View Full Version
Senin, 04 Jun 2018

Jokowi Harus Jelaskan, Hutang Rp.7000 Triliun bukan Untuk Infrastruktur

JAKARTA (voa-islam.com) - Selama ini pemerintah dan Presiden Jokowi amat berbangga atas raihan pembanguna infrasturktur di Indonesia.

Akan tetapi, capaian tersebut tidak dinarasikan dengan benar, pengamat Ekonomi Faisal Basri mengkritik penggunaan utang luar negeri pemerintah yang selama ini dinarasikan untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Padahal, menurut data yang ia kumpulkan, utang luar negeri paling banyak digunakan untuk belanja pegawai.

 

proyeksi belanja pegawai pada 2018 adalah sebesar Rp 366 triliun, atau naik 28% sejak 2014

Sementara infrastruktur, yang masuk dalam kategori capital, berada di urutan ketiga yakni sebesar Rp 204 triliun atau naik 36% sejak 2014.
 
"Infrastruktur itu paling banyak dibiayai dari utang BUMN, yang tidak masuk dalam kategori utang yang direncanakan," katanya di Kampus Universitas Indonesia Salemba, Jakarta, Selasa (3/4).
 
Ternyata Infrastruktur dibiayai BUMN
 
Proyek-proyek besar, menurutnya, kebanyakan dilakukan dengan penugasan kepada BUMN. Sebagian kecil dimodali dengan Penyertaan Modal Negara (PMN) dan selebihnya BUMN disuruh mencari dana sendiri.
 
"Beberapa BUMN pontang-panting membiayai proyek-proyek pemerintah pusat dengan dana sendiri sehingga kesulitan cash flow, mengeluarkan obligasi, dan pinjaman komersial dari bank. Selanjutnya, BUMN menekan pihak lain dengan berbagai cara," katanya.
 
Sementara pengeluaran modal untuk sosial malah menurun sebesar 44% sejak tahun 2014. Proyeksi expenditure untuk sektor ini adalah sebesar Rp 81 triliun pada 2018.
"Kita termasuk negara dengan social safetiness terburuk se-Asia Pasifik," katanya.
Data Bank Indonesia hingga akhir Januari 2018 menunjukkan utang luar negeri Indonesia meningkat 10,3% (year on year/yoy) menjadi USD 357,5 miliar atau sekitar Rp 4.915 triliun (kurs: Rp 13.750). Rinciannya, Rp 2.521 triliun utang pemerintah dan Rp 2.394 triliun utang swasta.
 

Indef: Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp 7.000 Triliun

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Riza Annisa Pujarama mengungkapkan, utang luar negeri Indonesia terus mengalami kenaikan cukup signifikan.

Bahkan Riza mengatakan, hingga saat ini utang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp 7.000 triliun, jumlah tersebut merupakan total utang pemerintah dan swasta.

Dari sisi Pemerintah, utang tersebut digunakan dalam rangka menambal defisit anggaran pemerintah. Sementara  utang swasta dilakukan oleh korporasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Peningkatan utang terus berlanjut hingga APBN 2018 bulan Februari menembus angka Rp 4.034,8 triliun dan pada APBN 2018 mencapai Rp 4.772 triliun," ujarnya Riza saat diskusi dengan media di Kantor INDEF, Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga akhir Februari 2018, utang pemerintah masih didominasi oleh penerbitan SBN yang mencapai Rp 3.257,26 triliun atau 80,73 persen dari total utang pemerintah.

Penerbitan SBN sekitar Rp 2.359,47 triliun atau 62,62 persen diterbitkan dalam denominasi rupiah serta dalam denominasi valas sebesar Rp 897,78 triliun atau 18,11 persen.

Sementara untuk utang luar negeri swasta tahun 2017 telah tembus sebesar USD172 miliar atau sekitar Rp 2.322 triliun dengan kurs Rp 13.500 per dollar AS. "Besar kemungkinan belum termasuk semua utang BUMN," kata Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati.

Ekonom senior Institute for Development for Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri menyoroti utang luar negeri Indonesia yang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.

Menurut dia, saat ini pemerintah terlalu mengobral utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) yang cenderung dikuasai oleh pihak asing dalam mata uang asing.

Dia mengatakan, ada kehawatiran jika kepemilikan SBN didominasi oleh asing, lantaran pemerintah tidak dapat mengendalikan pergerakan pasar. Terlebih disaat pasar mengalami gejolak, dikhawatirkan investor asing keluar dari kepemilikan SBN.

"Kalau saran saya, lebih baik perbanyak utang dengan bank dunia, seperti ADB, Jepang, itu jaminan lebih efektif. Tapi kita enggak bisa merdeka, enggak bisa suka-suka pakai anggaran, enggak bisa cawe-cawe," kata Faisal. [adiva/Pramdia/Erlangga/berbagaisumber/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version