View Full Version
Sabtu, 25 Jan 2020

Hari Gizi Nasional, Agar Tak Sekadar Seremonial

 

Oleh:

Ifa Mufida, Praktisi Kesehatan

 

SEBAGAIMANA tahun-tahun sebelumnya, Indonesia melalui Kementrian Kesehatan dan jajarannya pada tanggal 25 Januari melakukan peringatan Hari Gizi Nasional (HGN). Hari Gizi Nasional ke-60 tahun 2020 mengangkat  tema “Gizi Optimal untuk Generasi Milenial”, dengan slogan “Ayo Jadi Milenial Sadar Gizi”. Dalam acara tersebut Kementerian kesehatan melalui Direktorat Gizi Masyarakat, mengadakan lomba pembuatan Infografis yang telah dimulai sejak tanggal 6 januari 2020 dan diakhiri dengan bakti sosial tanggal 1 Februari 2020.

Dari tahun ke tahun acara peringatan HGN dilaksanakan, namun jika dianalisa ternyata belum bisa menyentuh ke akar permasalahan yang ada. Peringatan HGN pun seolah menjadi sekedar seremonial saja, karena fakta di lapangan kasus gizi buruk masih menjadi permasalahan yang belum terselasaikan secara tuntas.

 

Permasalahan Gizi Masih Mengancam Generasi

Menurut laporan World Bank pada 2017, Indonesia adalah negara ke-4 di dunia dengan jumlah balita stunting tertinggi (DetikNews, 14 Jan 2020).  Sedang menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tercatat ada 9 juta anak yang mengalami stunting. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita. Kondisi ini disebabkan kekurangan asupan gizi, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), mulai dari janin hingga anak 2 tahun.

Kondisi ini lebih berisiko jika masalah gizi sudah mulai terjadi sejak di dalam kandungan. Data-data secara nasional di Indonesia membuktikan bahwa angka stunting yang tinggi beriringan dengan kejadian kurang gizi. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto, prevalensi balita dengan gizi kurang dan anak kurus pada tahun 2019 yakni prevalensi gizi kurang pada balita 16,29%, prevalensi anak kurus 7,44% dan prevalensi stunting 27,67% (AntaraNews, 18 Okt 2019).

Permasalahan gizi buruk pada balita adalah permasalahan yang serius, karena hal ini bisa mengancam keberlangsungan generasi mendatang. Mengapa saya katakan sebagai permasalahan yang serius? Kekurangan gizi yang terjadi pada masa janin dan anak usia dini akan berdampak pada perkembangan otak dan rendahnya kemampuan kognitif yang dapat mempengaruhi prestasi belajar dan keberhasilan pendidikan.

Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak pada menurunnya produktivitas yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan di masyarakat. Maka, bisa saya katakan bahwa jika permasalahan gizi buruk ini tetap dibiarkan, akan sangat mengancam keberlangsungan generasi kita. Maka sangat perlu diketahui akar permasalahan yang mendasar sehingga bisa kita temukan solusi yang bisa menuntaskan permasalahan ini.

Sebagaimana ditunjukan oleh data lembaga pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization), bahwa satu dari tiga anak Indonesia adalah pengidap kekurangan gizi akut (stunting) dan sekitar 20 juta jiwa terkategori rawan pangan.Diperkuat oleh data GHI-Global Hunger Index Indonesia yang dilansir lembaga International Food Policy Research Institute (IFPRI), bahwa  kelaparan di Indonesia selama dua tahun terakhir naik ke level serius. Sementara penurunan proporsi balita penderita stunting dan gizi buruk bergerak sangat lambat.

 

Ironi, Gizi Buruk di Negeri Gemah Rimpah Loh Jinawi

Ironi, generasi negeri yang sejatinya kaya terancam kekurangan gizi. Padahal Indonesia dikenal dengan negeri gemah ripah loh jinawi. Negeri yang subur dan kaya akan sumberdaya alam. Berdasarkan riset yang telah dilakukan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementerian pertanian, ada sekitar 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran serta 450 jenis buah dimiliki Indonesia. Sedangkanmenurut Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Kuntoro Boga Andri, “selama manajemen pangan dan pengelolaan sumberdaya dilakukan secara benar keanekaragaman pangan kita tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia, tapi juga dunia”(www.pertanian.go.id).

Namun sayang nyatanya kekayaan yang dimiliki Indonesia  tidak dapat dinikmati oleh rakyat. Lebih miris, di tengah gemelutnya masalah gizi buruk rakyat justru menyaksikan sekitar 20 ribu ton cadangan beras pemerintah (CBP) senilai Rp 160 miliardibuang. Kabarnya karena mutunya turun tersebab terlalu lama disimpan di gudang(katadata.co.id, 9 Des 2019).

Dari sini kita bisa melihat bahwa Indonesia memiliki sumber ketersediaan pangan yang mencukupi. Dari luasnya lahan pertanian menunjukkan bahan makanan pokok di Indonesia cukup memadai. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kemampuan masyarakat untuk membelinya sangat beragam.Ketika harga pangan dipatok dengan harga tinggi, maka dipastikan ada sekelompok masyarakat yang tidak mampu untuk membelinya. Faktanya, memang kondisi masyarakat Indonesia  mengalami ketimpangan perekonomian yang luar biasa.

Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manan membenarkan bila orang-orang kaya di Indonesia merupakan kelompok utama yang menikmati pertumbuhan ekonomi di tanah air. Hal ini diketahui dari distribusi kekayaan dan pengeluaran.Berdasarkan lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, kata Manan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46 persen kekayaan di tingkat nasional. Menurut dia, hal ini menjadi pertanda adanya ketimpangan distribusi kekayaan.

Adanya data ketimpangan distribusi kekayaan termasuk ketersediaan makanan bagi penduduk Indonesia ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan kesejahteraan penduduk Indonesia yang dinilai dari pendapatan per kapita adalah data di atas kertas yang tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. Inilah fenomena kondisi masyarakat Indonesia yang hidup di bawah sistem kapitalisme.

Meski dibilang Indonesia berdasar pancasila, nyatanya justru ideologi kapitalisme lah yang menjadi ruh kehidupan tata negara kita. Dan efek buruk kapitalisme ini sungguh nyata saat ini. Kapitalisme telah menyebabkan ketimpangan antara yang kaya dan miskin.Orang miskin ketika tidak bisa menjangkau harga bahan pokok dan bahan makan di masyarakat maka ancaman gizi buruk tidak bisa dihindarkan.

 

Islam Solusi Tuntas Permasalahan Gizi

Kondisi gizi buruk saat susah dituntaskan, karena solusi yang ditawarkan belum menyentuh akar permasalahan yang ada. Sebagaimana program yang dicanangkan pada peringatan HGN tahun inipun belum menyentuh substansi akar permasalahan dari gizi buruk itu sendiri.Kita lihat program yang diberikan adalah bagaimana mewujudkan Gizi seimbang untuk ibu dan balita dan  bagaimana pengetahuan makanan apa yang sangat diperlukan untuk mereka.

Hal ini memang perlu diberikan agar masyarakat faham. Namun, apalah arti pengetahuan ini jika sebagian mereka yang berada pada kondisi gizi buruk nyatanya adalah mereka yang kesulitan untuk mendapatkan makanan, dikarenakan kondisi perekonomian yang terpuruk? Maka, permasalahan gizi buruk ini tidak bisa jika dikembalikan kepada keluarga dan masyarakat saja dengan memberikan kesadaran mereka akan pentingnya menjaga kecukupan gizi terutama pada 1000 hari pertama kehidupan, namun perlu ada upaya serius dari negara untuk menangani permasalahan ini.

Bukan hal yang aneh sebenarnya ketika negara menyerahkan urusan masyarakat justru kepada individu ketika sistem yang dipakai adalah sistem kapitalisme.Kapitalisme menempatkan pemerintah sebagai fasilatator saja terhadap segala permasalahan yang ada di masyarakat. Berbeda dengan islam, dimana negara memiliki kewajiban untuk bisa menjamin kebutuhan pokok masing-masing individu di dalam negaranya, individu per individu.

Tidak boleh pengukuran kesejahteraan hanya dirata-rata saja dalam masyarakat. Kebutuhan pokok tersebut meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan yang harus dijamin oleh negara.Pemimpin dalam Islam harus benar-benar memastikan masing-masing individu dalam masyarakat mendapatkan kebutuhan pokok tersebut. Inilah prioritas utama yang diperhatikan negara, selain juga menjamin setiap kepala keluarga bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Dalam Islam,  pemimpin adalah penanggung jawab urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di hadapan Allah SWT.  Nabi saw. bersabda  : “Seorang iman (pemimpin) pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian hanya sistem Islam yang mampu memberikan pelayanan sebaik baiknya kepada rakyat, salah satu diantaranya memberikan asupan gizi yang cukup bagi rakyatnya sebagai kebutuhan pokok yang harus terpenuhi. Karena itu semua merupakan tanggung jawab negara.

Oleh karena itu,  jika kita ingin menyelamatkan generasi dari bahaya gizi buruk dan mendapatkan keberkahan hidup. Maka solusi yang sangat rasional untuk permasalahan gizi di Indonesia adalah campakkan sistem kapitalisme dan  terapkan islam secara menyeluruh.Allahu a'lam bi shawab.*


latestnews

View Full Version