View Full Version
Jum'at, 05 Sep 2014

Sebuah Tragedi Menjelang Akhir Kekuasaan Presiden SBY

JAKARTA (voa-islam.com) – SBY benar-benar menghadapi tragedi menjelang akhir kekuasaannya. SBY  dua kali  memenangkan pemilihan presiden tahun 2004 dan 2009 dengan dukungan  suara mayoritas, lebih 60 persen suara. Rakyat benar-benar menghendaki SBY menjadi pemimpin dan presiden Indonesia.

SBY dua periode menjadi presiden dan memimpin Indonesia telah membuat catatan sejarah, tentang pemerintahanya yang dia nilai berhasil mengubah Indonesia. Dengan indikator angka-angka, terutama di sektor ekonomi. Di mana ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 6 persen, di tengah krisis ekonomi global yang masih belum pulih, sampai hari.

SBY selama dua periode memimpin Indonesia cukup stabil, dan tidak banyak terjadi gejolak politik. Dengan dukungan 11 partai politik yang tergabung dalam koalisi, SBY bisa mempertahankan pemerintahannya, sampai menjelang akhir 2014 ini. Hanya terhalang oleh konstitusi, SBY tidak dapat mencalonkan lagi menjadi presiden. Karena konstitusi membatasi jabatan presiden hanya dua periode.

SBY, seorang jenderal dan mendapatkan pendidikan militer di Barat (Amerika), dan mendapatkan gelar doktor. SBY seorang militer yang berpendidikan dan intelektual. Ini nampak dalam gaya kepemimpinannya, sekaligus tata-cara bertutur dan berdialog, tidak menggambarkan SBY, seorang militer. SBY nampak flamboyan. Tidak suka berbicara keras, sekalipun SBY termasuk jenis tokoh yang telinganya ‘tipis’, tidak tahan kritik.

SBY berhasil mengantarkan pemilihan presiden 2014, dalam situasi yang sangat panas, karena hanya dua calon presiden yaitu Jokowi dan Prabowo. Polarisasi cukup tajam di pilpres, dan hampir terjadi gejolak yang hebat. Karena, adanya dugaan kecurangan dalam pilpres, dan berakhir di Mahkamah Konsitusi (MK), dan dengan kemenangan Jokowi.

SBY menghadapi situasi tidak mudah, saat menjelang akhir kekuasaannya. Sebuah taruhan politik. Dia menginginkan penggantinya ‘suksesornya’ dari Demokrat, tapi suaranya terpuruk, dan hanya mendapatkan suara 10 persen. Ditambah tidak ada tokoh-tokoh Demokrat yang ikut konvensi layak memimpin.

Sebenarnya, Anas memiliki dukungan, tapi sudah ditenggelamkan oleh SBY. Sekalipun, Demokrat  masih sangat penting, di tengah badai politik yang hebat menerpa Demokrat dan SBY.

Menjelang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2014, SBY menghadapi masalah internal yang sangat ‘gawat’, yaitu Demokrat terkena ‘tsunami’ korupsi. Hampir semua tokoh-tokoh Demokrat terlibat korupsi. Ini yang menghancurkan reputasi dan karisma SBY, yang sebenarnya berpeluang menjadi seorang negarawan.

SBY, seorang pribadi yang unik, dan ibaratnya seperti ‘lilin’, dan akhirnya membakar dirinya sendiri. Semua kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh Demokrat, termasuk menteri yang berasal dari Demokrat mustahil, SBY tidak mengetahui. Nazaruddin, ketika akan meninggalkan Indonesia, bertemu SBY di Cikeas.

Mestinya, jika mau dia dapat menyelamatkan mereka, karena dia memiliki kekuasaan. Tapi, semua kecenderugan itu tidak dilakukannya, membiarkan kader-kader dan tokoh Demokrat masuk penjara, dan terakhir Jero Wacik.

SBY, seorang pribadi unik, tidak seperti seorang militer, yang otoriter dan haus kekuasaan, dia taat konstitusi. SBY meninggalkan kekuasaannya, karena sudah dua periode, dan  dia tidak  mau melanggar konstitusi, dan mencukupkan kekuasaannya, sesudah dua periode menjabat.

SBY, berpeluang menjadi presiden seumur hidup, dia bisa mengubah konstitusi, dan bisa menggunakan kekuasaannya. Tentara dan polisi berada di tangannya. Perangkat negara masih utuh berada di tangannya. Seandainya SBY, berani mengambil resiko tidak populer bisa memperpanjang kekuasaannya. 

SBY memilih membiarkan perubahan terus berlangsung. Sekalipun dia seorang jenderal, SBY tidak berfihak kepada Prabowo. Dia tetap netral. SBY tetap berposisi netral. Tidak berfihak kepada Prabowo. Demokrat memberikan dukungan kepada Prabowo, sifatnya juga sangat samar. Inilah jalan yang dipilih oleh SBY.

Sekalipun, ketika menjelang ‘game is over’, SBY mengundang koalisi MERAH PUTIH’ ke Cikeas, dan menyerukan kepada koalisi MERAH PUTIH menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah. Dia tidak mungkin mendekati Mega dan Jokowi. Karena pribadi Mega yang sangat pendendam. Tak pernah berkomunikasi lagi dengan SBY, sejak SBY meninggalkannya, dan mencalonkan sebagai calon presiden, dan menang.

SBY mengakhiri kekuasaanya dengan sangat tragis. Digerogoti oleh penyakit ‘cancer’ korupsi. Dengan dijadikan Jero Wacik sebagai tersangka, ibaratnya sebperti ‘kotak pandora’, korupsi di zaman SBY sudah sangat terstruktur, sistematis,  dan sangat masif. Sebuah tragedi yang sangat menyedihkan bagi siapapun. Ini akan membuat SBY tidak akan dapat melupakan pengalaman pahitnya, ketika berkuasa.

Di sini, SBY justru memberikan tauladan. Tidak melindungi siapapun yang melakukan korupsi. Betapapun SBY berkuasa dan memiliki kekuasaan. Tidak berusaha menyelamatkan kader-kader  dan tokoh Demokrat, agar selamat dari jeratan KPK. Dugaan korupsi ini suatu ketika mungkin nanti bisa merembet kepada  Ibas dan Cikeas? Ini semua akan seperti ‘puncak gunung es’, sesudah Jero Wacik diperiksa, dan detil dugaan korupsinya bisa dikuak.

Membandingkan antara Mega dengan SBY, siapa yang lebih buruk mengelola negara dan pemerintahan? Selama pemerintahan Mega, kebijakannya yang paling menonjol hanyalah menjual asset negara, yang sangat penting bagi kepentingan nasional Indonesia, seperti Indosat, BCA, Bank Danamon, kapal super tanker dan lainnya.

Bahkan, yang paling penting dan patut dicatat bagi sejarah bangsa Indonesia, Mega memberikan pengampunan kepada konglomerat hitam (Cina), yang ngemplang BLBI Rp 650 triliun. Saat Mega berkuasa menteri-menterinya terjerat korupsi, termasuk Menag Said Agil Munawar. PDIP di era Mega menjadi juara korupsi. PDIP menempati urutan nomor satu, kemudian Golkar, dan kemudian Demokrat.

Siapapun yang memimpin Indonesia, dan menjadi presiden, akan berakhir dengan ironi dan tragedi. Karena, sistemnya sudah sangat rusak, dan ditambah manusia juga rusak. Korupsi sudah menjadi ‘aqidah’ dan tujuan hidup mereka. Korupsi dipandang bukan lagi kejahatan. Korupsi dipandang sebagai pekerjaan yang 'halal', dan tidak merugikan siapapun, termasuk rakyat dan negara.

Kerusakan itu, akibat terjadinya ‘mutualisma simbiosa’ antara penguasa dan pengusaha, dan tidak diatur dalam aturan baku. Ditambah manusianya yang tamak dan rusak. Jadi hanyalah kehancuran yang lahir dari setiap pemerintahan baru. Dari Soekarno, Soeharto, Habibi, Abdurrahman Wahid, Mega, dan SBY. Semua berakhir dengan tragedi. Wallahu’alam.

[email protected]


latestnews

View Full Version