terbilang cukup tinggi.  Berdasarkan perkiraan BKKBN, ada sekitar 2 juta kasus/tahun.  Sebagian besar di antaranya adalah aborsi yang tidak aman. Ini hanya perkiraan, karena kasus yang terbongkar tentu lebih sedikit dari kejadian yang sesungguhnya.  Bisa membayangkan, jika aborsi kemudian dilegalkan walaupun dengan catatan “karena perkosaan”?  Lalu bagaimana pandangan Islam terkait persoalan sensitif ini ?

Aborsi dan Rusaknya Interaksi Sosial

Sebenarnya, anak yang dikandung tak punya salah apapun. Setiap anak terlahir di dunia ini dalam keadaan suci, bersih dan tak bernoda.   Nabi Saw bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?”  (HR. Bukhari)

Lalu mengapa dia harus di-aborsi ?  Sungguh Allah telah mencela tindakan aborsi, dalam firmannya :  “ Ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka dibunuh ? “ ( TQS. At Takwir : 8-9).

Fakta yang menyakitkan ini telah jamak terjadi, bahkan lebih buruk dari perilaku jaman jahiliyah.  Di mana bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Kini, anak yang seharusnya dianggap amanah dari Allah SWT kepada orangtua dan biasanya diharapkan menjadi anak yang sholeh, penyejuk mata, malah jadi dianggap beban.  Karena kehadiran anak justru di saat berada dalam berbagai “kondisi” yang tak diinginkan. 

Apalagi akhir-akhir ini marak terjadi kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak-anak,  baik itu dilakukan oleh orang lain atau keluarga terdekat mereka. Bahkan dilakukan oleh keluarga sedarah (incest) . Sungguh keadaan yang amat miris dan sangat mengkhawatirkan. Bagaimana juga jika korban perkosaan malah hamil?  Selain itu kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) akibat pergaulan bebas juga tinggi.  Hal ini jelas membuktikan bahwa kondisi egara keluarga dan masyarakat  dalam kondisi sangat “parah”.

Seperti kasus perkosaan kepada gadis (18 tahun) penyandang disabilitas (mental) oleh ayah, kakak dan adik kandung korban.  Perkosaan sudah berlangsung  satu tahun, di rumah mereka di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Lampung.  (tribunnews.com, 24/2/2019). Kalau seandainya si korban hamil, maka aborsi akan “dianggap” sebagai solusi.

Atau pada kasus lain yang menimbulkan pro-kontra tahun lalu, ketika seorang perempuan korban pemerkosaan dijadikan tersangka dalam kasus aborsi.  Dia pun sempat merasakan dinginnya ruang tahanan.    Kasus ini menyita perhatian organisasi perlindungan anak di dunia, termasuk Lembaga Perlindungan Khusus Anak (LPKA) di Indonesia.  (jawapos.com , 03/08/2018).  Karena kakak korban dijatuhi pidana penjara karena terbukti melakukan pemerkosaan terhadap adiknya.  Sedangkan adiknya  yang notebene sebagai korban, juga dijatuhi vonis karena telah terbukti melakukan abors dan  telah melanggar UU Perlindungan Anak.

Saat itu, banyak elemen dan aliansi dari masyarakat yang menganggap hal ini sangatlah tidak adil khususnya bagi korban. Mereka juga menilai bahwa korban pemerkosaan boleh melakukan tindakan aborsi karena kehamilan tidak diinginkan (KTD), agar tidak menyebabkan trauma yang berkepanjangan.

Apakah aborsi adalah masalah yang berdiri sendiri?  Tentu tidak.  Sungguh ini menjadi Potret buram kondisi masyarakat kekinian. Dalam sistem sekuler-kapitalis yang penuh dengan kebebasan, kerusakan moral remaja, juga rusaknya interaksi antar anggota keluarga menjadi sulit dihindari.  Maraknya konten porno yang bisa diakses kapan saja, juga  pengawasan yang semakin ”longgar”, baik dari orangtua atau aparat telah ikut menambah persoalan ini semakin ruwet.  Sistem hukum yang lemah,  bahkan malah membedakan prilaku perzinaan karena suka sama suka, dengan perkosaan turut menyumbang persoalan di negri ini.

Jadi kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) baik itu akibat perkosaan atau incest  hanyalah dampak dari perilaku manusia yang menganggap “enteng” hubungan seksual tanpa ikatan yang sah, atau yang tak sesuai Syara’. Tapi kadang rasa malu, tidak siap bertanggung jawab, atau alasan lainnya telah mendorong pada tindakan aborsi.  Bahkan kadang berujung maut pada si ibu, karena persalinan yang tidak “aman”. 

Maka, apakah dengan dibolehkannya aborsi bagi korban perkosaan akan menyelesaikan masalah? Kalau ternyata prilaku yang menyumbang tingginya kasus KTD tak segera diselesaikan?  Belum lagi, angka aborsi cukup tinggi ketika belum dilegalkan, lalu bagaimana ketika negara justru memfasilitasi?   Khawatirnya, angkanya akan naik fantastis.  Naudzubillah.

 

Menuntaskan Masalah dengan Islam

Islam menetapkan bahwa orang tua harus mampu melindungi anak dan senantiasa menjauhkan diri dari bahaya fisik dan psikis serta pemikiran.   Selain keluarga, masyarakat dan egara juga mempunyai andil dan tanggung jawab yang besar untuk melindungi anak-anak kita dari tindakan kejahatan.  Termasuk bagaimana aturan interaksi di dalam keluarga (hayatul khas) yang manjauhkan munculnya naluri seksual di antara saudara sedarah atau mahrom (incest).  Juga bagaimana aturan antar anggota masyarakat, yang saling bekerja sama dalam hal yang umum saja, dijauhkan dari hubungan spesial yang bebas sebagaimana terjadi saat ini.

Semua aturan interaksi di keluarga dan masyarakat bisa diterapkan, dengan memperbaiki egara kehidupan dengan Islam.   Untuk itu diperlukan peran dari keluarga, sekolah, masyarakat dan egara.  Semua unsur ini akan bertanggung jawab dalam membentuk life style masyarakat yang dibangun berdasarkan Islam.  Semuanya juga bekerja sama untuk mewujudkan kehidupan dan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan para remaja, agar selalu disibukkan dengan hal yang positif.  Jauh dari unsur sensualitas dan pornografi.

Dalam hal persoalan kerusakan pergaulan di masyarakat (termasuk di kalangan remaja) , maka peran negara sangat lah besar.  Negara wajib turun tangan menerapkan pengaturan interaksi laki-laki dan perempuan dengan Islam.  Juga pemberian sanksi yang keras bagi pelaku zina, incest, dan penyimpangan seksual lainnya. Juga bagaimana jaminan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, seperti bagaimana menyediakan rumah yang layak huni dan memenuhi standar pengaturan ruang privat sesuai Islam. Sehingga mampu mencegah tindakan incest di tengah masyarakat. Termasuk pengaturan media agar tetap edukatif, bukan merusak generasi.

Negara pun harus menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku kriminal (maksiat).  Terkait aborsi, menurut Islam adalah dosa atau tindakan kriminal.  Karena tindakan menghilangkan jiwa manusia yang terpelihara darahnya. Tindakan ini , diberi sanksi diyat (tebusan) yang ukurannya sama dengan diyat ghurrah, yaitu sepersepuluh diyat  manusia dewasa. 

Allah berfirman : “ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan sesuatu (sebab) yang benar .” (TQS. Al An’am : 151).

Abu Hurayrah berkata : “ Rasulullah telah menetapkan bagi janin seorang wanita Bani Lahyan yang digugurkan, kemudian meninggal dengan diyat ghurrah, baik budak lelaki atau pun budak perempuan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bentuk minimal janin yang gugur dan mewajibkan diyat ghurrah , adalah sudah tampak wujud manusia, seperti punya jari, tangan atau kaki.

Jadi, Allah telah mencela tindakan aborsi, dalam firmannya :  “ Ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka dibunuh ? “ ( TQS. At Takwir : 8-9).

Sehingga ibu, ayah bahkan dokter, termasuk korban perkosaan pun haram melakukan aborsi.  Apalagi  ketika janin pada fase pembentukan, juga ketika telah ditiupkan ruh padanya, atau berusia lebih dari 40 hari.  Kecuali kehamilan ibu bermasalah berdasarkan indikasi medis dari seorang dokter yang adil (bukan fasik).  Bukan dokter atau bidan yang memang dengan sengaja memfasilitasi kejahatan.

Lalu bagaimana nasib anak itu ketika ibunya dalam “kondisi tidak stabil” dampak dari perkosaan, tetap diharuskan melanjutkan kehamilan tersebut?   Solusinya, ketika dia telah lahir adalah dipelihara oleh pihak keluarga ibu.  Karena hak pengasuhan dalam Islam ada pada ibu.  Ketika ibu dalam kondisi yang “menghalangi”-nya mengurus sang buah hati, maka kerabat terdekat dari pihak ibulah yang berhak mengasuh, seperti nenek dari anak tersebut, bibi anak tersebut, dst.  Berdasarkan sabda Rasul Saw. : “Bibi (saudara perempuan ibu) kedudukannya sama seperti ibu.” (HR. Bukhari).

Sungguh,  legalisasi aborsi adalah melegalkan tindakan kejahatan (kriminal) .  Aborsi bukanlah  solusi tuntas terhadap maraknya kasus pemerkosaan yang berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) .  Hanya dengan mengubah pola hidup di tengah masyarakat dengan Islam , maka persoalan perkosaan, incest, KTD dan masalah gaul salah yang  lain, bisa tuntas.  Sehingga masalah aborsi (tidak aman) mampu ditekan. Insha Allah.*


latestnews

View Full Version