View Full Version
Rabu, 20 Jan 2016

Pandangan MEA di Indonesia

Oleh: Reni Febriani (Mahasiswi Pendidikan Kimia UIN SGD Bandung)

Sahabat VOA-Islam...

Akhir tahun 2015 menjadi momentum dimulainya babak baru Indonesia dalam melakukan perdagangan bebas. Sudah dari tahun-tahun sebelumnya MEA digencarkan untuk diperkenalkan pada publik. MEA sendiri mulai digagas pada tahun 1992 pada acara Framework Agreement on Enchanging di Singapura, dengan tujuan meningkatkan daya saing ASEAN serta dapat menyaingi Tiongkok dan India untuk menarik investasi Asing (bppk.kemenkeu.go.id, 12 Februari 2015).

Konsekuensi  atas kesepakatan MEA adalah aliran bebas barang, jasa dan investasi di negara-negara anggota ASEAN. Oleh karenanya, pemerintah mempersiapkan setiap bidang melalui koordinasi kementrian menyiapkan strategi-strategi jitu guna menjadikan MEA sebagai peluang besar bagi kemajuan Indonesia.

Dalam bidang pendidikan, menurut Republika (27 Agustus 2015), LP3I (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia) telah menyiapkan empat strategi dalam menghadapi MEA. Salah satu diantaranya adalah memberikan sertifikat untuk mengukur skill masing-masing lulusan. Jadi, selain ijazah, mahasiswa dituntut untuk memiliki sertifikat standar kompetensi untuk profesi yang akan dijalaninya kelak.

Persaingan untuk mendapat pekerjaan selepas mengenyam pendidikan begitu ketat. Di Aceh, ada sekitar 1.485 orang lulusan S1 tiap tahunnya, di Padang terdapat 1000 pengangguran didominasi lulusan SMA dan S1 (Harian Haluan, 1 September 2015). Persaingan kerja ini masioh bersifat regional, dengan jumlah lulusan sekolah yang terus bertambah tiap tahunnya, dan pertumbuhan lapangan pekerjaan yang kecil menghasilkan banyaknya pengangguran.

Dengan adanya MEA, anak bangsa dipaksa harus lebih keras dalam mendapat pekerjaan bahkan di tanah airnya sendiri, bersaing dengan tenaga kerja dari negara ASEAN lain, yang memiliki standar pendidikan tinggi seperti Singapura yang merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia berdasarkan survey tahun 2015. Maka didapatlah gambaran, bahwa pemerintah tepatnya membiarkan pekerjaan atas akan banyak diduduki orang asing, sedang pribumi cukup menjadi pekerja bawahan.

Dalam Islam, pemerintah haruslah mengurus rakyatnya dengan sebaik-baiknya dalam segala aspek. Rasulullah bersabda “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan bertanggung jawab atas pengurusan mereka” (HR Muslim). Wallahualam bi shawab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version