View Full Version
Sabtu, 31 Aug 2019

Pajak Dipermudah, Rakyat Makin Susah?

INDONESIA, negeri dengan kekayaan melimpah ruah rupanya menyimpan banyak misteri bagi rakyat. Kekayaan yang bahkan tidak dimiliki negeri-negeri lain, seperti emas, minyak, gas alam, batu bara, serta lautan yang menghampar luas ternyata masih banyak kesengsaraan yang melanda masyarakat. Bagaimana tidak, kekayaan Sumber Daya Alam yang seharusnya dinikmati, justru menjadikan rakyat gigit jari.

Ironinya, rakyat belum pernah merasakan manisnya kekayaan alam, justru semakin tersiksa dengan beban wajib pajak yang tak kunjung ada akhirnya. Bahkan negara tidak tanggung-tanggung membuat akses pajak semudah isi pulsa hanya dengan telepon genggam, demi melancarkan rencana busuk pemerintah memalak rakyat untuk menggenjot pendapatan negara melalui pajak.

Kabarnya, demi mendorong kesadaran wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan berbagai cara. Termasuk mengeluarkan tagline bayar pajak semudah isi pulsa. Rupanya ide tagline ini bersumber dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Tidak berhenti disitu, bahkan upaya-upaya penarikan pajak terus dilakukan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan wajib pajak, bahwa mereka tak bisa lagi menghindarkan diri dari kewajibannya. Ditjen Pajak kini bisa mengendus harta sekalipun disembunyikan. Seolah penguasa panik dengan kemerosotan ekonomi yang menjangkiti negara.

Bahkan sekalipun rakyat harus menguras sumur untuk menyimpan hartanya, akan tetap dikejar.

Dikutip dari obrolan eksklusif Kadin.Talks, "Jadi anda mau pindah nggak jadi ke bank tapi ke insurance ya tetap akan laporin. Kalau mau ya gali aja sumur di belakang rumah taruh duitnya di situ. Oh masih ada yang seperti itu? nanti saya pakai drone cari di situ," tutur mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Sungguh tak masuk akal dengan kekayaan alam yang banyak, rakyat tidak mampu menikmatinya. Bahkan Sumber Daya Alam nya diserahkan kepada Asing demi kepentingan penguasa tanpa memikirkan nasib rakyat yang makin melarat. Sementara pemungutan pajak semakin membuat rakyat tak berdaya.

Dalam sistem kapitalisme neoliberal, pajak rupanya sudah jadi andalan utama pemasukan negara. Alih-alih berpikir memudahkan kehidupan rakyat, para penguasa justru terus berusaha “kreatif” mengulik apa yang bisa dipalak dari rakyat. Jika perlu, palaklah rakyat “hingga titik darah penghabisan!”

Inilah bukti bahwa bobroknya rezim penguasa yang mengadopsi ide Neoliberal yang menjadikan rakyat sebagai objek pemerasan berbagai aturan pajak yang memberatkan.

Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“ (HR. Abu Daud, no : 2548, dishahihkan oleh Imam al Hakim)

Hadits tersebut memperingatkan kezhaliman orang yang mengambil pajak secara paksa. Jika di dalam sistem negara neoliberal, pajak adalah satu-satunya sumber terbesar bagi APBN. Namun tidak dengan Islam.

Islam adalah aturan paripurna yang rahmatan lil 'alaamin. Tidak ada satu aturanpun yang sifatnya memaksa dan menyengsarakan. Seperti dalam memandang bagaimana pajak. Pajak disebut sebagai :

a. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam),

b. al-Kharaj(pajak bumi yang dimiliki oleh Negara)

c. al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam)

 

Melihat istilah diatas, jelas bahwa pajak tidak dibebankan kepada kaum Muslimin.

Rasulullah SAW bersabda :

لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاة

“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat.” (HR Ibnu Majah).

Keurgensian pengambilan pajak dalam Islam adalah ketika tidak ada harta di Baitul Maal. Itupun tidak dibebankan kepada seluruh kaum Muslimin. Hanya diperuntukkan bagi rakyat yang kaya. Sehingga, pajak tersebut tidak merampas hak dan memberatkan umat.

Imam Taqiyuddin an Nabhani menggariskan bahwa pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat, misalnya menyantuni fakir miskin. Jika kewajiban finansial ini hanya menjadi kewajiban negara saja, misalnya membangun jalan atau rumah sakit tambahan yang tak mendesak, pajak tak boleh ditarik.

Pajak yang boleh ditarik dalam Khilafah harus memenuhi 4 (empat) syarat:

(1) Diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat;

(2) Hanya diambil dari kaum Muslim saja;

(3) Hanya diambil dari Muslim yang mampu (kaya), yaitu yang mempunyai kelebihan setelah tercukupinya kebutuhan dasar yang tiga (sandang, pangan, dan papan) secara sempurna;

(4) Hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur, 2/108-110; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 242).

Terdapat 4 (empat) pengeluaran yang dapat dipenuhi dengan pajak (dharibah) jika tak ada dana mencukupi di Baitul Mal, yaitu:

(1) Untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah;

(2) Untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll;

(3) Untuk membiayai kepentingan pokok yang mendesak (yakni yang menimbulkan bahaya jika tidak ada) seperti jalan utama, rumah sakit utama, jembatan satu-satunya, dll;

(4) Untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122).

Islam mengamanahkan rakyat kepada penguasa dan negara agar diurus dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Dan keduanya akan terwujud, manakala negara dan penguasa konsisten menerapkan hukum-hukum Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk di bidang ekonomi dan pembangunan.

Sistem ekonomi Islam, nyatanya berbeda jauh dengan sistem kapitalisme neoliberal. Pilarnya yang shahih, yakni akidah Islam, telah melahirkan seperangkat aturan yang juga sahih dan solutif atas seluruh permasalahan. Termasuk masalah distribusi kekayaan, penyelenggaraan pembangunan dan bagaimana mewujudkan kesejahteraan.

Islam pun dengan tegas memilah soal kepemilikan. Semua sumber kekayaan alam yang tak terbatas, ditetapkan sebagai milik rakyat. Dan negara wajib menjaga dan mengelolanya demi kepentingan rakyat, tak boleh menyerahkannya kepada siapapun apalagi pihak asing. Dengan begitu kemudahan dalam hal penghidupan rakyat dapat terwujud dengan baik.

Begitulah Islam mengatur negara, pajak, dan kepemilikan. Maka, tidak ada jalan lain selain kembali pada hukum Islam. Aturan yang bersumber dari Sang Pencipta. Terbukti selama 13 abad Islam menaungi kegemilangan umat.*

Layli Hawa

Aktivis Dakwah Islam

 


latestnews

View Full Version