View Full Version
Jum'at, 31 Jul 2015

Drama Bombay Rezim Jokowi Menghancurkan PKS

JAKARTA (voa-islam.com) - Menjelang Pilkada serentak Desember 2015, rezim Jokowi yang didukung partai-partai nasionalis-sekuler, melakukan 'air strike' (serangan udara), seperti koalisi yang dipimpin Amerika menyerang terhahdap posisi-posisi ISIS di Irak dan Suriah, terhadap lawan politiknya.

Mungkin skalanya lebih dahsyat lagi. Serangan yang bersifat langkah 'pre-emptive' itu, dan bernilai strategis serta antisipatif, tujuannya jangan sampai PKS menjadi kekuatan poliltik besar, dan menjadi ancaman di masa depan, khususnya bagi rezim sekuler yang dipimpin Jokowi, yang sudah mengabdi kepada kepentingan 'Asing dan A Seng'.

Menjelang Pilkada serentak, PKS dihancurkan dengan tingkat skala yang sangat dahsyat melebihi, ketika koalisi Amerika menyerang basis kekuatan ISIS di Irak dan Suriah dengan senjata pamungkas.

Dengan drama 'Bombay' yang dibuat oleh rezim Jokowi menjadikan tersangka Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pudjo Nugroho dan istinya Evi Susanti telah berhasil membuat kemuakan dan kebencian yang sangat luas dikalangan rakyat terhadap PKS. Mungkin berikkutnya, yang menjadi 'to' (target operasi)  Gubernur Jawa Barat, Aher. Dengan kasus yang sama.

Ini sebuah drama 'Bombay' yang sudah disetting dengan skenario menggunakan proxy (tangan) KPK. 'The Seven Sister' (tujuh tokoh) yang sangat menentukan di Indonesia, termasuk yang menaikan Jokowi menjadi presiden, sudah melihat PKS menjadi ancaman masa depan yang nyata. PKS berkembang seperti 'rayap', dan terus berkembang itu, harus dihancurkan dan tidak diberi kesempatan 'grow up', dan nantinya menjadi kekukatan politik besar.

Tindakan terhadap Gatot Pudjo Nugroho, mirip terhadap Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishak, menjelang Pemilu 2014, yang diseret KPK dengan masalah korupsi suap dan perempuan. Dengan tujuan pemilu 2014, PKS sudah mati dan masuk ke liang lahat, dan tak ada lagi eksistensi PKS di Indonesia. Seperti digambarkan oleh Koran Kompas, yang awal Januari merilis hasil survei, di mana PKS tidak mencapai threshold, alias tidak sampai 3 persen.

Tapi, skenario itu tidak berhasil, dan PKS masih tetap eksis, meskipun mengalamin kemerosotan perolehan suara sepertiga. Dari 57 kursi di DPR, dan kini tingngal 40 kursi di DPR. Setidaknya dengan masalah korupsi yang menimpa Lutfhi Hasan Ishak, dan dibumbui perempuan, membuat PKS mengalami kemerosotan dukungan politik. Meskipun suara di pemilu 2014, suara PKS stagnan, diangka 8 juta suara.

Inti dari langkah-langkah penghancuran terhadap PKS secara sistematik, karena PKS sebagai partai politik yang berbasis dukungan kalangan Muslim itu, sudah menjadi ancaman yang sangat menakutkan, karena PKS sudah masuk dalam 'inside system', masuk dalam sistem negara.

Itulah mengapa para penentu 'The Seven Sisters' tidak akan mentolerlir PKS tetap hidup di bumi Indoneisa. PKS dipandang lebih menakutkan dibandingkan dengan gerakan radikal manapun di Indonesia. Meskipun, partai yang berdiri di awal reformasi itu, sudah sangat 'cair' dan 'lembek' seperti dodol.

Tapi, PKS sebagai gerakan dakwah dan kader, ibaratnya seperti 'rayap' yang tidak kelihatan dan akan terus eksis di tengah masyarakat dengan berbagai gerakannya. PKS memiliki asset yang tak ternilai jumlahnya yiatu SDM (kader), yang terdiri dari orang-orang terdidik dari dalam dan luar negeri, dan jumlahnya terus bertambah. Ini tidak dimiliki oleh partai manapun di Indonesia.

Memang tujuan 'The Seven Sisters' bukan hanya menghancurkan PKS, tapi semua kekuatan politik Islam akan dihancurkan, dan tidak diberi kesempatan hidup di bumi Indonesia. PPP sudah lumpuh dan bangkrut, melalui orang-orang 'dalam'nya yang mau menjadi begundal rezim. Sekarang PPP sudah ibarartya 'wala yahya wala yamut' (tidak hidup dan tidak mati).

Pertamakali PPP dihancurkan Ketua Umum PPP, Suryadarma Ali menjadi tersangka KPK menjelang pemilihan presiden 2014, karena PPP mendukung Prabowo yang menjadi lawan Jokowi. Prabowo kalah sesudah di dahului kasus Suryadarma Ali, dan membelotnya Muhaimin Iskandar ke PDIP.

Golkar pun yang menjadi ancaman bagi rezim Jokowi, dihancurkan dan lumpuh total, dan sudah tidak berguna lagi. Strategi dengan cara 'divide at impera', dan dengan menggunakan 'proxy' Agung Laksono, kekuatan politik Gokar di bawah Aburizal Bakrie, berakhir di tangan Jokowi.

Sehingga, rezim Jokowi bisa berbuat apa saja, dan dengan dukungan partai-partai politik dibelakangnya yang sekarang menguasai supra struktur negara, termasuk aparat penegak hukum, polisi, jaksa, dan KPK, sangat efektif menghancurkan lawan politiknya.

Sebenarnya, bukan Jokowi yang berperan besar dalam penghancuran lawan-lawan politknya, tapi 'The Seven Sisters' yang menjadi proxy dari kekuatan besar. Indonesia yang menjadi negara yang  posisinya geopolitik sangat strategis, dan menjadi rebutan antara Cina dan Amerika.

Maka 'The Seven Sisters' yang menjadi 'proxy' kekuatan besar itu, berperan meminimalkan, mengurangi, sampai tingkat tertentu mengthancurkan secara total kekuatan yang menjadi ancaman kepentingan 'Asing dan A Seng' di Indonesia.

Kalau mau berpikir logis, bandingkan dengan kasus ketika Megawati memimpin negeri ini, dan memberikan release and discharge (pengampunan) terhadap para obligor yang sudah menelan uang negara melalui BLBI Rp 650 triliun, penjualan asset negara, termasuk Indosat. Apakah tidak ada unsur korupsi dan suap? Berapa banyak uang yang hilang akibat kasus Century? Semua hilang tak berbekas.

Berapa uang negara yang dimakan para kader PKS yang menjadi pejabat publik? Tidak ada sekuku 'itemnya' dibanding dengan BLBI, Century, penjualan asset negara oleh Megawati. Tapi, dramatisasinya terhadap Luthfi Hasan Ishak dan Gatot Pudjo sangat luar biasa oleh media mainstream yang menjadi alat Jokowi. Sungguh sangat tidak adil.

Sekarang giliran Ormas Muhammadiyah dan NU yang sedang Muktamar akan ditukangi, dan didudukan tokoh-tokoh yang berpikiran liberal dan sekuler dan mendukung Zionis-Israel, sehingga kekuatan politik Islam dan Ormas Islam, semua tamat,  dan tidak menjadi lagi ancaman bagi mereka. Wallahu'alam.


latestnews

View Full Version