View Full Version
Senin, 27 Oct 2014

Apakah Presiden Jokowi Akan Mengulangi Sejarah Presiden SBY?

JAKARTA (voa-islam.com) - Manusia hanya bisa melihat dan menilai yang sifatnya dhohir (nampak oleh mata). Manusia tidak bisa menilai hati manusia. Manusia juga tidak bisa menghukumi hati manusia. Apa yang nampak oleh mata, itulah yang menjadi ukuran.

Dalam Islam, yang disebut dengan iman adalah diyakini dengan hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal (perbuatan). Bila seorang meyakini dalam hatinya, mengucapkan ikrar dengan lisannya, tapi amalnya tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hati dan lisannya, maka orang itu disebut sebagai munafiq.

Namun, segala amal manusia sangatlah tergantung pada niatnya. Niat itulah yang akan menentukan apakah sebuah amal akan diterima atau tidak. Tentu, setiap amal memiliki motif dan kecenderungan. Allah Azza wa Jalla menjadikan niat sebagai tolak ukur sebuah amal akan diterima atau tidak di hari akhirat kelak.

Maka Allah Azza wa Jalla sangat membenci orang-orang yang mengucapkan segala sesuatu, tapi ia sendiri tidak mengamalkannya. Sampai-sampai difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kaburo maktan 'indallahi, dosa besar di hadapan Allah, bila seseorang mengatakan tentang sesuatu tapi tidak diamalkannya.

Perjalanan hidup manusia selanjutnya akan ditentukan oleh niat dan tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia akan selalu menjadi bingkai setiap langkah dan amalnya. Kerja-kerja manusia selalu ditentukan garis tujuan hidup manusia itu.

Apakah tujuan atau orientasi hidup seorang itu tertuju kepada kehidupan dunia semata, atau sebaliknya tujuan dan orientasi hidup seorang diarahkan kepada kehidupan akhirat? Inilah yang akan menentukan nasib manusia nanti.

Jika seorang lebih mencintai kehidupan akhirat, dan menginginkan perjumpaan dengan Rabbnya, dan ingin mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya, maka dia akan berlaku hidup dengan zuhud. Karena, bila seorang sudah memilih ingin melakukan perjumpaan dengan Rabbnya dan memilih mendapatkan kemuliaan disisi-Nya, pasti akan meninggalkan kehidupan dunia yang fana.

Seorang Muslim tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat, kecuali jika dia mendapatkan cinta Rabbnya dan kasih sayang manusia. Cinta Allah Azza wa Jalla hanya akan dapat diraih dengan mengutamakan kepentingan akhirat dibanding kepentingan  dunia. Sedangkan kasih sayang sesama manusia bisa diraih dengan tidak serakah atas harta dunia yang dimiliki orang lain, dan lebih mengutamakan amal kebajikan.

Seorang ulama bernama Wahb bin Al-Ward berkata, "Zuhud itu hendaknya kamu tidak sedih ketika kehilangan dunia dan tidak bangga ketika mendapatkannya."

Az-Zuhri berkata, "Zuhud itu tidak tergoda oleh yang haram, dan tidak tertipu oleh yang halal." Sementara Sofyan bin Unaiyah berkata, “Seorang zuhud jika mendapatkan nikmat ia tetap bersyukur dan jika ditimpa musibah ia bersabar”.

Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam bersabda, “Dunia adalah sebaik-baik tempat bagi orang yang menjadikan bekal untuk mencari akhirat demi mencari ridha Tuhannya. Dan dunia adalah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang terlena dengannya sehingga tercampak di akhirat dan tidak mendapatkan ridha Allah.” (HR Al-Hakim)

Manusia akan mendapatkan mahabbatullah (cinta Allah) dengan bersikap zuhud terhadap kehidupan dunia. Karena Allah mencintai orang yang mentaati-Nya. Dengan zuhud terhadap dunia berarti seorang hanya mengisi ruang hatinya dengan kecintaan kepada Allah, maka Allah pun akan mencintai seorang hamba. Berbeda dengan orang yang mencintai dunia. Ruang hatinya akan terisi kecintaan dunia hingga tidak mungkin menyatu dengan kecintaan Allah Azza wa Jalla.

Hakikatnya Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang tiada sekutu bagi-Nya. Karena itu, Dia tidak suka jika ada yang menempati hati hamba-Nya selain Dia. Seorang jika tidak mencintai Allah pasti dia akan mencintai selain-Nya. Padahal syirik sebuah dosa besar dan tidak akan pernah dapat diampuni.

Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah memulai pemerintahannya dengan mengklarifikasi menteri-menteri kepada KPK, dan semua menteri-menterinya kabarnya sudah clear tidak ada yang tersangkut korupsi. Tapi hal tersebut baru dhohir (nampak oleh mata) semata. Apakah mereka itu benar-benar clear, bersih. Apakah memang tidak ada sedikit pun harta yang mereka miliki itu berasal dari sumber yang haram?

Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak cukup dengan melakukan simbolisasi terhadap anggota kabinetnya, saat diumumkan, dan mereka semua menggunakan baju kemeja berwarna ‘putih’. Termasuk Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta istrinya menggunakan baju putih. Ini baru simbol. Harus disertai dengan niat yang lurus. Tidak bermaksud riya atau hanyalah ingin mendapatkan puji-pujian rakyat.

Pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berserta jajaran menteri-menterinya itu menjadi sebuah pemerintahan yang benar-benar ‘bersih’ jika setiap individu yang menjadi pejabat itu bisa menjadi teladan dan selalu merasa diri mereka diawasi oleh Allah Rabbul Alamin.

Tidak ada apapun yang dikerjakan atau menjadi kebijakannya yang bisa terlewat kelak di akhirat. Sekecil apapun pasti akan tercatat dan dipertanggungjawabkannya. Jokowi-JK beserta menteri dan pejabatnya baru bisa hidup bersih jika selalu merasa diawasi dan ada rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla dan siksa-Nya sangat pedih (syadidul iqob).

Menggunakan seragam putih-putih tidak memiliki arti apapun bila hati para pejabat atau menteri-menteri itu pekat, dan tidak mengorientasikan hidupnya kepada kehidupan akhirat.

Baju putih hanya berguna untuk menipu manusia. Tapi, di akhirat kelak semuanya tidak ada gunanya. Semua kepalsuan akan tersingkap. Bahkan, Allah Azza wa Jalla melihat apa-apa yang terdetik dalam hati manusia.

Maka, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla jangan mengulangi sejarah kelam Presiden SBY, di mana SBY berani mengatakan ‘TIDAK’ kepada korupsi, justru rezim SBY, menjadi sebuah rezim yang korup. Di mana sebagian besar elit Partai Demokrat terlibat dalam korupsi.  Ini sebuah ironi.

Karena memang setiap pemerintahan yang tidak memiliki teladan dari pemimpinya dan orientasinya hanya kenikmatan dunia, maka ujungnya hanya akan jatuh ke jurang kehinaan. Wallahlu’alam.

[email protected]


latestnews

View Full Version