View Full Version
Ahad, 27 Apr 2014

Dibalik Pembajakan Virgin Airlines: Stigma Negatif Teroris Hanya untuk Umat Islam

Tidak dapat kita bayangkan seandainya Matt Christopher (28), pria Kristen asal Australia yang membajak pesawat Boeing 737-800 milik Virgin Blue Airlines, Jumat (26/4) siang kemarin dalam penerbangan Brisbane Australia menuju Denpasar Bali itu, beragama Islam. Sudah dapat dipastikan media Barat dan para pendukungnya media di Indonesia cetak maupun elekronik yang bernafaskan Sepilis (sekularis, pluralis dan liberalis) akan mencap sang pembajak adalah teroris, sebab dia beragama Islam. Pesawat Boeing 737-800 itu sedang mengangkut 137 penumpang dan 6 awak pesawat. Akibat insiden tersebut, Bandara Ngurah Rai sempat ditutup selama 32 menit.

Dalam drama yang mengegerkan itu, Matt sempat mengedor-gedor pintu ruang kokpit, dimana pilot dan co-pilot bekerja mengendalikan pesawat. Karena ketakutan dan terbayang akan peristiwa tragedi pesawat MH-370 Malaysia Airlines yang sampai sekarang masih menjadi misteri itu, maka sang pilot mengunci rapat ruang kokpit dan mengirimkan sinyal peringatan bahaya kepada Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Sehingga Kapolda Bali, Irjen (Pol) AJ Benny Mokalu langsung memerintahkan sterilisasi bandara sebelum pesawat mendarat. Begitu pesawat mendarat, petugas keamanan langsung menyerbu pesawat dan mengamankan Matt tanpa perlawanan sedikitpun.

Bahkan saking dramatisir dan tegangnya peristiwa itu, pasukan komando TNI AU di Pangkalan Ngurah Rai telah melakukan prosedur pengamanan pembajakan pesawat. Sementara pasukan khusus TNI AL di Benoa Bali telah menyiagakan beberapa perahu karet di sekitar Bandara Ngurah Rai yang memang berada di tepi pantai tersebut. Sedangkan satu tim pasukan khusus anti teror Gultor Kopassus dari Cijantung sudah siap siaga diberangkatkan menuju Bali.

Tentu saja aparat keamanan tidak mau kecolongan, sebab baru pertama kali ini setelah 23 tahun kembali terjadi pembajakan pesawat terbang di Indonesia, dimana waktu itu terjadi pembajakan pesawat Garuda yang dikenal dengan Peristiwa Woyla, di Bandara Don Muang, Bangkok (1981) yang sempat menggegerkan dunia internasional sekaligus mengangkat nama Jenderal TNI LB Moerdani yang akhirnya menjadi Panglima ABRI (1984).

Namun karena Matt bukan seorang Muslim tetapi Kristen, maka hanya dikatakan: “Telah terjadinya insiden gangguan keamanan di dalam pesawat akibat ulah seorang penumpang yang lagi mabuk.” Media sekuler tidak memberitakannya sebagai upaya pembajakan pesawat komersial dengan 137 penumpang dalam penerbangan Brisbane menuju Denpasar oleh seorang teroris Kristen. Matt tidak dikatakan dengan sebutan “teroris Kristen” tetapi “pria yang sedang mabuk”.

Diskriminatif

Meski masyarakat Barat seperti AS dan Australia dikenal demokratis, namun ternyata media massanya selalu diskriminatif, tidak seimbang atau berat sebelah jika memberitakan mengenai umat Islam. Namun konyolnya, berbagai berita yang tidak simbang itu justru diambil secara mentah-mentah tanpa tabayyun atau cek and recek oleh berbagai media di Indonesia baik koran, majalah, online termasuk televisi yang saat ini dikuasai kelompok Sepilis. Mereka mengambil berita dari Barat tidak hanya masalah internasional seperti Timur Tengah, tetapi juga berita mengenai Indonesia sendiri.

Seperti ketika mereka memberitakan soal teroris (baca: mujahid) yang selalu distigma negatifkan kepada umat Islam. Media Barat dengan jelas menyamakan teroris identik dengan Islam, padahal Islam dikenal sebagai agama damai, anti kekerasan dan rahmatan lil alamin, sedangkan perbuatan para teroris itu hanyalah tindakan para oknum. Jadi tidak bisa digeneralisir sebagai tindakan yang mengatas- namakan Islam dan umat Islam.

Sangat berbeda jika mereka memberitakan tentang gerombolan separatis RMS dan OPM yang memang mayoritas Kristen dan Katolik. Para separatis itu diberitakan sebagai para pejuang yang ingin membebaskan negerinya dari “kolonialisme” yang dilakukan pemerintah Indonesia. Maka tidaklah mengherankan ketika Densus menangkapi para aktivis RMS dan OPM, media massa Australia meminta pemerintahnya agar meninjau ulang bantuan tahunannya kepada Densus. Sebab Densus dibentuk untuk menghadapi teroris yang diistilahkannya sebagai “para jihadis radikal” yang mengacu kepada umat Islam, sementara RMS dan OPM adalah gerakan pembebasan bukan separatis apalagi teroris. Jelas ini suatu kebijakan diskriminatif yang selalu diterapkan media massa Barat terhadap umat Islam Indonesia.

Bahkan Koran Australia The Sydney Morning Herald dalam edisinya 13 September 2010 tidak mempersoalkan pelanggaran HAM berat yang sudah menjadi rahasia umum berupa penyiksaan yang dilakukan aparat Densus terhadap tersangka para teroris yang ditangkap karena mereka umat Islam, sementara koran Australia itu memprotes hal serupa yang dilakukan terhadap separatis RMS hanya karena mereka beragama Kristen. “Dia bukan jihadis radikal. Dia seorang Kristen dan kesalahannya adalah memiliki dua bendera RMS”, tulis The Sydney Morning Herald ketika mengisahkan nasib Yonias Siahaya yang ditahan dan disiksa Densus di Ambon pasca insiden pengibaran bendera RMS menjelang Sail Banda 2010 lalu.

Sekarang semakin jelas, pemerintahan Barat yang menganggap dirinya sebagai kampium demokrasi dan menjunjung tinggi kebebasan pers, ternyata pers Barat sendiri sangat diskriminatrif, subyektif dan double standart ketika memberitakan mengenai umat Islam yang selalu distigma negatifkan sebagai teroris. Namun ketika memberitakan para gerombolan tseparatis RMS dan OPM, mereka menganggapnya sebagai pejuang kemerdekaan yang ingin membebaskan negerinya dari “kolonialisme” Indonesia dengan mendirikan negara Kristen dan Katolik di Maluku dan Papua. Mereka hanya sebagai separatis, bukan teroris Kristen.

Namun anehnya, Pemerintah Indonesia dibawah Presiden SBY tidak berani menindak tegas para gerombolan separatis tersebut, sebab khawatir dituding telah melakukan pelanggaran HAM berat oleh negara-negara Barat yang menjadi pendukungnya.

Dengan demikian sudah semakin jelas, bahwa stigma negatif teroris hanya khusus untuk umat Islam saja, sedangkan Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, Yahudi, Sikh, Zoroaster, Shinto dan lain lain, mereka bukan teroris dan tidak pernah menjadi teroris menurut kacamata media Barat dan antek-anteknya di Indonesia.

Penulis : Tjipto Subadi


latestnews

View Full Version