View Full Version
Jum'at, 10 Jan 2020

Doa dan Salatnya Kaum Politikus

 
Oleh: Eeng Nurhaeni
 
(Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Lebak, Banten)   
 
Pernyataan Nico Koopman, seorang pakar teologi sistematik dan etika di Universitas Stellenbosch (Afrika Selatan), bahwa cara-cara seseorang berdoa menunjukkan kualitas keimanannya, mengandung arti bahwa doa sangat berkaitan erat dengan aktivitas kehidupan manusia sehari-hari
 
Dalam ajaran Islam, salat yang dilakukan lima kali sehari mengandung arti yang spesifik sebagai “doa”. Nabi Muhammad menegaskan, apabila salatnya baik, maka baiklah segala amal perbuatan manusia. Namun, apabila salatnya buruk maka rusaklah segala amal perbuatannya.
 
Dengan demikian, maka kualitas doa (salat) bukan hanya menentukan kualitas iman dan takwa, melainkan juga bagaimana manusia hidup, serta mampu membangun kerukunan dan kesetiakawanan di antara sesama makhluk Tuhan. 
 
Di Afrika Selatan semasa rezim apartheid, para penguasa menghadiri gereja-gereja untuk berdoa, tetapi kualitas doa-doa itu tak lepas dari kepentingan rezim guna melegitimasi kemapanan mereka.
 
Demikian halnya dalam film peraih Oscar 12 Years a Slave (2016) yang diangkat dari novel karya Solomon Northup, doa-doa dikumandangkan para pastor dan diamini oleh penguasa, sementara para rezim represif tak henti-hentinya menindas, seakan-akan doa-doa itu dipanjatkan guna melegitimasi penindasan terhadap kaum dina-lemah-miskin.
 
Terkait dengan itu, filosof dan teolog Amerika Serikat, Nicholas Wolerstorff menyatakan bahwa kualitas keimanan masyarakat tak lepas dari nilai-nilai keadilan yang berlangsung di tengah masyarakat tersebut. Tak ada kesalehan individu maupun kesalehan sosial, tanpa adanya penegakan prinsip-prinsip keadilan. Masyarakat yang tidak adil akan kehilangan martabat dan jati dirinya. 
 
Dalam masyarakat ini, sebagian orang tersudut atau sengaja disudutkan. Mereka tak terinkorporasikan ke dalam kehidupan yang sedang berkembang. Masyarakat yang tidak adil bukanlah citra atau cerminan dari Tuhan dalam keutuhan-Nya. Kerana, Tuhan tidak pilih kasih, tidak pandang bulu, dan tidak mengecualikan siapa pun.
 
 
Doa umat Kristiani
 
Kerinduan pada kepemimpinan yang adil dan memiliki integritas kerakyatan, tercermin dalam doa yang sangat masyhur: “Datanglah kerajaan-Mu”. 
 
Doa ini cukup unik, diajarkan langsung oleh Isa al-Masih. Doa yang sangat revolusioner, memohon datangnya kekuatan Tuhan untuk mengalahkan kelaliman penguasa tiran. Doa ini seakan memperjuangkan tegaknya kerajaan baru sebagai realitas fisik, di mana penindasan harus diakhiri, dan kehidupan yang adil dan merdeka harus dimulai.
 
Oleh karena itu, doa – sebagaimana salat – sangat berhubungan dengan realitas sosial, kemerdekaan jiwa, serta penegakan prinsip-prinsip keadilan. Sastrawan Y.B. Mangunwijaya pernah menjabarkan surat al-Fatihah yang dibaca umat Islam tiap kali melakukan salat (Sastra dan Religiositas, Kanisius, 1988), di mana salah satu ayatnya mengandung unsur doa yang revolusioner: “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.” (Ihdinas-shirathal mustaqim)..
 
Di masa kehidupan Nabi Muhammad, masyarakat Qurays pernah memandang orang-orang Arab Baduy sebagai suku yang berkasta rendah. Sikap demikian diingatkan oleh Nabi bahwa semua manusia sama saja, karena derajat kemuliaan manusia terukur dari kebaikan dan takwanya. Sinisme masyarakat Qurays dibalas secara reaktif oleh suku Baduy, sambil memanjatkan doa: “Ya Tuhan kami, lindungilah Muhammad, tetapi jangan lindungi masyarakat Qurays.” Nabi kemudian memberi peringatan dengan baik-baik, bahwa cara-cara berdoa seperti itu adalah keliru, karena yang benar adalah: “Lindungilah, dan damaikanlah manusia dan semua makhluk Tuhan.”
 
Di sisi lain, salat dikenal dalam Alquran sebagai sarana untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar. Jika perilaku dan perbuatan orang tidak diubah oleh salatnya, berarti salatnya yang tidak benar. Jadi, perbuatan buruk (kemungkaran) baru bisa dicegah apabila salat itu dijalankan dengan benar, fokus, sambil menghayati bacaan-bacaan salatnya dengan khusuk.
 
Hal ini diperkuat oleh hadis Nabi, bahwa, “Orang yang salatnya tidak mencegah dirinya dari perbuatan fahsya dan mungkar, tidak memperoleh tambahan dari Tuhan kecuali semakin jauh dari-Nya.” Dalam konteks lain, Nabi bahkan menyampaikan secara revolusioner, bahwa salatnya orang-orang bodoh tidak lebih baik dari tidurnya orang-orang cerdas dan berilmu pengetahuan.
 
 
Islam dan etika berdoa
 
Kita khawatir perihal degradasi moral yang melanda masyarakat kita akhir-akhir ini. Kita merasa jengkel terhadap situasi politik yang teramat gaduh, di tengah identitas masyarakat yang terang-terangan mengakui bertuhan dan beragama. Tetapi, apakah selama ini kita telah mempraktikkan etika dalam salat dan doa-doa kita? Jangan-jangan, salat kita hanya berfungsi selaku tambal sulam atau “penggugur kewajiban” semata. Setelah itu, tak ada urusan dengan moral dan akhlak bangsa yang kian merosot.
 
Kita memahami, masjid-masjid penuh setiap kali melakukan salat Jumat. Istighasah, tablig akbar, ceramah-ceramah juga dilakukan di mana-mana. Begitupun gereja-gereja penuh pada hari-hari Minggu. Tetapi, mengapa hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian juga marak tiada henti-hentinya. Korupsi berjalan sedemikian massif, hingga menggerogoti sendi-sendi perekonomian kita. 
 
Mengapa salat dan doa bangsa ini kurang efektif bagi perbaikan moral dan akhlak bangsa? Bukankah dengan demikian, salat dan doa bangsa ini tidak berdampak pada perubahan, karena seakan-akan tak berhubungan dengan masalah-masalah moral, kemanusiaan, keadilan dan tenggang rasa sesama warganegara? Mengapa salat dan doa dianggap sebagai ritual formalistik, seakan menjadi kesalehan individu yang eksklusif dan setril dari masalah-masalah sosial kemasyarakatan?
 
Dalam pemaknaan salat dan doa semacam itu, hendaknya bangsa ini banyak bertafakur dan bercermin diri, apakah salat kita tergolong salatnya orang-orang munafik seperti yang terang-terangan disindir dalam Alquran (al-Maun, 1-7): “Tahukah kamu orang yang berbohong pada agamanya? Dialah orang yang benci pada kaum miskin, dan enggan mengajak orang untuk menyantuni mereka. Celakalah bagi orang-orang yang salatnya lalai, ingin dipuji orang, serta enggan megulurkan tangan kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan.”
 
Di situ nampak jelas bahwa salat dan doanya orang munafik, sangat berkaitan erat dengan perilaku memolitisasi ibadah di hadapan Tuhan dan makhluk-Nya. Orang dianggap sudah baik, hanya semata-mata sudah melaksanakan salat dan doa. Penafsiran itu mudah sekali dijadikan alat legitimasi bagi kaum politikus untuk mengonsolidasi hasrat dan nafsu kekuasaannya. Doa dan salat tidak lagi mengandung ruh dan kekuatan untuk menggugat dan mendobrak segala bentuk represi yang menimpa banyak orang, terlebih mereka yang diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang.
 
 
Doa seorang pemimpin
 
Selama pemerintahan Jokowi, masyarakat Indonesia akrab dengan istilah “revolusi mental”. Hal tersebut, perlu menjadi satu kesatuan dengan konsep revolusi doa dan sembahyang bagi bangsa ini. Tidak cukup dengan membangun banyak tempat ibadah, tetapi juga memberikan pendidikan dan penyadaran tentang kualitas doa, salat dan ibadah, yang dapat membuahkan moral yang baikDari sudut kultural, praktik ibadah adalah kesempatan, di mana orang menjalin hubungan baik dengan kelompoknya, maupun realitas sosialnya, termasuk membangun relasi dengan kekuasaan.
 
Praktik ritual dan kekuasaan selalu relasional. Kekuasaan mau tak mau juga memengaruhi ritus yang dirasakan secara riil oleh mereka yang menjalankan aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan antara doa, salat, dan kekuasaan. Di dalam Islam, doa harus dipanjatkan dengan lembut dan santun.
 
Ia dapat berfungsi sebagai ekspresi cinta antara pemimpin dengan rakyatnya, antara suami dan istri, juga antara orang tua dengan anak-anaknya. Ia dapat berfungsi selaku ratapan orang jujur yang tidak bersalah tetapi menjadi korban, sebagai teguran ulama terhadap umatnya.
 
Secara umum, ia dapat berfungsi selaku penyembuh (al-syifa) yang dapat mengobati luka sosial umat, sebagai jalan bagi para pemimpin untuk menjalankan kepemimpinan yang baik dan adil.
 
Kualitas doa pemimpin, identik dengan kualitas salat atau sembahyangnya. Jika baik salatnya, maka baiklah segala pikiran, ucapan dan tindakannya. Jika salatnya munafik, maka kebijakan kekuasaan akan menjelma sebagai perusak moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
 
Doa dan salat yang disalahgunakan oleh pihak-pihak politisi yang berambisi pada kekuasaan, boleh jadi berdampak buruk ketika kekuasaan itu sudah berada dalam genggamannya. Ia akan menjelma sebagai alat pemukul dan penggebuk yang dapat memorakporandakan persatuan dan kesatuan umat.
 
Sementara, kekuasaan sendiri bersifat netral. Ia akan menjelma sebagai kekuatan pembangun peradaban yang baik, manakala pemimpin memanfaatkan kekuatan doa dengan etika yang baik, hingga memancar dalam kalbu dan sanubari umat. 
 

latestnews

View Full Version