View Full Version
Kamis, 19 Sep 2019

Deislamisasi, Sejarah Islam Diamputasi

SEJARAH Islam yang pernah berjaya memang benar adanya. Bahkan sejarah lengkapnya akan sulit untuk dipelajari hanya dalam hitungan hari ataupun bulan. Karena kejayaan Islam membentang luas dari Jazirah Arab sampai daratan Eropa yang dimulai dari abad ke-6 M sampai abad ke 20 M.

Di negeri ini pun, penjelasan sejarah Islam tidak semua dipelajari di bangku sekolah. Terlebih lagi hanya sekolah berbasis Islam saja yang terdapat materi sejarah Islam. Tapi ternyata sejarah yang diajarkanpun dipilah-pilah, diajarkan yang menurut pemerintah sesuai dengan kultur Indonesia.

Sebagaimana dikutip dari Gatra.com (13/09/19) bahwa Direktur Kurikulum Sarana Prasarana Kesiswaan dan Kelembagaan (KSKK) Madrasah Kementrian Agama, Ahmad Umar mengungkapkan, di tahun ajaran baru 2020, tidak akan ada lagi materi perang di mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Baik untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) ataupun Madrasah Aliyah (MA).

Tujuan dari penghapusan ini ialah agar Islam tidak lagi dianggap sebagai agama radikal atau yang selalu dikaitkan dengan perang oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, Dirjen Pendidikan Islam pun ingin mengajarkan pada para siswa, bahwa islam pernah sangat berjaya.

Umar menambahkan dengan kebijakan ini diharapkan dapat mendidik anak-anak sebagai orang yang punya toleransi tinggi kepada penganut agama-agama lainnya.

 

Kesalahan Pandangan

Peryataan Direktur KSKK ini mempunyai makna tersirat bahwa dengan adanya materi perang dalam buku SKI akan menjadi penyebab sesorang menjadi radikal dan mengikis toleransi beragama. Beliau menganggap ketika materi perang diajarkan maka Islam akan dicap sebagai agama yang  radikal. Oleh karena itu penarikan kesimpulannya adalah materi perang harus dihapuskan dan diganti dengan materi yang tidak memicu sikap radikal.

Maka pengambilan kesimpulan seperti ini sangatlah irrasional. Penghapusan materi perang yang merupakan bagian dari sejarah islam, berarti juga pendistorsian dan pengamputasian sejarah itu sendiri. Yang pada akhirnya seorang muslim tidak mengetahui sejarah Islam keseluruhan yang dianutnya.

Bukan berarti karena ada materi perang, Islam menjadi agama yang intoleran dan radikal. Justru sebaliknya dengan mempelajari peperangan yang dilakukan oleh rasulullah dan sahabat  maka kaum muslim akan mengetahui bahwa perang dalam islam mempunyai aturan yang jelas dan misi yang jelas. Tidak dilakukan sembarangan apalagi dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh syara’. Bukan pula seperti gambaran perang saat ini yang dilakukan negara-negara Barat terhadap kaum muslim di Timur Tengah dengan menjatuhkan bom kepada masyarakat sipil yang tidak bersalah.

 

Perang Dijelaskan dalam Al-Qur’an

Sejarah islam seharusnya diajarkan seluruhnya, bukan hanya diambil yang dianggap baik dan mencampakan yang dianggap buruk. Terutama sejarah penerapan syari’at Islam secara kaffah yang akhirnya mewujudkan peradaban yang gemilang. Dimana dari jihad itulah negara-negara  lain terbebas dari penghambaan selain kepada Allah. Atas nama mencegah radikalisasi atau yang populer disebut deradikalisasi, umat Islam sendiri dibatasi untuk mempelajari khazanah Islam. Walhasil umat Islam yang kurang memahami Islam menjadi phobia pada ajaran Islam.

Perlu diketahui bahwasannya penyampaian sejarah bergantung pada perspektif sang penyampai sejarah. Jika sejarah Islam disampaikan secara objektif dan sesuai dengan fakta, maka akan kita temui bahwasannya peperangan dalam Islam bukan mengajarkan menyakiti sesama muslim atau non muslim yang tidak bersalah. Rasulullah dan khalifah setelah beliau mengajarkan bahwa perang adalah melawan kekufuran dan kedzaliman. 

Terlebih lagi, tidak bisa dipungkiri bahwa materi perang adalah bagian dari isi Al-Quran yang tidak bisa dihilangkan. Banyak ayat Al-Qur’an menjelaskan tentang kisah peperangan Rasul dan para sahabat dalam memerangi kekufuran dan mempertahankan Islam dari serangan musuh. Maka dengan menafikkan materi perang sama halnya melakukan penolakan terhadap ayat-ayat perang yang ada dalam Al-Qur’an. Hal ini tentu akan menjerumuskan seseorang pada penolakan kandungan Al-Qur’an.*

Indriyatul Munawaroh

Praktisi Pendidikan tinggal di Ponorogo, Jawa Timur


latestnews

View Full Version