View Full Version
Sabtu, 30 Jan 2016

Reformasi Tercoreng di Masa Jokowi-JK

Reformasi Tercoreng di Masa Jokowi-JK

Penulis: Robigusta Suryanto

 

Assalamua’laikum. Wr. Wb.

Bismillahhirohmanirrohim

Reformasi berlalu. Dan hampir menyentuh usia yang ke-20 tahun. Teringat, pada saat itu masyarakat gegap gempita menyambutnya. Bak memenangi peperangan besar. Yang pasti bukan "perang" dengan Negara lain, melainkan "perang" dengan Negara sendiri. Persis seperti pesan Bung Karno yang memprediksi bahwa ke depannya bangsa Indonesia akan mengahadapi ancaman atau musuh bukan dari negeri luar melainkan datang dari negeri sendiri.

Reformasi, kala hukum diperbaharui. Semua diberi ruang, termasuk info/penerimaan berita yang siginifikan dinikmati. Jika dahulu (baca: Orde Baru) masyarakat tidak menikmati hal itu, namun dengan hadirnya reformasi masyarakat akhirnya dapat menerimanya dengan leluasa. Tidak perlu takut ada penguntil atau intel yang disebar di mana-mana oleh pemerintah.

Bukan hanya sisi politis atau urusan yang berkutat dengan Negara saja, tetapi hingga ke daerah-daerah bahkan mencapai tingkat Kelurahan kini info dapat dinikmati. Semua terbuka. Tak ada yang bisa ditutupi, lazimnya.

Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Atau mungkin sangat terbuka sekali. Kebablasan. juga Filternya terkadang tidak cukup untuk menampung info-info yang tidak layak dikonsumsi masyarakat Timur dan bergama. Sebut saja pemikiran liberal, plural, dan sekuler serta pula ateis yang menggurita, perlahan menggerogotinya dengan tidak beradab.

Seiring proses keterbukaan informasi tersebut, nyatanya sedikit demi sedikit mulai tertutup kembali. Bahkan melebihi masa Orde Baru. Tercoreng. Ini bukan isapan jempol semata atau antipati terhadap pemerintahan setelah Orba atau saat ini, melainkan ada beberapa kasus yang menguak ke publik teryata ada benarnya.

Salah satunya, misalkan dengan kemunculan 'Ujaran Kebencian'. Peraturan atau kebijakan ini dikeluarkan oleh Kepolisian Republik Indonesia. Usianya masih muda. Tetapi, dengan usia yang muda tersebut, Polri diduga tercatat telah "memenjarakan" "kebebasan" berpendapat. Setidaknya begitulah yang tengah tersiar di ranah media (sosial). Termasuk oleh sebagian pendapat dan pemerhati. Misalnya saja ada yang hanya mem-posting gambar Presiden dengan artis Ibukota. Seketika itu lalu cepat-cepat polisi menyergapnya.  

Tanpa adanya laporan tertulis dari pihak pengadu (baca: Presiden), polisi langsung mengangkutnya. Sedangkan dalam tata hukum yang ada, polisi bisa melakukan penangkapan setelah adanya aduan dari pihak pelapor. Atau setidaknya ada pemanggilan lalu terlapor mangkir. Ini tidak ada sama sekali. Namun akhirnya penangkapan tidak dilakukan.

Bahkan jika merujuk pada peraturan yang menyebut bahwa untuk penghinaan Presiden sudah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), hal semacam itu tidak ada lagi. Apalagi kasus di atas menurut sebagian pengamat tidak masuk ke dalam unsur penghinaan. Lalu apa motif dari pemerintah melakukan demikian? Namun orang, oknum, atau organisasi yang menghina Islam, pemerintah seolah membiarkan. Tidak ada tindakan tegas dan nyata.

Belum lagi media-media umum yang berbasis internet tidak luput ditutup oleh penguasa saat ini. Hanya karena memberitakan info mancanegara, pemerintah mau-maunya mengambil kesimpulan bahwa media tersebut berafiliasi dengan si A, B, C, dan lainnya.

Pemblokiran yang dilakukan pemerintahan Jokowi tidak kali pertama terjadi. Tahun lalu media yang berbasis agama (Islam) ditutup. Sebabnya hanya satu, menurut kacamata penulis karena media yang ditutup itu memberitakan kesesatan salah satu penganut yang didominasi di Negara Iran sana (Syiah). Atau mungkin ada soal lain yang menjadi alasan pemerintah menutupnya. Entahlah.

Akan tetapi pemblokiran itu tidak dibenarkan karena belum ada pemberitahuan sebelumnya. Surat himbauan atau sejenisnya saja tidak sampai ke meja redaksi. Dan kini terulang kembali.

Satu persatu media itu ditutup. Alasannya berbeda dengan yang awal. Kali ini pemerintah menyatakan bahwa media itu merupakan media yang mendukung pergerakan yang dilarang oleh pemerintahan Indonesia. Bagaimana mungkin pemerintah dapat menyimpulkan secepat itu? Organisasi seperti Gafatar, OPM, RMS, dan lainnya yang telah jelas melanggar konstitusi saja pemerintah hanya mampu diam terpaku. Tidak mengambil tindakan tegas. Padahal telah jelas organisasi yang penulis sebutkan itu anti terhadap Indonesia.

Berlanjut ke media, tidakkah pemerintah melihat bahwa media umum lainnya (baca: media mainstream) melakukan hal sama, jika memberitakan? Silahkan amati. Kedua, apakah pemerintah menganggap masyarakat Indonesia ini bodoh karena langsung memblokir media tersebut dan langsung dapat percaya? Tidak. Bisa saja masyarakat berpikir bahwa apa yang dilakukan pemerintah itu merupakan bagian dari operasin intelijen Negara. Membangun beberapa web, diisi oleh opini, main comot, lalu ditutupnya sendiri. Kemudian mempublikasinya ke publik, yang seolah-olah “media” tersebut bermasalah. Dan banyak lagi analisanya.

Karena itu, untuk pemerintahan saat ini yang dipegang oleh Joko Widodo selaku Presiden dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden harus memperhatikan indikasinya terlebih dahulu. Jangan terbiasa main “bungkus” saja. Dipelajari. Dan jika memang media itu terindakasi serta telah dikaji bermasalah, bertentangan dengan konstitusi NKRI, pemerintah setelah itu silahkan mengambil sikap.

Selain itu pemerintah juga harus adil di dalam menetapkan sesuatu. Jangan hanya karena “dugaan”, “diduga”, atau belum pasti penetapan hukumnya pemerintah langsung memperlakukan media tersebut dengan semena-mena. Sedangkan yang telah jelas anti NKRI dan menghina agama yang diakui, pemerintah justru seperti memeliharanya. Dibuat heboh manakala ada isu-isu yang mampu membuat pemerintahan ini malu, setelah itu dimunculkan kembali.

Ini permainan lama. Sudah, jangan diulangi. Kini jika memang benar Jokowi-JK ingin menyerahkan hidupnya untuk masyarakat banyak, mulai diubah niat. Ubah haluan yang benar. Ikuti aturan yang telah ada. Dengarkan para pengamat yang kredibel, obyektif dan dipercaya. Bukan yang bermuatan politis yang dapat menghancurkan Negara ini. Apalagi hanya mendengarkan peneliti dan pengamat Asing, yang jelas-jelas ada kepentingan.

Jokowi-JK penulis himbau untuk memahami dasar-dasar Negara yang sangat dipegang oleh Indonesia. Jangan bertabrakan. Karena jika ingin melakukan perubahan itu bukan dengan melakukan kesalahan-kesalahan, melainkan melakukannya dengan kebenaran. Wallahu’alam


latestnews

View Full Version