View Full Version
Ahad, 26 Jan 2020

Korupsi dan Demokrasi

Oleh: Hetik Yuliati, S.Pd (Aktivis Dakwah, Pengajar)

Transparency International Indonesia (TII) merilis data indeks persepsi korupsi atau corruption perception index (CPI) Indonesia pada 2019. Manager Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko mengatakan, skor indeks persepsi korupsi Indonesia saat ini berada di angka 40 dengan nilai tertinggi 100.

Indeks persepsi korupsi mengacu pada 13 survei dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Pernilaian CPI didasarkan pada skor 0 untuk sangat korup dan skor 100 sangat bersih. Jika dilihat berdasarkan peringkat, Indonesia berada di posisi 85 dari 180 negara (Nasional Kompas, 23/01/2020)

Di Indonesia, kasus korupsi ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sepanjang tahun 2016-2019 KPK telah melakukan 87 operasi tangkap tangan (OTT) dengan total tersangka awal setelah OTT adalah 327 orang.

Selain itu, KPK juga melakukan 498 penyelidikan, 539 penyidikan, 433 penuntutan, 286 inckracht (telah berkekuatan hukum tetap), dan 383 eksekusi (Nasional Tempo, 17/12/2019).

Tingginya angka korupsi di Indonesia bukanlah prestasi yang harus kita banggakan, namun ini adalah aib dan harus dicari tahu apa penyebab.

Pertama, rendahnya akhlak para penguasa. Akhlak merupakan pondasi seorang dalam bertingkah laku. Namun di zaman ini, seorang yang memiliki akhlakul karimah sangat langka. Hal ini dikarenakan pendidikan yang ada di Indonesia berideologikan sekuler yaitu memisahkan agama dari kehidupan, sehingga menjadikan para agent of change kesulitan membedakan mana yang benar (haq) dan yang salah (bathil). Sifat tamak/rakus, moral yang buruk, dan gaya hidup yang konsumtif hasil dari didikan sekuler kapitalis, menjadikan para penerus bangsa tidak segan melakukan tindakan korupsi.

Kedua, lingkungan dan sanksi ringan bagi para koruptor. Saat ini kita sedang berada di lingkungan yang sangat rusak dan jauh dari Islam. Kerusakan lingkungan yang akut ini menjadikan kecenderungan para penguasa untuk melakukan kecurangan dan korupsi. Korupsi yang sudah menjangkiti sistem demokrasi sejak lahir, pasti sangat sulit untuk dihindari dan dicegah. Apalagi hukuman (sanksi) untuk para pelaku korupsi di negeri ini sangat ringan. Belum lagi adanya pemotongan hukuman dan remisi yang diberikan untuk para koruptor, menjadikan koruptor pantang takut melakukan tindakan korupsi.

Ketiga, sistem yang rusak. Indonesia saat ini menganut sistem demokrasi kapitalis sekuler, segala aturan dan kebijakan dibuat dari pemikiran manusia dan kesepakatan untuk meraih kemaslahatan (manfaat). Mengutip kalimat dari Mahfud MD “Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga” menandakan betapa sulitnya menjadi pemimpin yang lurus di sistem demokrasi.

Hal ini bukan karena masalah kepribadian dari manusia itu sendiri, namun sistem yang menjadikan mereka ramai-ramai melakukan korupsi dan kecurangan. Biaya kampanye untuk menjadi pejabat di negara demokrasi sangat mahal, namun gaji para pejabat negara dinilai kurang, efek dari gaya hidup mewah para pejabat dan penguasa. Hal ini sering kali menjadikan mereka gelap mata melakukan tindakan korupsi untuk mengembalikan modal saat kampanye dan memperoleh keuntungan pribadi.

Pemerintah saat ini sudah berusaha keras menekan angka korupsi dengan membentuk badan independen KPK. Pemerintah juga melakukan langkah-langkah pencegahan korupsi dengan cara mengelola dan mencegah benturan kepentingan dalam politik, mengontrol pendanaan politik, memperkuat integritas Pemilu, mengatur keterbukaan aktivitas lobi politik, perlakuan yang sama terhadap warga negara, memperkuat peran masyarakat sipil, penguatan fungsi checks and balances.

Namun langkah-langkah konkrit pemerintah ini belum dapat menekan angka korupsi di Indonesia. Bahkan awal tahun 2020, Indonesia tersandung kasus mega korupsi Jiwasraya dan Asabri yang nilainya sangat fantastis hingga mencapai puluhan triliun rupiah.

Sistem demokrasi yang rusak ini, sudah saatnya kita tinggalkan. Kita harus realistis dan mencari sistem yang lebih relevan untuk mengatasi permasalahan kompleks di Indonesia. Islam memiliki sistem yang sempurna dalam mengatur kehidupan manusia.

Islam memiliki sistem politik yang lengkap beserta sistem ekonomi, sistem kesehatan, sistem pendidikan, sistem sosial, sistem politik luar negeri dan dalam negeri. Sistem islam ini dikatakan sempurna karena segala kebijakan berasal dari sang Khaliq yang tertuang dalam Alquran dan Assunnah.

Untuk itu kita harus bersegera move on dari sistem rusak kepada sistem sempurna yaitu Islam. Wallohu a’lam.


latestnews

View Full Version