View Full Version
Jum'at, 14 Jun 2019

Blokir (Lagi)

Oleh: M Rizal Fadillah

Kemungkinan menjelang atau selama Sidang Mahkamah Konstitusi 14-28 Juni 2019 Kemenkominfo akan melakukan pemblokiran medsos kembali sebagaimana saat dan pasca aksi 21-22 Mei.

Menurut Menteri Rudiantara akan dipantau dahulu eskalasi lalulintas dunia maya. Soal rencana pemblokiran ini menjadi bahan pembicaraan pro dan kontra. Efek dari kebijakan ini dapat merugikan banyak fihak bukan saja yang berkaitan atau berkepentingan dengan persidangan MK. Dunia bisnis pun bisa berteriak sebagaimana saat peristiwa 21-22 Mei yang lalu. Jual beli online saja rugi 681 Milyar. Belum pelaku bisnis lain.

Efektivitas pemblokiran atau pencekikan akses internet perlu evaluasi. Pembatasan yang dinilai memberangus kebebasan berekspresi ini benarkah memberi manfaat signifikan. Sebahaya apa negara terancam. Menurut pengamat keamanan siber Pratama Persadha dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC) blokir yang dilakukan itu tidak efektif.

Bila masalah konten hoax yang jadi masalah justru nantinya Pemerintah yang lebih dominan dicitrakan sebagai penyebar hoax. Informasi yang difokuskan pada media TV tidak dipercaya. Beberapa lelucon justru menggambarkan penghancuran TV karena jengkel. Berita selalu satu versi, versi Pemerintah.

Sebenarnya via medsos baik itu WhatsApp, Facebook, Instagram, maupun Twitter masyarakat sudah bisa membedakan mana hoax atau bukan. Ada sistem yang mengontrol "back mind" netizen untuk menyeleksi sebaran informasi.

Ada tiga hal negatifnya Pemerintah memblokir akses internet di samping jelas merugikan secara materiel bisnis penjualan online dan bisnis lain.

Pertama, rezim Jokowi yang dikesankan mengarah pada pola pemerintahan otoriter mendapat justifikasi. Pemblokiran atau pembatasan informasi medsos telah mengurangi hak-hak masyarakat untuk berekspresi atau menerima informasi.

Kedua, melanggar UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Informasi via medsos termasuk sarana akses kebijakan publik. Bukankah tujuan UU ini adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik yaitu transparan, efektif dan efisien, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan. Menutup akses adalah pelanggaran.

Ketiga, ketika alasan pada "membahayakan pertahanan dan keamanan negara" maka indikator harus jelas. Tidak bisa secara sewenang-wenang dan semaunya sendiri Pemerintah via Kementrian menetapkan "bahaya" itu. Dalam hukum kebijakan yang benar harus dibuat dalam produk hukum Perpuu agar masyarakar dapat memahami dasar dan pertanggungjawaban dari "bahaya" tersebut.

Di saat ini ketika HP dengan akses internetnya menjadi alat komunikasi dan informasi penting bahkan terpenting yang melekat pada warga, maka pembatasan-pembatasan mestilah dilakukan dan didasarkan pada aturan hukum. Jika tidak, maka sistem politik yang sedang berjalan ini akan terus dipertanyakan. Apakah anti demokrasi, demokrasi yang terpimpin, atau demokrasi itu semata pencitraan ?

Blokir medsos merupakan bagian dari perampasan hak publik. Karenanya bisa digugat secara hukum , apalagi kerugian materiel yang terukur bisa dibuktikan. Pada kerugian non materiel yang dirasakan masyarakat maka itu pun adalah pelanggaran HAM. Bangsa dan dunia berhak untuk mengutuk. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version