View Full Version
Jum'at, 01 Sep 2017

Paradoks

Oleh: Firdaus Ahmadi*

Para pemilik stasiun televisi seharusnya tidak menjadi pengurus / ketua parpol (partai politik)

Sumber daya yang mereka miliki bisa membuat bingung masyarakat yang melihat berita – berita yang ada di televisi. Tayangannya bisa tidak berimbang karena membawa kepentingan masing – masing. Lalu seenaknya menjawab, masyarakat sekarang ini sudah cerdas dalam melihat situasi dan kondisi.

Sekarang kita lihat kondisi masyarakat kita berdasarkan tingkat pendidikan, menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) Partisipasi Pendidikan Formal (Angka Partisipasi Murni (APM) PT (perguruan tinggi)) tahun 2014 hanya sekitar 20,18% orang, naik dari tahun sebelumnya 2013 yang sekitar 18.08%, sisanya 96.37% berpendidikan SD/MI, 77.43 SMP/MTS, dan 59.24 SMA/MA. (Sumber: BPS-RI, Susenas 1994-2014)… yaah beginilah gambaran pendidikan masyarakat kita.

Berdasarkan logika secara umum dari data yang ada, partisipasi pendidikan formal masyarakat kita yang paling tinggi hanya sekitar 20%  (Angka Partisipasi Murni (APM) yang dari PT (perguruan tinggi)) yang bisa menganalisa dengan baik apa yang terjadi, itupun harus dibagi lagi dengan persepsi dan argumentasi sesuai dengan kepentingan – kepentingan diri masing – masing baik dari aspek sosial, budaya, agama dan tentu saja politik. Apalagi dengan adanya stasiun – stasiun televisi berita swasta yang pasti akan membutuhkan keahlian yang lebih tinggi karena didalamnya ada pembicaraan – pembicaraan  dengan bermacam metode, logika dan analisa yang tidak mudah…  

 

Sang Baron

Baron – baron (bahasa Prancis Kuno- bangsawan/pemimpin atau diistilahkan para pemilik stasiun televisi) itu sudah tahu kekuatan sumber daya yang mereka miliki. Membuat parpol merupakan salah – satu idealisme yang ingin mereka capai. Masalahnya mereka menggunakan sumber daya itu untuk mewujudkan kepentingan – kepentingan yang belum tahu positif, baik atau tidak.

Televisi bukan koran atau majalah yang terbit seminggu/dua minggu sekali, atau koran yang bisa terbit satu / dua kali sehari, televisi bisa mengudara 24 jam dan 7 hari seminggu. Sewaktu pemilu tahun 2014 yang lalu KPI (Komite Penyiaran Indonesia) sampai merekomendasikan untuk dua stasiun televisi berita swasta nasional agar dibekukan izinnya mengingat begitu besarnya “dosa” mereka kepada masyarakat yang membuat rakyat negeri ini seperti akan “perang” mengingat waktu itu ada dua pasang calon presiden yang bertarung dalam pilpres dan mereka “sukses” membuat keadaan semakin “panas”, karena dukungan mereka terhadap masing – masing capres.

Rasa itu masih ada, kata penyanyi diera tahun 80/90an, setelah pemilu 2014 walau pemilu sudah selesaipertarungannya”, baron – baron itu masih merasa ada rasa yang “tertinggal”, lalu ada istilah televisi propemerintah dan tidak,  kemudian terlihatlah dari berita – berita yang ditayangkan di televisi yang membela kepentingan - kepentingan masing – masing pihak dan tentu saja kepentingan parpolnya, dan semuanya terjadi sampai sekarang. Padahal Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban Dan Peranan Pers  berdasarkan UU Pers pasal 3 mengatakan, Pers   nasional   mempunyai   fungsi   sebagai   media   informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Berita yang terbaru saat ini tentang masalah “gesekan – gesekan” diantara para baron adalah saat Kejaksaan akan menyelidiki suatu kasus yang melibatkan seorang pemilik stasiun televisi ternama, dan akhirnya menetapkan sebagai tersangka, sementara sang rival tidak mau kalah bahkan langsung membuat pengaduan (counter attack) ke mabes polisi, parahnya Kejaksaan juga “mendapat dukungan”oleh pemilik stasiun televisi yang lain, membuat berita menjadi bias, walau akhirnya salah satu dari mereka harus ‘menyerah’, padahal sesuai UU Pers pasal 6 berbunyi, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, mungkin saja berita itu benar, tapi bagi siapa?, karena semua orang sudah tahu dari mana Jaksa Agung berasal.

Memang tidak ada peraturan yang melarang para baron itu untuk mendirikan parpol, tinggal masyarakat yang cerdas yang sekitar 20% saja  yang bisa menilai, tapi lama – kelamaan masyarakat akan jengah juga dan mulai meninggalkan stasiun - stasiun televisi tersebut karena “lelah” akan “pertarungan – pertarungan“ dengan berita – berita yang “tidak adil”  yang tidak ada habis – habisnya dan mulai melirik televisi lain yang tidak ada “trik – trik” politiknya karena mungkin lebih  sehat dan nyaman.

Tapi apa mungkin? Apalagi untuk televisi berita yang segmen-nya sangat ekslusive, ditambah dengan staf kreatif televisi yang selalu bisa memberikan tayangan berita yang interaktif  dan uptodate dengan tampilan yang berbedadisetiap waktu, dengan para pembawa acara yang ehmnncantik, jadi siapa yang tidak tertarik….

Sekarang kita hanya berharap ada peran dari Dewan Pers yang sesuai fungsinya, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, agarbisa mengambil tindakan untuk menyelesaikan “konflik” ini.

Tidak menjadi pengurus atau ketua parpol bukan berarti menghilangkan hak politik mereka, mereka masih bisa memilih parpol mana yang seidealis, hanya saja mereka dengan segenap sumber daya itudengan kemampuannya untuk “mewarnai” keadaaan negeri ini, para baron sudah menjadi orang – orang yang “beda”. [syahid/voa-islam.com]

Dunia itu abu – abu, masalah hitam dan putih adalah masalah persepsi dan interprestasi.

*Firdaus ahmadi (2014), Penulis, Redaktur Jurnal.


latestnews

View Full Version