View Full Version
Rabu, 14 Jan 2015

Ketua Umum MUI Din Syamsuddin: BPJPH Bukan Saingan LPPOM MUI

JAKARTA (voa-Islam.com) - Terbitnya UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada 25 September 2014 dan disahkan Presiden SBY pada 17 Oktober 2014 lalu.

Kemudian setelah itu, akan disusul dengan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) oleh pemerintah, yang oleh Ketua Umum MUI Din Syamsuddin tidak dianggap sebagai saingan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.

Padahal BPJPH yang nantinya berada dibawah Menteri Agama berwenang menerbitkan sertifikat halal yang selama ini menjadi kewenangan LPPOM MUI.

“Saya kita BPJPH tidak akan menjadi saingan LPPOM MUI bahkan akan menjadi mitra. Yang terpenting dalam UU tersebut MUI tetap memiiki kewenangan fatwa mengenai jaminan produk halal dan MUI tetap akan melaksanakan tugasnya,” ujar Din kepada Voa-Islam.Com seusai peringatan Milad LPPOM ke 26 di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi, Jakarta, Selasa (13/01/2015).

Padahal dalam sambutannya, Dirjen Bimas Islam, Machasin mewakili Menteri Agama menegaskan LPPOM MUI hanya memiiki waktu hingga Oktober 2017 sebagai lembaga sertifikasi halal sebelum terbentuknya BPJPH.

“BPJPH akan dibentuk pemerintah dan berada dibawah Menteri Agama. LPPOM MUI masih memiliki kesempatan hingga Oktober 2015 nanti,” ujarnya.      

Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal itu ditegaskan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).

Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH itu, menurut UU ini, dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ((BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.

“Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden,” bunyi Pasal 5 Ayat (5) UU No. 33 Tahun 2014 itu.

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2014, dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, BPJPH berwenang antara lain: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. Menetakan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH; c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri; dan d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada produk luar negeri.

“Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud, BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI),” bunyi Pasal 7 UU Nomor 33 Tahun 2014.

Dalam UU JPH ditegaskan, permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. Adapun pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalal Produk dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha pada saat proses produksi.

“Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium,” bunyi Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.

Selanjutnya, LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalal produk kepada BPJPH untuk disampaikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna mendapatkan penetapan kehalalan produk.

MUI akan menggelar Sidang Fatwa Halal untuk menetapkan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produkd ari BPJPH itu. Keputusan Penetapan Halal Produk akan disampaikan MUI kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal. [AbdulHalim/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version