View Full Version
Rabu, 26 Apr 2017

Banyak Berita Hoax, Mari Menjadi Insan yang Menahan Diri

Oleh: Meyra Kris Hartanti, SKM

Dalam beberapa hari terakhir, jika saja kita mau mengintip sebentar dunia maya, beberapa unggahan sempat menjadi viral. Dari unggahan yang bermutu hingga tak bermutu. Foto wajah patung pancoran hingga berita hoax yang keberadaannya membuat hati panas dan cepat dipercaya oleh masyarakat.

Skandal ulama mesum, kabar palsu ustadz Zakir Naik pendukung ISIS dan masih banyak lagi kabar meresahkan yang membuat negeri ini semakin memiliki kecenderungan tinggi mengalami konflik sosial hingga perpecahan. Parahnya, apa yang viral di dunia maya kemudian terseret dalam perbincangan entitas manusia di luar sana, baik di kampus, di warung makan, hingga di pergosipan ibu-ibu rumah tangga.

 

Berpikir sebelum Berbuat

Bagaimana nilai seseorang bergantung dari lisan dan tindakannya. Bagaimana seseorang bertutur dan bertindak pada akhirnya menjadikan seseorang itu dihormati ataukah sebaliknya. Itulah cover paling nyata dari manusia. Manusia berpikir sebelum berbuat, dan selanjutnya akan terus berpikir untuk berbuat. Namun kenyataannya saat ini banyak orang yang jarang berpikir sebelum bertindak. Tentang apa manfaat dan efeknya ketika dia melakukan sesuatu jarang sekali terpikirkan oleh kebanyakan orang. Sayangnya, tanpa kita sadari ini sudah membudaya.

Memviralkan berita yang belum jelas sumbernya seperti halnya menyebar fitnah dan ghibah terhadap hal yang diberitakan. Karena tidak sekedar meyakini, namun lebih jauh juga menyebarkan berita yang belum jelas muaranya dari mana. Rasulullah bersabda :”Kecelakaanlah bagi orang yang mengucapkan (kata-kata) di antara dua cambangnya, tetapi dia tidak bertafakur tentangnya” (HR. Ibnu Hiban).

Budaya jarang berpikir sebelum berbuat ini juga semakin membahayakan ketika pada akhinya masyarakat berbondong-bondong mengambil keputusan sesuka hati mereka sendiri dan berbuat tanpa dalil bahkan sampai merumuskan hukum sendiri dengan kemampuan yang jauh dari kata mumpuni. Kasus penghinaan terhadap ulama yang kerap terjadi menjadi bukti bahwa masyarakat sudah jauh dari budaya bertanya pada ahlinya, dan sekaligus menjadi bukti bahwa umat (khususnya Islam) masih jauh dari ulama. Masyarakat bak hakim yang ahli memvonis, ahli menilai, dan merasa paling pintar sendiri. Naudubillah min dzalik..

Minimnya literasi ditambah dengan minimnya pengetahuan agama menjadikan kecerobohan dalam memviralkan berita kian meresahkan. Jabir ra. meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang kepalanya tertimpa batu (hingga terluka parah). Kemudian dia tidur dan bermimpi sehingga keluar air maninya. Lalu dia bertanya pada para sahabatnya; apakah kalian menemukan keringanan bagiku untuk bertayamum? Para sahabat berkata; Kami tidak menemukan  keringanan bagimu sementara engkau mampu menggunakan air. Kemudian lelaki itu mandi junub dan meninggal dunia. Setelah itu Nabi Saw. bersabda:

“Sesungguhnya cukup bagimu bertayamum saja dan membalutkan perban ke kepalanya. Kemudian dia mengusapnya dan membasuh anggota badan lainnya. Lalu Nabi berkata; Mengapa kalian tidak bertanya ketika tidak mengetahui? Sesungguhnya obat bagi orang yang bodoh adalah bertanya” [HR. Ahmad]

 

Mari Lebih Menahan Diri

Islam memperbolehkan bertaqlid atau mengikuti suatu pendapat tertentu dari orang lain, namun tidak berarti memperbolehkan bertaqlid buta tanpa mengontemplasikan terlebih dahulu. Boleh saja skeptis terhadap satu berita yang dating, kemudian mencari tahu kebenarannya seperti apa. Dengan prinsip itu setidaknya kita bisa menjadi pribadi yang lebih barhati-hati dalam menyebarkan berita bohong/hoax. Cermin kemalasan diri paling nyata adalah “mengamini” setiap informasi yang diterima, tanpa bertabayyun, tanpa mencari tahu kebenarannya, dan tanpa bertafakur tentangnya.

Allah SWT berfirman;

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Q. S. Al Hujurat : 6).

Dari sini, marilah menjadi insan yang lebih bisa menahan diri, setidaknya menahan diri untuk mempercayai berita yang belum pasti dan menahan diri untuk menyebarluaskan berita yang sumbernya tidak kita ketahui.

“Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan.” (H. R. Ahmad).

Viralkan apa yang bisa mendatangkan kebaikan, siapa tahu itu menjadi pemberat catatan amal kebaikan kita kelak di hari penghisaban! Wallahu ‘alam bi ash shawwab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version