View Full Version
Jum'at, 09 Dec 2016

Rugi, Menyebut Nama Nabi Tak Sertakan Shalawat dan Salam!

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Sesungguhnya Allah dengan segala kekuasaan-Nya telah mengutus nabi-Nya Muhammad dan telah memberinya kekhususan dan kemuliaan untuk menyampaikan risalah. Beliau menjadi rahmat bagi alam semesta dengan risalah tersebut dan menjadi sebab seseorang mendapat petunjuk ke jalan yang lurus. Maka seorang hamba harus taat kepadanya, menghormati dan melaksanakan hak-haknya. Dan salah satu dari hak beliau atas umatnya agar mereka membacakan shalawat dan salam kepada beliau sebagai bentuk rasa terima kasih atas jasa-jasa beliau dan sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan terhadapnya.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

Ibnul Qoyyim rahimahullaah berkata dalam kitabnya “Jalaul Afham”, “Artinya bahwa jika Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Rasul-Nya, maka hendaklah kalian juga bershalawat dan salam untuknya karena kalian telah mendapatkan berkah risalah dan usahanya, seperti kemuliaan di dunia dan di akhirat.”

Namun demikian, akhir-akhir ini muncul banyak cendekiawan dan pemikir muslim yang sudah terinfeksi virus pemikiran Barat melupakan hak yang agung tersebut. Mereka menyamakan penyebutan nama beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan penyebutan tokoh-tokoh dunia lainnya, baik dari kalangan umat muslim atau kafirin. Mereka tidak menyebut beliau dnegan predikat agung yang Allah sematan pada beliau; yakni Nabi dan Rasul Allah. Mereka juga tidak menyertakan shalawat dan salam saat menyebut nama beliau; baik dalam pidato atau tulisan mereka. Semua ini merupakan suatu pelecehan terhadap beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai utusan Allah yang dimuliakan.

Syaikh Abdurrahman al-Sahim dalam almeshkat.net telah menjawab pertanyaan tentang hukum menyebut nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tanpa menyertakan shalawat dan salam kepada beliau. Beliau hafidhahullah menganggap bahwa hal ini termasuk sikap kurang sopan dan mengurangi hak Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bahkan beliau menyebutkan, para ulama memakruhkan hanya menyertakan salam tanpa shalawat dengan mengucapkan, ‘alaihi as-salam. Begitu juga mereka tidak menyukai meringkas shalawat kepada beliau hanya dengan (ص) atau  (صلعم) atau semisalnya.”

Dari jawaban beliau dipahami bahwa kesempurnaan shalat untuk Shallallahu 'Alaihi Wasallam harus disertakan salam, sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Ahzab: 56 di atas. Sedangkan meringkas kalimat shalawat dan salam, seperti dalam tulisan latin dengan SAW merupakan sikap yang tidak disukai oleh para ulama.

Imam al-Suyuthi rahimahullaah berkata, “Seyogyanya untuk menjaga tulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  dan tidak bosan mengulang-ngulanginya. Barangsiapa melalaikannya maka dia terhalang mendapatkan kebaikan yang banyak.”

Imam al-Sahawi rahimahullaah berkata, “Hamzah al-Kanani berkata, “Aku pernah menulis hadits, dan ketika menulis nama Nabi, saya tidak menulis wasallam. Lalu aku bermimpi  melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata, ‘Kenapa kamu tidak menyempurnakan shalawat atasku?’ Maka setelah itu saya tidak pernah menulis Shallallahu 'Alaihi kecuali aku juga menulis, wa Sallam”.”

Beliau juga berkata, “Ibnu al-Shalah secara jelas membenci meringkas (shalawat) hanya, ‘alaihi al-salam saja.”

Imam al-Baihaqi rahimahullaah menukil dalam Syu’ab al-Iman dari al-Halimi, dia berkata: “Sudah ma’lum bahwa hak Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  sangat mulia dan agung serta mulia dan terhormat bagi kita. Hak beliau atas kita jauh lebih daripada hak seorang tuan atas budak-budaknya atau orang tua atas anak-anaknya. Karena Allah Ta’ala telah menyelamatkan kita dari siksa neraka di akhirat melalui beliau. Allah juga menjamin arwah, badan, kehormatan, harta, dan keluarga serta anak-anak kita di dunia melalui beliau, juga menunjuki kita dengan perantara beliau. Sebagaimana juga apabila kita mentaati beliau maka Allah akan menyampaikan kita ke surga na’im. Adakah satu niikmat yang bisa menyamai nikmat ini? Pemberian mana yang bisa menyamai pemberian ini?” kemudian Allah 'Azza wa Jalla mewajibkan kita mentaatinya, mengamcam kita dengan neraka bila mendurhakainya, dan menjanjikan surga dengan mengikutinya.

Maka derajat mana yang bisa menyamai derajat ini? Dan kedudukan mana yang bisa menyamai kemuliaannya?

Maka wajib bagi kita untuk mencintai, mengagungkan, dan menghormati beliau lebih banyak daripada pernghormatan seorang budak kepada tuannya atau seorang anak kepada orang tuanya. Seperti inilah petunjuk kitabullah sehingga Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan secara langsung dalam kitab-Nya,

فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون

Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf: 157)

Allah mengabarkan bahwa keberuntungan hanya bagi orang yang menggabungkan iman kepada beliau dan memuliakannya. Makna memuliakan beliau dalam ayat ini sama dengan mengagungkannya sebagaimana firman Allah,

لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakannya (Rasuljullah), dan menghormatinya.” (QS. Al-Fath: 9)

Allah menambahkan dalam ayat ini, hak Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam di tengah-tengah umatnya agar dimuliakan, dihormati, dan diagungkan. Tidak boleh memperlakukan beliau seperti perlakuan biasa seperti perlakuan seseorang terhadap sesamanya.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).” (QS. Al-Nuur: 63)

Dikatakan maknanya, “Jangan kalian sikapi seruan/panggilan beliau seperti panggilan sebagain kalian dengan sebagian lainnya sehingga jangan menunda-nunda memenuhinya dengan mencari-cari alasan sebagaimana alasan yang kalian gunakan untuk menunda-nunda memenuhi paggilan sebagian yang lain. Tetapi (seharusnya) mereka mengagungkannya dengan segera memenuhi panggilannya, langsung mentaatinya. Bahkan shalat tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk tidak memenuhi panggilannya ketika memanggil salah seorang mereka yang sedang shalat. Sebagaimana diketahui bahwa shalat tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk tidak menunda-nunda memenuhi panggilan beliau, maka amalan yang di bawahnya lebih tidak pantas untuk dijadikan sebagai alasan,” selesai penjelasan beliau.

Di antara bentuk menyamakan panggilan beliau seperti panggilan antara sesama kita adalah menyebut nama beliau seperti menyebut nama selainnya tanpa menyertakan shalawat dan salam –padahal ini tuntutan dari rasa cinta kepada beliau-.

Tidak membaca shalat untuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika disebut namanya merupakan tanda orang bakhil berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, “Orang bakhil adalah orang yang namaku disebut padanya lalu dia tidak bershalwat atasku.” (HR. Ahmad dan al-Nasai dalam al-Sunan al-Kubra)

Barangsiapa yang nama Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam disebut di sisinya atau menyebut nama beliau, lalu tidak bershalawat atas beliau merupakan tanda dia terhalang mendapatkan banyak kebaikan. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa yang melupakan bershalawat atasku maka dia telah meninggalkan jalan menuju surga.” (HR. Ibnu Majah, tapi dalam al-Zawaid, isnad ini dhaif karena lemahnya Jubarah bin al-Mughallis sebagaimana yang disebutkan dalam Hasyiyah al-Sundi ‘ala Ibni Majah).

Maka bagi ahli ilmu (para ulama) untuk bisa menjadi teladan dan panutan dalam mengagungkan Nabi Allah sebagaimana firman Allah yang lalu, “Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf: 157) seperti yang telah dijelaskan oleh al-Halimi, bahwa keberuntungan hanya bisa diraih oleh orang yang mengagabungkan antara iman kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  dan memuliakan beliau. Dan tidak ada perselisihan bahwa makna ta’zir (memuliakan) adalah menghormati kepada beliau. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version