View Full Version
Selasa, 21 Oct 2014

Amin Rais Menjadi Mata-Hati Rakyat dan Bangsa Indonesia?

JAKARTA (voa-islam.com) - Amin Rais adalah ‘vangard’ (pelopor) perubahan. Bangsa ini tak pernah menikmati kebebasan seperti sekarang ini, tanpa usaha dan jerih payah Amin Rais.

Saat rezim Soeharto masih kokoh cengkeraman kekuasaannya, Amin Rais sudah menyuarakan agar Soeharto ‘lengser’. Amin Rais terus menyuarakan perlawanan terhadap rezim Soeharto. Sampai gerakan Amin Rais berubah menjadi ‘people power’, dan Soeharto lengser tahun 1998.

Perubahan itu, berlanjut dalam bentuk gerakan ‘reformasi’  terhadap segala aturan dan undang-undang dasar, dan paling pokok membatasi kekuasaan presiden. Hanya dua periode. Mengakhiri otoritarian alias despotisme.

Ketika Amin Rais menjadi Ketua MPR, menghasilkan perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan. Seperti sekarang ini. Rakyat menikmati kebebasan. Menikmati demokrasi. Menikmati kehidupan serba liberal. Indonesia tidak ada padanan dalam hal demokrasi. Diantara negara-negara Islam. Indonesia sangat demokratis dan liberal.

Mungkin ‘reformasi’ itu, akhirnya menjadi sebuah ‘kutukan’. Karena, demokrasi dan liberalisasi di segala aspek bidang kehidupan itu, tak menghasilkan apapun bagi rakyat jelata. Hampir selama sepuluh tahun reformasi ini, seluruh asset dan sumber daya alam, dikuasai oleh asing.

Pernyataan Amin Rais, di berbagai media, mengatakan bahwa Indonesia menjadi bangsa ‘jongos’. Tidak menjadi tuan di negerinya sendiri. Justru yang menjadi tuan bukan rakyat dan bangsa Indonesia, tapi kekuatan pemilik modal asing.

Sampai Amin Rais, ketika bertemu di rumah Prabowo Subianto, di Hambalang bersama tokoh Koalisi Merah Putih, mengatakan bahwa Koalisi Merah Putih, sebagai ‘Bastion’ (benteng terakhir), bagi masa depan Indonesia. Ini sebuah harapan juga pesimisme.

Ini bentuk keprihatinan Amin Rais terhadap rezim baru dibawah Jokowi, yang dia yakini akan lebih memberikan keleluasaan terhadap kepentingan asing. Masuk akal. Karena Jokowi membawa ‘gerbong’ para cukong (konglomerat) yang menjadi ‘backbone’ (tulang punggung) kemenangannya.

Inilah sebenarnya yang menjadi keprihatinan Amin Rais. Bukan semata kemenangan Jokowi. Bukan semata ‘dengki’ kepada pribadi Jokowi. Tapi kelompok-kelompok kepentingan dibelakang Jokowi itulah yang menjadi keprihatinan Amin Rais.

Hanya Amin Rais dan Koalisi Merah Putih kalah. Segala apa yang menjadi keprihatinan Amin Rais dinilai tidak masuk akal dan terlalu mengada-ngada. Mungkin ada pendukung Jokowi yang menganggap Amin Rais sudah 'sakit jiwa'. 

Rakyat sudah terlanjur dimanipulasi dengan berbagai opini yang menyudutkan Koalisi Merah Putih. Termasuk kampanye negative terhadap Amin Rais. Melalui media massa dan media sosial. Bahkan ada sekelompok masyarakat  di Yogya, pendukung Jokowi yang ‘meruwat’ Amin Rais.

Sebaliknya kemenangan Jokowi tidak bisa memberikan optimisme. Jokowi tidak mendapat dukungan kekuatan parlemen yang memadai. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung Jokowi terdiri dari PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI, lima kali kalah dalam voting di parlemen.

Sekarang kedudukan Ketua DPR dan MPR, termasuk Ketua-Ketua Komisi DPR, di tangan Koalisi Merah Putih. Inilah yang menjadi pokok persoalan baru, antara Jokowi dan Koalisi Merah Putih.

Maka, sekarang digalang besar-besaran, dukungan massa kepada Jokowi. Sehingga, muncul polarisasi yang sengaja diciptakan, yaitu Koalisi Merah yang menguasai DPR dan MPR melawan Koalisi Jokowi-Rakyat. Kampanye ini akan terus diciptakan.

Bahkan, ada langkah-langkah dijalankan KIH secara terbuka dan tertutup, bagaimana melemahkan dan menghancurkan Koalisi Merah Putih. Seperti usaha memasukkan unsur-unsur partai Koalisi Merah Putih ke dalam pemerintah Jokowi, termasuk perpecahan PPP, dan bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat.

Sepanduk terpampang di seluruh Jakarta, bahwa Jokowi ‘presiden pilihan rakyat’ dan pilkada lewat DPRD, sebagai pengkhiantan terhadap rakyat. Bahkan, sampai ada ancaman akan menduduki DPR, jika mengganggu pemerintahan Jokowi.

Seakan yang lain itu bukan pilihan dan tidak mendapatkan dukungan rakyat. Padahal Jokowi hanya mendapatkan suara 52 persen. Kemenangannya bukanlah mayoritas mutlak. Begitu pula PDIP hanya mendapatkan suara 18 persen suara dalam pemilu legislatif. Tapi seolah-olah hanya Jokowi yang menjadi pilihan rakyat. Satu-satunya.

Sejak kemenangan Koalisi Merah Putih di DPR dan MPR, terus digelembungkan tentang isu akan adanya boikot terhadap pelantikan Jokowi, dan pelengseran Jokowi melalui MPR. Dengan segala ulasan dan opini dibuat secara terus-menerus oleh media pendukung Jokowi.

Kemudian Jokowi bermanuver dengan mendatangi Aburizal Bakri dan Prabowo. Memastikan pelantikannya sebagai presiden berjalan. Itulah strategi politik mereka. Menyerang sebelum lawan menyerang. Taktik dunia intelijen dijalankan.

Amin Rais memang harus diakui sebagai ‘King Maker’. Melalui ‘Poros Tengah’ Amin Rais, membuat Megawati yang menang pemilihan legislative, gagal menjadi presiden tahun l999. Melalui ‘Poros Tengah’, lahir pemimpin baru, yaitu Abdurrahman Wahid.

Abdurrahman Wahid, saat menjadi presiden terlalu banyak bertingkah, dan tidak jelas arah pemerintahannya, dan justru mengancam integritas nasional, melalui gerakan ‘people power’ Abdurrahman Wahid, kemudian 'di impeacht’ (dilengserkan) oleh DPR, karena skadal  ‘Bulog Gate dan Brunei Gate’. Dia lengser. Semua itu tak terlepas campur tangan Amin Rais.

Penolakan Amin Rais terhadap Mega dan mengangkat Abdurrahman Wahid, karena Mega dan PDIP yang menang pemilu tahun l998, sudah dipandang sebagai ancaman dengan warna ‘merahnya’ bagi bangsa.

Kalangan Islam merasa kawatir ‘fears’, melihat gelombang ‘merah’ yang begitu massif di parlemen, bukan hanya semata sebagai gerakan politik, tapi Mega dan PDIP, sebagai gerakan ideologi.

Inilah yang menjadi keprihatinan Amin Rais. Sama sekali bukan ‘ansicht’ kekuasaan. Namun, Abdurrahman Wahid yang tokoh NU itu, ternyata juga lebih ‘nyleneh’ lagi. Abdurrahman Wahid, juga secara ideologis, hanya memberi keuntungan kepada kelompok dan golongan anti-Islam.

Beberapa waktu lalu, saat pemillihan presiden 2014, antara kubu Jokowi dan Prabowo, melalui pernyataannya Amin Rais, dan sangat gamblang, menggambarkan pemilihan presiden 2014 itu, seperti ‘perang Badr’. Perang antara mukmin - kafir.

Pernyataan Amin Rais itu, menggegerkan berbagai kalangan, terutama kubu Jokowi. Tak kurang tokoh Katolik Fran Magnis Suseno sangat berang dengan pernyataan Amin Rais.

Kemarin, saat para tokoh dari berbagai kalangan dalam dan luar negeri hadir dalam pelantikan Jokowi, justru Amin Rais tidak hadir dalam pelantikan itu. Ketidak hadiran Amin Rais menimbulkan berbagai pertanyaan. Mengapa Amin Rais tidak hadir?

Sampai ada yang menuduh Amin tidak mementingkan agenda kebangsaan. Semua tokoh memberi puja-puji kepada Jokowi. Hanya Amin Rais tidak memberi puja-puji kepada Jokowi, bahkan tidak menghadiri pelantikan Jokowi.

Jokowi diarak dengan ‘kreta kencono’ menuju Istana. Penuh kemeriahan. Sanjungan dan pujian. Hanya Amin Rais. Tetap berada di Yogya. Tak beranjak pergi ke Senayan, Jakarta.

Amin Rais masih memilliki hati nurani. Memang, tak layak memberikan puja-puji kepada manusia. Siapapun manusianya. Termasuk Jokowi.

Amin Rais tetap memiliki ‘furqon’ (pembeda) dalam dirinya. Mana baik dan mana buruk. Mana haq dan mana bathil. Tak larut oleh apapun yang ada disekelilingnya. Dia tetap menjadi mata-hati bangsa. Di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan kepalsuan. Wallahu’alam.

[email protected]

 


latestnews

View Full Version