View Full Version
Senin, 25 Jan 2016

Kota Madaya dan Ironisme kaum Muslimin

Oleh: Latifah Nurhidayah

(Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia)

Sahabat VOA-Islam...

Ditengah hiruk pikuknya perpolitikan dunia serta issue terorisme yang saat ini begitu  populer ditengah-tengah masyarakat, terlebih pasca tragedi bom Tamrin yang terjadi di Jakarta baru-baru ini, sebagian besar dari masyarakat tidak terkecuali dunia menaruh perhatian yg besar dalam menanggapi pemberitaan tersebut.

Pengarusan media yang begitu masif memberitakan kasus ini mengalihkan kita pada berita yang jarang terdengar ditelinga masyarakat. Bahkan tak satupun media nasional terlihat mengeskpos berita tersebut. Padahal berita ini merupakan sama pentingnya dengan berita lain bahkan  bencana yang memilukan  serta memalukan bagi dunia.

Kota Madaya, sebuah daerah kecil dibagian Suriah kini menjadi sebuah daerah yang dipenuhi dengan manusia bak mayat hidup. Tubuh kurus , lunglai nan lemah  tak sulit untuk kita temukan. Kematian ? Jangan ditanya. Ini sudah berita sehari-hari di negeri ini. Di dua pecan awal januari saja tercatat 30 orang meningeal dunia (Sumber : Dakwatuna.com, 16/01/16). Namun sayang sangat sedikit yang memberitakannya keluar. Dan hanya segelintir orang saja yang mempedulikan nasibnya.

Sejak pemerintah Bashar Assad membombardir rakyatnya sendiri, dan diperparah agresi Rusia dan Perancis. Kondisi negeri para nabi ini kian buruk. Bukan hanya karena dihujani dengan berbagai bom, namun juga diblokadenya akses makanan ke dalam daerah tersebut. Sehingga bantuan yang datang pada mereka tak bisa masuk ke dalam suriah. Hingga para kaum muslim suriah pun harus makan dedaunan dan makan kucing.

Tidakkah ini sebuah Ironi? Di bumi para nabi serta tanah yang diberkahi dalam sabda Rasulullah. Ratusan orang meninggal dalam kelaparan, sedangkan yang lain harus mengungsi dan terkatung – katung sebagai gelandangan di negeri orang. Sedangkan kita ? Hidup dengan rizki berlimpah dan terdiam membisu melihat saudara seiman mati secara perlahan. Meski akhirnya Madaya kini sudah diberi pasokan makanan berlimpah dari organisasi kemanusiaan namun tidakkah hati kita merasa bersalah dengan semua ini ?

Memang, makanan dan obat-obatan adalah yang hal yang dibutuhkan oleh penduduk Madaya dan pengungsi Suriah lainnya. Bahkan para penduduk Gaza, Afganistan, Rohingya dan daerah konflik lainnya. Tapi dengan semakin perihnya penderitaan kaum muslimin, serta semakin majunya bentuk diskiriminasi terhadap kaum muslimin setidaknya membuktikan  satu hal. Bahwasannya yang lebih dibutuhkan oleh kaum muslimin dunia adalah sebuah persatuan dan kepemimpinan. Sebab , makanan dan obat-obatan bisa habis ditengah gencarnya serangan fisik oleh kaum kafir. Rumah sakit dan sekolah yang dibangun juga bisa hancur dengan bom dan rudal mereka yang dapat diluncurkan secara tiba-tiba.

Bagaimana mungkin kita memberikan makanan dan obat-obatan pada saudara kita diluar sana, namun diam membisu saat mereka dibunuh, diperkosa dan disiksan setiap hari. Ibarat seorang tetangga, kita diam saja melihat tetangga kita disiksa dan dirampok oleh penjahat.  Setelah penjahat sedang lengah kita pun memberikan makanan dan obat pada tetangga. Begitu sang penjahat kembali beraksi kita pun hanya menonton. Bukankah yang harus kita lakukan adalah masuk kedalam rumah  dan mengusir penjahat tersebut ?

Inilah sebuah ironi dari dunia yang kita tempati. Dimana negeri-negeri muslim yang memiliki potensi luar biasa tak mampu berbuat sesuatu untuk mengusir penjajah. Tidakkah kita merasa ‘risih’ dan ‘khawatir’ ? Risih ketika kaum kafir menjatuhkan kehormatan kaum muslimin dan khawatir akan hari penghisaban nanti. Sebuah pernyataan dari Khalifah Abdul Hamid II ini, nampaknya bisa menjadi cambuk dan pemantik bagi kita untuk bersegara dalam perjuangan menegakan lagi sebuah supremasi pemersatu kaum muslimin yaitu Kekhalifahan Islamiyah.

''Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.''

Dan tentunya mengembalikan sebuah kepemimpinan yang telah runtuh pada tahun 1924 tidak bisa dilakukan dengan berleha-leha. Perjuangan ini membutuhkan tekad yang utuh, keikhlasan yang murni serta pengorbanan yang tinggi dari para putra-putri umat ini.

Sebagai muslim yang masih diberi rizki dan kemerdekaan oleh Allah SWT,  berjuang adalah satu-satunya kata yang mampu mebayar seluruh penderitaan kaum muslimin dibelahan dunia. Dan dengan bersatunya kaum muslimin menuju perjuangan yang sama maka Kekhalifahan itu akan segera muncul dan membebaskan kaum muslimin dari para penjajah . Insya Allah. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version