View Full Version
Jum'at, 02 Aug 2013

Status Hukum Haji Jamaah yang Tidak Mendapatkan Kuota Haji

Oleh: Rafiq Jauhary

(Penulis buku, Pembimbing ibadah Haji dan Umroh)

Permasalahan

Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memangkas kuota haji sebanyak 20 % bagi jamaah luar negeri karena adanya proyek perluasan Masjdil Haram. Akibatnya, terjadi kecemasan amat mendalam diantara calon jamaah haji. Selain kekhawatiran karena status mereka yang telah melunasi BPIH, juga mengenai status hukum mereka dalam kacamata Syariat. Berdosakah mereka yang telah dikatakan mampu secara harta dan fisik namun tertunda melakukan ibadah haji atau bahkan wafat di saat menunggu diterbitkannya visa?

Pembahasan

Hendaknya dipahami oleh calon jamaah haji, bahwa pemangkasan kuota ini bukanlah kesewenang-wenangan penyelenggara haji. Keputusan pahit ini diberlakukan mengingat saat ini Masjidil Harom sedang diadakan perluasan, baik pada wilayah Mathaf (Area Thawaf), Tausi’ah Malik Abdulloh (pelebaran Raja Abdulloh) di sisi utara Masjidil Harom dan juga beberapa wilayah di sekitarnya seperti Syamiyah, Ghozzah, Syib ‘Amir, Haffair hingga ke Misfalah.

Kebijakan ini diambil mengingat semakin bertambahnya jumlah jamaah haji dan umroh yang mengunjungi Baitullah di setiap tahunnya. Jika tak segera diambil tindakan berupa perluasan area, tentu semakin membuat para peziarah terganggu dengan kondisinya yang semakin terasa sesak. Konsekuensinya, proyek ini akan mengorbankan kuota haji dan umroh untuk beberapa saat selama masa perluasan.

Dikatakan oleh Departemen yang mengelola Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, jika sebelumnya Mathaf (Area Thawaf) mampu menampung 48.000 jamaah dalam setiap jam, maka selama masa pengerjaan yang memotong lantai dua dan tiga, kini Area Thawaf hanya mampu menampung 22.000 jamaah di setiap jamnya. Ini artinya untuk saat ini Area Thawaf hanya bisa menampung kurang dari setengah dari jumlah jamaah sebelumnya. Dan tentu menghadapi permasalahan seperti ini, solusi yang paling tepat adalah dengan memotong 20% kuota jamaah haji dari seluruh dunia. Bahkan untuk jamaah dari Arab Saudi sendiri justru dipotong sebanyak 40%. Hal ini sesuai dengan kaedah yang disepakati oleh para ulama bahwa menghindari keburukan harus lebih diutamakan dibanding mengejar kemaslahatan.

Permasalahan seperti ini tentu belum pernah terjadi di masa Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, para sahabat, hingga 10 tahun terakhir di mana ketika itu jamaah haji tidak mengalami hambatan perjalanan (antrean kuota /visa) seperti yang kita alami saat ini.

Apakah ketiadaan hambatan dalam perjalanan digolongkan sebagai syarat diwajibkannya ibadah haji?

Maksud dari ketiadaan hambatan dalam perjalanan adalah bilamana perjalanan kita tidak mengalami suatu hambatan baik berupa halangan musuh -seperti adanya ancaman perompak, pencekalan sehingga tidak memperkenankan seorang melakukan perjalanan ke negara lain seperti yang menimpa beberapa nara pidana-, memiliki penyakit menular seperti AIDS atau yang semisal sehingga membuat penderitanya dilarang mengunjungi negara tujuan, atau pembatasan kuota seperti yang kita alami saat ini.

Dalam permasalahan seperti ini jumhur ulama, termasuk empat madzhab meyakini bahwa ketiadaan hambatan termasuk diantara salah satu syarat diwajibkannya haji. Hal ini seperti Allah Subhanahu Wa Ta'ala firmankan.

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Dan telah Alloh wajibkan atas manusia ibadah haji ke baitulloh bagi siapa saja yang mampu menjalankannya.” (QS. Ali Imron: 97)

Dan tidak mungkin ke-mampu-an didapat tanpa adanya keamanan dalam perjalanan. Bahkan dalam Hanafiyah dan Hanabilah diyakini bahwa keamanan selama perjalanan termasuk diantara syarat dalam perjalanan, bukan sebatas syarat ibadahnya.

Sandaran dalilnya adalah hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhuma, ketika itu datang seseorang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan bertanya, “wahai Rasulullah, apa yang diwajibkan dalam haji?” Beliau bersabda: “az-Zaad war-Roohilah (perbekalan selama perjalanan).” (HR. Al-Tirmidzi)

Sekalipun pemahaman Hanabilah dan Hanafiyah dikritisi oleh para ulama mengingat hadits diatas dikatakan sebagai hadits yang lemah, namun tetaplah ketika seseorang mengalami hambatan ketersediaan kuota sekalipun fisik dan harta mereka mencukupi, maka kedudukan ia tetap belum dikatakan sebagai orang yang wajib menjalankan ibadah haji hingga antrean kuota tiba pada waktunya. Namun seorang yang telah mengantre namun dicabut nyawanya sebelum mengerjakan ibadah haji, maka dia tidak berdosa dan keluarganya tidak harus mewakilinya mengerjakan ibadah haji untuk orang yang meninggal tersebut.

Kesimpulan

  1. Visa termasuk diantara syarat diwajibkannya ibadah haji
  2. Seorang yang telah mampu fisik dan hartanya tidak wajib mengerjakan ibadah haji sampai tersedia kuota untuknya, namun ia dituntut untuk tetap berusaha dengan cara melakukan pendaftaran untuk mendapatkan nomor porsi antrean.
  3. Seorang yang meninggal dalam keadaan mampu fisik dan hartanya namun belum sempat mengerjakan ibadah haji karena keterbatasan kuota tidak berdosa dan keluarganya tidak terbebani dengan perwakilan ibadah haji, sekalipun jika keluarganya ingin mewakilinya maka tetap diperbolehkan dan ia mendapatkan pahala darinya. [PurWD/voa-islam.com]
  • Silahkan kunjungi website pribadi penulis: http://rafiqjauhary.com

latestnews

View Full Version