View Full Version
Rabu, 08 Jul 2015

Tren Jurnalisme Drone: Sejarah dan Aturan Main Drone Journalism

JAKARTA (voa-islam.com) - Tren jurnalisme meggunakan pesawat drone mulai berkembang dan digunakan secara umum, namun metode baru mengabadikan objek jurnalisme ini menggunakan drone ini tidak sembarangan, ada kaidah dan bahkan license yang harus diketahui. Sebelum berbicara terlalu jauh mari kita bedah apa makna drone journalism.

Drone, atau dikenal juga dengan Unmanned aerial vehicles (UAVS), yang banyak diberitakan oleh media adalah drone yang digambarkan sebagai sebuah objek yang memata-matai atau mengintai pihak musuh. Karena memang pada dasarnya drone ini dibuat untuk kebutuhan para militer yang mungkin kewalahan dalam mencari target musuh.

Drone secara umum, adalah kapal pesawat tanpa awak yang bisa menjelajahi wilayah yang menjadi target dengan hanya dikontrol dari jarak yang jauh. Jadi jurnalisme drone adalah penggunaan drone (pesawat tanpa awak) untuk kegiatan jurnalistik berupa pengambilan foto atau video. 

Awalnya pemanfaatan drone dalam kegiatan jurnalistik awalnya diperkenalkan sejak 2012 lalu oleh media-media televisi di luar negeri. Di antaranya CNN dan Al Jazeera. Kalangan jurnalis di Indonesia baru memanfaatkan drone pada 2014 lalu.

Jadi jurnalisme drone adalah penggunaan drone (pesawat tanpa awak) untuk kegiatan jurnalistik berupa pengambilan foto atau video.

Jurnalisme Drone memang relatif mahal, meski sebanding dengan yang dihasilkan oleh  drone karena kita langsung bisa lihat dilayar yang disediakan. Drone bisa seharga lebih Rp 30 jutaan per unit.
 
Namun penggunaan drone lebih hemat biaya dari pada kita sewa helikopter. Penggunaan drone ini juga kami lakukan sebagai bagian dari persaingan di industri televisi, meski drone telah lama dan akrab dimanfaatkan militer Amerika Serikat sejak Perang Vietnam. Drone menggantikan balon udara untuk pengambilan gambar atau video.
 
Aturan main Drone Journalism
 
Aturan penerbangan drone di dunia, termasuk di Indonesia, memang belum ada aturan bakunya. Kendati demikian, penggunaan drone rupanya tak boleh sembarangan. 

Yang boleh menerbangkan drone adalah orang yang punya izin atau berlisensi. KompasTV punya orang yang memang berlisensi untuk menerbangkan drone. Satu di antaranya adalah Tesar dan
untuk mendapatkan lisensi itu, ia harus ditugaskan belajar di Kanada beberapa pekan. Memiliki lisensi, bukan lantas leluasa lagi menggunakan drone. Namun harus tetap mengindahkan beberapa aturan atau norma umum. 

1. Drone dilarang terbang pada malam hari. Juga dilarang terbang di keramaian. Sebab bisa dibayangkan jika drone yang memiliki berat rata-rata sekira 25 kilogram itu jatuh dan menimpa orang, bisa fatal akibatnya. 

2. Penggunaan drone juga dilarang dia area bandara.
 
3. Larangan keras pemanfaatan drone juga berlaku untuk kepentingan kerja-kerja paparazi (ambil foto atau rekaman para selebriti dan tokoh terkenal atau berpengaruh secara sembunyi-sembunyi dan tanpa sepengetahuan selebritas atau tokoh yang menjadi obyeknya).

4. Ketika akan menerbangkan drone, harus punya motivasi baik atau dalam rangka menghasilkan karya jurnalistik. Harus diperhatikan relevansi dan motifnya. Misalnya
penggunaan drone untuk memantau atau mendapatkan foto dan rekaman wilayah yang terkena banjir atau kondisi kemacetan, tentu sangat baik.

5. Tak mengindahkan norma-norma di atas atau tak tahu aturan penggunaan drone, bisa berdampak buruk bagi penggunanya. Pengalaman ini dialami seorang jurnalis Al Jazeera saat menerbangkan drone di area sekitar Menara Eiffel, Paris, Prancis.
Padahal, di Prancis ada larangan penggunaan drone oleh masyarakat sipil. Karena ulahnya itu, sang jurnalis itu terpaksa berurusan dengan aparat hukum setempat. Ia kemudian dihukum tiga bulan penjara. 

Nah walau di Indonesia belum ada larangan seketat di Prancis, sekali lagi, bukan berarti pemanfaatan drone bisa leluasa. [brbs/jumadim/adivammar/voa-islam.com]

latestnews

View Full Version