View Full Version
Jum'at, 22 Oct 2010

Berbuat Baik dan Berlaku Adil Dalam Berinteraksi Dengan Non-Muslim

Oleh: Badrul Tamam

Kita meyakini bahwa berbuat baik dan adil menjadi dasar utama dalam berinteraksi antara seorang muslim dengan non muslim. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Dalam ayat tersebut Allah menjadikan berbuat baik dan adil sebagai dasar berinteraksi seorang muslim dengan mereka.

Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah mengharamkan tindakan zhalim terhadap kafir mu’ahid dari kalangan ahli dzimmah dan lainnya. Bahkan beliau sangat keras dalam mengancam tindakan tersebut. Beliau bersabda,

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ingatlah! Barangsiapa berlaku zhalim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya, membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa keridhaan mereka, maka akulah nantinya yang akan sebagai hujah mematahkan orang semacam itu.” (HR. Abu Daud dan al-Baihaqi dalam Sunan Kubra. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan di antara mereka dan kaum muslimin memiliki perjanjian.

مَنْ قَتَلَ مُعَاهِدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Siapa yang membunuh kafir mu’ahid ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. al-Bukhari)

Namun demikian, bagi seorang muslim wajib mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam. Ini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya. Karena mendakwahi mereka berarti telah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk mereka ketika sakit, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menjenguk anak kecil yang beragama Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia pun masuk Islam.

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, “Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang mengabdi pada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam lantas menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di sisinya. Lalu ayahnya mengatakan, “Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah) shallallaahu 'alaihi wasallam”. Akhirnya anak Yahudi tersebut masuk Islam. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam keluar dari rumahnya dan berkata,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ

Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa neraka.”  (HR. Bukhari)

Dakwah ini sudah cukup dengan ajakan dan bersikap baik (ihsan) kepada mereka sehingga membuat mereka tertarik pada Islam, tanpa harus dipaksa. Karena pemaksaan untuk masuk Islam hanya akan membuat jiwa ini benci walaupun dzahir menerima dan ini keislaman seperti ini tidak diharapkan oleh syariat. Allah Ta’ala berfirman,  

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah: 256). Ibnu Katsir mengatakan, “Janganlah memaksa seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang. Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri hidayah untuk menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia berarti telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi, barangsiapa yang masih tetap Allah butakan hati, pendengaran dan penglihatannya, maka tidak perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk Islam.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Dar Thoyyibah, Cet II, tahun 1420 H., hal: 1/682.)

[PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version