View Full Version
Jum'at, 11 Apr 2014

Menimbang Koalisi Partai (Berbasis Massa) Islam

Menimbang Koalisi Partai (Berbasis Massa) Islam

Oleh: Agus Hidayat

Kendati data hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survey belum genap terkumpul di angka 100%, namun gambaran besar peta politik hasil Pemilihan Umum Indonesia 2014 sudah dapat ditebak.

PDI Perjuangan, kendati tak terlalu dominan, memimpin perolehan suara legislatif, diikuti Partai Golkar dan Partai Gerindra yang menyalip melebihi suara partai incumbent, Demokrat. Suara selebihnya disebar rata diantara partai-partai medioker: PKS, PAN, PPP, Hanura, termasuk kontestan baru, Nasdem, masing-maisng pada kisaran 5 – 7 %.

PKB cukup mengejutkan dengan perolehan suara yang berbeda tipis saja dari Demokrat di angka 9 %. Soliditas pemilih Nahdliyin dan ketiadaan alternatif lain yang dinilai bisa mewakili kepentingan kaum  Nahdliyin, diduga jadi salah satu sebab solidnya dukungan atas PKB.

Di atas kertas, tak ada satu partaipun yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung tanpa berkoalisi. Jokowi dan PDIP butuh setidaknya tambahan 6% suara, sedangkan Golkar dan Gerindra membutuhkan dukungan parpol lain paling tidak belasan persen untuk menggenapi 25% keterwakilan di DPR atau minimal 20% jumlah kursi di DPR.

Jika kita menilik ke sejarah pemilu di Indonesia, tradisi lobi politik sejak Pemilu digelar di era reformasi, mengikuti patron berikut: partai berbasis “Nasionalis” yang dominan akan mencoba merangkul partai berbasis massa Islam – untuk keseimbangan konstelasi dan memperoleh dukungan massa Islam tentu saja.

Kombinasi Nasionalis – Islamis atau sebaliknya, Islamis –Nasionalis, nampaknya jadi resep andalan partai politik yang menggenggam kekuasaan. Lihat saja hasil Pemilu 1999. Pasangan terpilih adalah Abdurahman Wahid – Megawati dan ketika Gus Dur lengser, maka Megawati dipasangkan dengan Hamzah Haz.

Sejak kabinet bergonta-ganti, keterwakilan partai berbasis massa Islam selalu ada di Pemerintahan. Posisinya lebih sebagai pelengkap, ketimbang “diperhitungkan” karena memiliki posisi tawar tinggi. Mungkin, seperti sayur sop tanpa wortel, akan terasa janggal rasanya jika Pemerintahan tak mengajak dan mengikutserakan kelompok ini.

Kini dengan angka rata-rata tingkat keterpilihan partai berbasis massa Islam di DPR yang berada pada kisaran 6-7 persen (kecuali PKB yang masuk 5 besar di angka 9%), tak sulit untuk membayangkan posisi partai berbasis massa Islam yang nampaknya tetap akan jadi “pelengkap penderita” dari berbagai kemungkinan skenario koalisi partai yang mungkin terjadi.

Indikasinya bahkan sudah  terlihat sejak di masa kampanye. Ketua Umum PPP, Suryadharma Ali misalnya, sudah merapat ke Prabowo (Gerindra). Sangat mungkin Suryadharma Ali pintar membaca dari awal pergerakan pendulum politik dan buru-buru merapatkan diri, ketimbang ketinggalan gerbong.

Namun hal ini juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk ketidak ‘pede’an partai berbasis massa Islam pada pemilu kali ini, lebih jauh lagi mungkin bisa dianggap sebagai cerminan rasa ketidakpercayaan basis massanya yang kemudian memberi hukuman melalui perolehan suara yang tidak diharapkan.  

Padahal di sisi lain, parpol berbasis massa Islam memandang bahwa keterwakilan “ummat” di Pemerintahan tetap dianggap sesuatu yang strategis dan dinilai akan lebih banyak memberi manfaat kepada “ummat”, ketimbang jadi pengawas dan berdiri di lingkaran luar.

Para legislator dari partai berbasis massa islam ini juga, seakan tenggelam di DPR, dan nyaris tak mengisi pemberitaan dengan tingkah laku kritis, atau kerja luar biasa mereka. Publik, terutama “ummat”, malah disuguhi dengan berbagai berita para legislator “hijau” yang perilakuknya tak Islami. Dari mulai berbagai rekaman persidangan KPK, berita anggota dewan yang “iseng” nonton video porno saat persidangan dewan, dan lain sebagainya, yang kian menjauhkan partai-partai ini dari minat konstituennya untuk memilih.

Komunikasi politik diantara sesama partai berbasis massa Islam juga buruk dan nyaris tak pernah kita dengar selama Pemilu 2014 ini. Semua partai “Islam” terlihat sibuk dengan dirinya sendiri – memperebutkan pemilih dari kalangan “ummat” yang mungkin sudah letih melihat ketidakberdayaan pilihannya di DPR dan Kabinet selama ini.

Padahal, jika partai-partai “hijau” ini mau membuka diri, kembali kepada kesamaan platform perjuangan yang selama ini menjadi jargon masing-masing, secara utak-atik matematika, jika dikumpulkan, suara parpol berbasis massa Islam sudah mencukupi buat mengusung calon presiden dari kalangan ini sendiri: Poros Islam jilid 2.

Mari kita hitung: PKB (9%), PKS (7%), PAN  (7%), PPP (6%), PBB kita kesampingkan dulu karena boleh jadi tak akan masuk Senayan dengan keterpilihan dibawah 2%.  Dengan Empat parpol ini, jika berkoalisi, suaranya akan melebihi syarat pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.

Tantangannya adalah, apakah parpol berbasis massa Islam – saat ini -  memiliki “chemistry” yang sama? atau memang seperti premis sebelumnya: masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri dan mencari “aman” sendiri-sendiri?

Kalau menoleh ke belakang, PKS sudah bulat hati buat mengusung calon presiden sendiri. Terlihat dari upaya internal partai ini yang mengadakan Pemilihan Raya sebelum pemilu legislatif. Belakangan, nama Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan memenuhi berbagai media kampanye kader partai ini, terutama di lini masa jejaring sosial dan ranah maya sebagai kandidat Presiden dari PKS dan diproyeksikan bisa menjadi penantang kandidat Presiden dari PDI Perjuangan, Joko Widodo. Kalkulasinya adalah, Heryawan dianggap memenuhi berbagai unsur jika diadu “head to head” dengan Jokowi. Tapi sesudah hasil hitung cepat pemilu legislatif menampakan hasilnya, nampaknya PKS tak terlalu percaya diri buat mengusung kandidat sendiri.  

Sedangkan PAN, sebagaimana diisyaratkan Ketua Umumnya Hatta Rajasa beberapa waktu sesudah Jokowi resmi dicalonkan PDIP, nampaknya lebih suka merapat kepada PDI Perjuangan buat mendukung Jokowi. Muhammadiyah termasuk salah satu ormas Islam yang disambangi Jokowi, sesudah pencalonannya diumumkan.

Kendati malu-malu kucing, PKB juga menggagas wacana memajukan calon presiden sendiri. Pedangdut Rhoma Irama dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, adalah dua calon yang digadang-gadang PKB. Kini dengan suara 9%, nampaknya PKB akan lebih percaya diri, kendati tetap sulit buat maju sendiri.

Akan halnya PPP, isyarat koalisi dengan Gerindra tampaknya sudah lama diterawang Ketua Umumnya dan bisa jadi direalisasikan, sebab Prabowo-pun akan melihat bahwa PPP adalah partai yang mendukung mereka sejak awal. Setidaknya, bergabungnya PPP dalam koalisi Gerindra memudahkan klaim Prabowo atas dukungan kelompok Islam dalam racikan resep lama: Nasionalis – Islamis.

Hasrat untuk mengedepankan partainya sendiri ini diperparah karena cilakanya, belakangan ini, kelompok Islam nyaris tak memiliki pelobi politik ulung semacam Amin Rais di Pemilu 1999 atau tokoh kharismatis semodel almarhum Abdurahman Wahid. Nyaris tak ada tokoh yang mau dan mampu(?) memulai komunikasi politik, menggalang kesamaan dan memulai menggerakan mesin politik untuk menggelindingkan lokomotif dan membawa gerbong partai berbasis massa Islam sendiri.

Di sisi lain, alternatif untuk menjadi oposisi murni juga nampaknya bukan pilihan yang disukai para petinggi partai berbasis massa Islam ini. Syahwat untuk memegang kekuasaan, kendati “hanya” di level menteri dan jumlahnya paling banter 1-2 di kementrian yang “pinggiran”, nampaknya terlalu besar buat ditolak. Justifikasinya ya itu tadi, bahwa keterwakilan “ummat” di Pemerintahan lebih strategis dan lebih banyak memberi manfaat kepada “ummat”. Selain, tentu saja bagus buat portofolio partai dan kader partainya yang perna menduduki posisi tersebut, setidaknya bisa “dijual” di masa depan jika diperlukan.

Melihat konstelasi politik dan situasi di internal partai berbasis massa Islam saat ini, nampaknya koalisi partai berbasis massa Islam, sebut saja Poros Islam jilid 2, sulit untuk diwujudkan dan peta politik nampaknya belum akan bergerak dari – menjadikan partai berbasis massa Islam – sebagai pelengkap klaim dukungan dari kelompok massa dengan jumlah terbesar di Indonesia ini, sad but true.


latestnews

View Full Version