View Full Version
Selasa, 03 Dec 2019

Salam Yang Tertukar

Oleh: Leli Novitasari

(Guru Tahfizh, Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Kian sering diucapkan dalam sebuah pertemuan juga pidato menggunakan salam lintas agama, yang diyakini oleh sebagian kalangan masyarakat sebagai bentuk sikap toleransi terhadap berbagai keyakinan.

Hal ini pun menuai kontra. Diantaranya dari MUI Jawa Timur yang menghimbau umat Islam dan para pemangku kebijakan atau pejabat untuk menghindari pengucapan salam dari agama lain saat membuka acara resmi.

Imbauan tersebut termaktub dalam surat edaran bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang ditandatangani oleh Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin. Dalam surat itu, MUI Jatim menyatakan bahwa mengucapkan salam semua agama merupakan sesuatu yang bidah, mengandung nilai syuhbat, dan patut dihindari oleh umat Islam. Dilansir dari CNNIndonesia.com, Minggu (10/11).

Patut diapresiasi dengan  adanya reaksi atas pengucapan salam berbagai agama yang dilakukan oleh para pemangku jabatan. Karena mereka adalah tokoh publik yang segala tingkah laku juga ucapannya dilihat oleh masyarakat banyak.

Namun perlu dicermati, kekeliruan pengucapan salam yang tertukar ini ada sebabnya dan tidak boleh dipandang remeh. Sebagian besar disebabkan gagal pahamnya umat Islam memaknai salam plural juga terdapat faktor-faktor lain, diantaranya :

Pertama  kurangnya umat ini memahami bahasa Arab yang menjadi bahasa Universal dalam ajaran agama Islam. Akibatnya menjadikan umat ini kurang memaknai arti salam.

Bila sapa menyapa menggunakan bahasa Indonesian biasa digunakan dengan mengaitkan waktu kapan salam itu diucapkan. Semisal selamat pagi, selamat siang atau selamat malam.

Namun pengertian salam dalam ajaran agama Islam yang menggunakan bahasa Arab, mengandung makna yang mendalam serta tidak terkait oleh waktu kapan diucapkan. Dalam hal ini pengertiannya pun tak sebatas basa-basi saat menyapa. Melainkan sapaan yang berisikan doa.

Korelasi salam sebagai doa ditegaskan dalam hadist, dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidak dikatakan beriman sebelum kalian saling mencintai. Salah satu bentuk kecintaan adalah menebar salam antar sesama muslim.” (H.R Muslim no. 54.)

Salam adalah Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang dapat merekatkan Ukhuwah Islamiyah umat Muslim di seluruh dunia. Walau berbeda wilayah, salam terhadap sesama muslim antar benua tetaplah sama.

Mengucapkan salam hukumnya adalah Sunnah. Sedangkan bagi yang mendengarnya, wajib untuk menjawabnya.

Al-Quran menegaskan, selain doa, salam adalah bentuk penghormatan.

"Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik daripadanya. Atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas segala sesuatu" ( QS An-Nisaa' : 86)

Kedua, masuknya pemikiran-pemikiran asing yang membuat kaum Muslim mengkompromikan ajaran Islam. Seperti mentolerir pemikiran pluralisme di negeri yang plural ini. Faktanya ternyata pemikiran asing tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.

Contohnya, pandangan bahwa sebagai bentuk toleransi antar umat beragama harus menggunakan salam berbagai lintas keyakinan. Agar semua masyarakat hidup damai tentram sejahtera.

Tapi apakah pengucapan tersebut sudah benar adanya? Bagaimana cara menjawab salam yang beragam tersebut? Lalu apakah dalam ajaran Islam membolehkan penggunaan salam dalam keyakinan lain? Padahal belum tahu pasti apakah pengucapan salam tersebut mengandung makna dari tiap masing-masing keyakinan.

Perlu dibedakan antara pengertian plural dan plurailsme. Dalam Islam tidak menafikkan adanya masyarakat yang plural. Tapi dalam ajaran Islam sangat bertentangan dengan pemahaman pluralisme, dimana di dalamnya menganggap semua agama itu benar.

Allah ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

Maka salam selain daripada Islam pasti tertolak. Tak bernilai apapun dihadapan Nya. Dari penjelasan di atas diketahui jelas bahwa kaum Muslim mempunyai keyakinan yang berbeda (menolak pluralisme). Walau keberadaan masyarakat yang plural di negeri ini memiliki budaya, kultur dan keyakinan yang beragam. Hakikatnya umat Islam harus memiliki akidah Islamiyah, keyakinan yang memancarkan pemikiran juga aturan di dalamnya. Bentuk toleransi pun sudah ada ketetapannya dalam Al Qur'an.

Tertuang dalam QS. Al-Kafirun ayat 5 , "lakum dinnukum waliyyadiin" (untukmu agamamu, dan untukku agamaku).

Bentuk toleransi dalam Islam ialah toleransi yang tetap dibatasi oleh akidah.

Tuntunan yang dijelaskan dalam dalil di atas menjelaskan bahwa salam juga merupakan bagian dari ajaran Islam. Satu kesatuan dengan akidah. Yang di dalamnya harus kita yakini bahwa salam juga terkait kita meminta doa keselamatan hanya pada Allah semata.

Kesadaran umat Islam harus dibangun sejak dini. Dimana akidah ini mampu memberikan rem pakem saat bersosialisasi di masyarakat umum yang plural.

Akidah yang benar haruslah berasal dari Al Qur'an dan As Sunnah. Percaya pada Allah sampai percaya adanya hari akhir, maka di dalamnya terdapat konsekuensi keimanan. Yang berarti segala perbuatan maupun ucapan haruslah bisa dipertanggungjawabkan dihadapan Sang Khaliq kelak.

Peran para ulama juga tokoh cendikiawan muslim sangat dibutuhkan oleh umat Islam saat ini. Penting dan harus digaris bawahi bahwa mengedukasi umat Islam dalam proses pentransferan ilmu hendaknya bukan sekedar taklim semata atau sebatas nasihat-nasihat. Tapi juga perlu disampaikan adalah wajibnya menerapkan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan yang mencakup konsekuensi di dalamnya. Agar pemahaman akidah Islam tak sebatas teori namun diterapkan atas dasar kesadaran.

Wallahu'alam.


latestnews

View Full Version