View Full Version
Senin, 21 May 2018

Fadli Zon: Kebijakan 200 Mubaligh Kemenag Cacat secara Metodik

JAKARTA (voa-islam.com)- Rilis 200 nama penceramah atau mubaligh yang direkomendasikan oleh Kemenag, dikhawatirkan oleh Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon hanya akan menguatkan segregasi yang ada di tengah masyarakat.

“Di tengah pluralitas pemahaman dan keyakinan keagamaan yang ada di tengah masyarakat Muslim Indonesia, @Kemenag_RI mestinya bisa menjadi moderator yang bijak,” katanya, Ahad (20/5/2018), di akun Twitter pribadi miliknya. Mengeluarkan daftar 200 nama penceramah yang direkomendasikan dari 200 juta populasi penduduk Muslim menurut dia bukanlah sebuah kebijakan yang mudah diterima. “Kebijakan semacam itu cacat secara metodik.”

Jangankan untuk level Indonesia, di Jakarta saja, yang memiliki ribuan masjid, mushola, dan majlis taklim, ada ribuan ustaz dan mubaligh di sana.

Katakanlah jumlah mubaligh atau ulama itu sekitar 5 persen dari populasi Muslim yang 200 juta, maka jumlahnya ada sekitar 10 juta orang. 

“Bagaimana bisa @Kemenag_RI mengeluarkan rilis 200 nama dari 10 juta orang tadi? Bagaimana menyaringnya?”

Makanya menurut Fadli jangan salahkan jika kemudian publik mencurigai rilis daftar penceramah itu sebagai bagian dari sensor terhadap para penceramah atau ulama yang tak sehaluan dengan pemerintah. “Apalagi dalam daftar itu tidak tercantum sejumlah nama mubaligh terkemuka yang dikenal kritis terhadap pemerintah. 

Kebijakan semacam ini hanya akan kian mengeraskan segregasi yang ada di tengah masyarakat saja.”

Jika pemerintah ingin membidik penceramah yang menyusupkan paham-paham radikalisme atau intoleransi dalam ceramahnya, menurutnya mestinya yang bersangkutan dibidik saja langsung menggunakan perangkat hukum yang berlaku. Tetapi, jerat hukum semacam itupun mestinya yang menjadi pilihan terakhir yang diambil oleh pemerintah. 

“Pilihan pertama mestinya tetap pada bagaimana merangkul dan membangun dialog. Jangan sampai muncul kesan bahwa semua pihak yang berseberangan dengan pemerintah kemudian dianggap sebagai radikal dan intoleran.”

Framing semacam itu berbahaya, karena akan memperuncing konflik, dan bukannya membangun dialog, rekonsiliasi dan saling pengertian.

“Kita saat ini sedang berdiri di ambang krisis ekonomi. Semua celah yang bisa memicu terjadinya konflik sebaiknya segera kita tutup, dan bukannya malah kita eksploitasi.”

Lagi pula, masih menurut dia, kita sudah punya Majelis Ulama Indonesia (MUI), punya Dewan Masjid Indonesia (DMI), dan sejumlah organisasi yang bisa dimintai tolong untuk membendung diseminasi paham-paham radikal dan intoleran di tengah ummat.

“Urusan-urusan semacam ini sebaiknya didialogkan kepada lembaga-lembaga itu saja, karena @Kemenag_RI bagaimanapun harus bisa berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Jangan sampai Kemenag terjebak pada kepentingan politik jangka pendek pemerintah.” (Robi/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version