View Full Version
Selasa, 24 Sep 2019

Gerilya Partai Komunis

Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)

Setelah bertemu Presiden Jokowi, Partai Komunis Cina bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati, dilanjutkan berjumpa dengan Ketua Umum Golkar dan jajarannya. Ketum Gerindra Prabowo juga ternyata ditemui di Kertanegara.

Meski tak terbuka agenda berikut tapi "gerilya politik" nampak intens dilakukan di bulan September ini. Menarik sekali untuk mengingat suasana September 1965 yang berujung pada pembunuhan "tujuh pahlawan revolusi" 30 Agustus 1965.

Penuh basa basi atau memang serius pimpinan PKC berdiplomasi hangat dengan pimpinan partai PDIP, Golkar, dan Gerindra. Agenda kerjasama antar partai dilontarkan. Sepertinya bulan September ini adalah bulan kebahagiaan pertemuan untuk "berpelukan" dengan Partai Komunis Cina. Kehebatan pasukan Mao Ze Dong dalam bergerilya memang patut diacungi jempol.

WNI Cina diaspora semakin banyak jumlahnya dan segmen pengusahanya mendominasi kehidupan ekonomi Indonesia. Demikian juga hubungan antara Negara RI-RRC semakin erat. Banyak gelaran karpet merah untuk investasi Beijing di Indonesia.

Di bawah pemerintahan Jokowi Beijing menyiapkan dana besar pula untuk ikut "membangun" Indonesia. Sekaligus menyukseskan program ambisius Cina "One Belt One Road".

Hegemoni ekonomi dirasa belum cukup bagi RRC. Politik adalah bidang strategis lanjutan. Para taipan WNI Cina diaspora di samping membiayai berbagai kegiatan politik yang berimbas pada kepentingan timbal balik, juga tokoh tokoh diaspora mulai berani tampil di kancah politik. Semua tentu butuh proteksi global.

RRC lebih terang-terangan melangkah di bidang ini. Utusan-utusan pun datang dan terakhir Ketua Hubungan Luar Negeri Polit Biro Partai Komunis Cina yang mengunjung tokoh dan partai berpengaruh. Sekurangnya Megawati, Airlangga, dan Prabowo. Yang terakhir ini adalah lawan politik Jokowi yang sudah mulai berkawan.

Datang bukan sebagai Negara tetapi "Partai Komunis". Sesuatu yang menarik dan tak bisa diabaikan. Bukan kebetulan juga jadwalnya bulan September. Setelah terlebih dahulu "sowan" ke Istana, bergeraklah Partai Komunis ini ke partai partai berpengaruh PDIP, Golkar, dan Gerindra.

Mungkin masih ada rencana partai lain. Dalam konteks perang diplomasi yang dilakukan PKC ini adalah "gerilya politik" dengan target memperoleh keuntungan politik. Sekurangnya ada beberapa hal yang patut diduga.

Pertama dengan label "Partai Komunis" dicoba untuk menerobos phobia komunisme di Indonesia. Tap MPR yang jelas larangannya ditembus secara politis dengan bahasa "kerjasama". Istilah "komunis" diarahkan menjadi hal yang biasa. Bebas dari stigma ketakutan atau bahaya.

Kedua, hubungan antar partai politik memperlancar komunikasi pada arus bawah. Sekaligus memberi sinyal kepada kader berfaham komunis (kiri) bahwa partai partai berpengaruh telah "welcome" terhadap isu ideologis atau support konsolidasi lanjutan.

Ketiga, pilihan bulan September mengingatkan pada spirit tokoh pendahulu Partai Komunis Indonesia yang berjuang untuk merebut kekuasaan. PKI berada di ring satu Soekarno. Jika tidak ada "hands of God" mungkin tak ada slogan bombastis "Saya Pancasila, NKRI harga mati".

Keempat, keterbukaan kerjasama antara Partai Komunis Cina dengan partai politik di Indonesia akan membuka jalan bagi kerjasama lebih dalam dan strategis di bidang militer. RRC termasuk negara dengan kekuatan militer yang cukup handal di dunia. Jika militer Cina masuk ke Indonesia, semakin dekat RI menjadi Republik Indocina.

Bangsa Indonesia tidak boleh terlena dengan isu kerjasama dengan kekuatan luar negeri apalagi berideologi komunis. Sejarah hitam pemberontakan berulang ulang yang dilakukan oleh kelompok komunis tidak boleh terulang kembali.

Ketetapan MPRS No XXV/1966 mesti dijalankan dengan konsekuen. Mewaspadai aktivis, tokoh atau pejabat yang menyatakan kini komunis sudah tidak ada dan tidak berbahaya.

Gerilya politik adalah habitat gerakan komunis dalam membangun kekuatan untuk kemudian mengendalikan dan menguasai. Penghianat di dalam negeri pasti ada.


latestnews

View Full Version