View Full Version
Senin, 02 Dec 2013

Raup Untung Partai Demokrat Atas Skandal Penyadapan

Beberapa pekan yang lalu, di berbagai media massa (nasional dan internasional), diberitakan aksi nakal (skandal) badan intelijen Australia, yang melakukan penyadapan terhadap sejumlah pejabat tinggi Indonesia pada tahun 2009 silam.

Dari sejumlah nama (korban) penyadapan yang dibeberkan oleh media; The Guardian dan ABC, yang mendapatkan data (informasi) dari eks-kontraktor NSA, Edward Snowden, nama Presiden RI, SBY, yang juga sebagai korban menjadi sorotan oleh sejumlah kalangan media di tanah air. Bagaimana tidak geramnya, seorang kepala negara pun menjadi korban dari aksi (skandal) penyadapan yang dilakukan oleh negara tetangga sendiri.

Protes yang dilancarkan Indonesia sebagai bentuk dari ketidaksukaan terhadap aksi (penyadapan) tsb, telah membuat Australia kalang kabut. Penghentian sementara kerjasama dibidang intelijen (pertukaran informasi tentang imigran gelap dan terorisme); militer (penghentian sementara latihan gabungan TNI dengan Tentara Australia); pemanggilan pulang duta besar Indonesia untuk Australia; serta tuntutan dari pemerintah Indonesia untuk dibuatnya (semacam) kode etik antara Indonesia dan Australia sebagai protokol / pedoman bagi kedua negara dalam kerjasamanya diberbagai bidang adalah sikap “tegas” dari pemerintah Indonesia “menantang” negara tetangganya, Australia.

Di dalam negeri sendiri, sikap tegas dari Presiden menjadi (semacam) “penyejuk” bagi kalangan yang memprotes keras aksi penyadapan tsb. Seorang SBY yang seperti biasanya dianggap letoy, lemah, ‘tak garang, kini berbalik menjadi sosok “ksatria”. Dan pun, reaksi positif dari masyarakat nampaknya menjadi hadiah tersendiri bagi SBY yang (sekarang) dinilai berani.

Dari reaksi positif yang didapatkan itulah, seharusnya, bisa saja Demokrat menggunakannya sebagai cara untuk (kembali) menarik simpati rakyat bagi partainya yang kini seperti perahu yang hampir karam di lautan lepas, ditengah amukan badai.

Toh… Bukan cara-cara yang baru juga bagi Demokrat itu, mempolitisir apapun, dan segala hal, guna tercapainya tujuan dari mereka. Anggap saja, jika penulis menjadi salah satu dari Demokrat, penulis akan menjadikan sikap tegas / protes dari SBY ini sebagai “Politik Pencitraan” untuk mencuci “otak” masyarakat agar terciptanya anggapan yang mengatakan,” Inilah Presiden ku SBY, seorang Presiden pemberani yang hanya bisa didapatkan dan berasal dari partai Demokrat saja.” Atau, kalimat-kalimat agitasi dan propaganda lainnya, yang pada intinya memberi (semacam) legitimasi bagi Demokrat sebagai partai (katanya) pilihan rakyat sehingga kembali menjadi pemenang di 2014 mendatang.

Soal strateginya yang bagaimana? Atau teknisnya yang seperti apa? Jangan tanyakan ke penulis , lebih baik dan tepat, tanyakan langsung ke Demokratnya – kalau skandal penyadapan ini pun bisa dijadikan cara untuk meraup untung.

Karena bukan cara-cara yang baru lagi, bagi Demokrat itu (seperti yang penulis katakan sebelumnya) menggunakan seribu satu cara agar keluar sebagai pemenang pemilu dan pilpres. Mulai dari cara yang terlihat, bias, hingga ‘tak terlihat sekalipun dilakukan demi kemenangan “prestige” partai. Legal atau ilegal? Ahh… Itu hanya soal sudut pandang saja! Kalau menang, hal yang ilegal akan dilegalisasikan menjadi (terlihat) legal. Siapakah yang berani menentang? Toh… Mereka-mereka itu adalah partai penguasa Istana!

Strategi pada tahun 2009, seperti menaikan gaji PNS, mencitrakan SBY sebagai figur suci yang dizalimi (dikeroyok, red), pendamai konflik Aceh, pengadil yang tidak tebang pilih (contoh kasus Aulia Pohan), serta dianggap sebagai pembebas hutang luar negeri, dsb – terbukti jitu memenangkan kembali dirinya sebagai Presiden pilihan rakyat (harap maklum, dengan menang mutlaknya Demokrat yang mencapai 60% suara, membuat partai tsb berbangga diri dengan mengklaim dirinya sebagai presiden pilihan rakyat. Itupun, sebelum kasus Andy Nurpati dengan KPU-nya ter-blow up media).

Dan kini, di sisa (hari) kekuasaannya. SBY bersama Demokrat kembali dicitrakan sebagai korban penzaliman dari lawan politiknya dan media. Hanya bedanya, jika di 2009 pecintraan tsb hanya skenario yang dibuat-buat – seolah-olah dan terlihat… bla… bla… dan bla… Tetapi kali ini berbeda ceritanya, manakah yang dikatakan oleh Demokrat itu sebagai penzaliman? (dikarenakan banyaknya rekan-rekan dari Demokrat itu yang ditangkap KPK)

Jadi, yang katanya penzaliman itu kali ini adalah fakta yang diperlihatkan kepada masyarakat bahwa Demokrat sebenarnya bukanlah diposisikan sebagai korban yang dizalimi, melainkan aktor yang melakukan penzaliman (banyak contoh kasus korupsi yang rata-rata didominasi oleh orang-orangnya Demokrat).

Belum lagi mega kasus korupsi bail-out Bank Century yang dialamatkan kepada Demokrat, yang belum tuntas sama sekali. Ditambah pula dengan konflik internal partai yang memecah-belahkan loyalis SBY. Sebut saja Anas Urbaningrum yang sebelumnya disebut (diklaim) pengganti SBY, kini malah berbalik melawan. Bermanuver yang membuat Demokrat serta SBY kelabakan, kebakaran jenggot, kalang kabut, atau apalah istilahnya yang pada intinya, Demokrat kalah strategi dan gagal menaklukan si Anas urbaningrum. Aneh…? Lebih baik tertawa sajalah melihat Demokrat yang kini benar-benar sempoyongan. Dan strategi apa lagi yang akan digunakan Demokrat di 2014 mendatang? Apakah (lagi-lagi) bergaya pencitraan? Ha ha ha… 

[Andryanto Mustofa/jabir/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version